Alhamdulillah aku diberikan kesempatan untuk menunaikan ibadah umroh pada April 2015. Aku izin kuliah satu minggu dan begitu pula Mutia dan Papa. Umroh kali ini memang diniatkan untuk mendoakan kesehatan Caca. Entah mengapa, Papa merasa lebih afdol kalau langsung berdoa di depan Ka'bah. Caca memang sengaja tidak ikut demi kesehatannya, dan Mama menemai Caca. Khawa saat itu baru masuk kuliah sehingga banyak kegiatan orientasi mahasiswa yang harus diikutinya, terlebih lagi jurusan geologi.
Perjalanan umroh ini terasa lebih khusyu karena aku satu travel dengan orang-orang yang sudah pernah umroh sebelumnya. Ketika itu, aku berdoa pada Allah, untuk diberikan petunjuk pengobatan yang terbaik untuk Caca. Doa itu yang terus aku panjatkan di setiap tempat yang disebut sebagai tempat yang di ijabah. Setiap umroh memiliki cerita tersendiri, aku ingat aku satu travel dengan pria yang seharusnya pergi bersama ibu nya untuk umroh tapi Allah berkata lain, ibu nya pergi meninggalkan dunia ini tepat sehari sebelum kita berangkat umroh. Raut sedih pria berusia 30tahunan itu terpampang jelas setiap aku melihatnya. Ekspresi menahan tangisnya ketika di depan Ka'bah nya, membuat ku berfikir dia sedang menyangkan kepergian ibunya. Aku pun ikut sedih melihat pria tersebut. Esok harinya, aku mendapat cerita bahwa, ketika kita sedang keliling Ka'bah ternyata pria tersebut merasa ibu nya ada di sebelahnya, kemarin adalah ibadah umroh yang ia niatkan untuk ibunya. Setelah ibadah umroh itu, pria tersebut merasa lebih ikhlas dan lega melepaskan kepergian ibunya.
Sungguh aku selalu kagum dengan bagaimana Allah mengajari sesuatu di hidup kita. Aku selalu merasa, Allah sangat baik kepada ku, aku merasa aku selalu dimudahkan dalam segala hal oleh Allah. Contoh nyata ketika aku umroh, subuh itu aku terasa amat lapar. Di dalam hati ku, aku bergumam, "Ya Allah, lapar" hanya di dalam hati. Aku tidak mengungkapkannya dalam lisan ku. Aku berjalan dengan Ka'bah di depan mata ku, lalu tiba-tiba seorang muslim arab mengejar ku, dan menawari kurma! Aku sangat terkejut, benar-benar terkejut. Aku mengambil satu kurma di dalam box yang ia bawa, dan aku ambil beberapa untuk Papa. Aku sama sekali tidak menyangka, tidak sampai 5 detik dari gumamku tersebut, Allah langsung memenuhi kebutuhan ku. Sungguh aku semakin percaya bahwa apabila kita meminta pada Allah, pasti akan dikabulkan.
Setibanya di tanah air, aku hanya tinggal di Jakarta beberapa hari kemudian aku berangkat lagi ke Bandung. Hari-hari aku jalani seperti biasa, belum ada rasa khawatir yang mendalam terhadap sakitnya Caca. Selain itu, setiap aku tanya keadaan Caca pada kedua orang tua ku, mereka menjawab baik-baik saja dan selalu menyuruh ku fokus menyelesaikan studi s1 ku. Aku memang sedang menyusun tugas akhir ku, dan acara dari organisasi ku ini akan segera dimulai pada bulan Juni di Bali sehingga aku percayakan saja treatment Caca pada orangtua ku. Kala itu Caca juga masih aktif di kampus nya, tidak begitu banyak mengeluh namun lebih banyak terdiam.
Suatu hari di bulan Juli 2015, Caca, Mama, Papa pergi ke Jogjakarta. Sekali lagi, katanya disana ada yang bisa mengobati Caca. Ada orang yang sakit kanker juga, di mana-mana sudah dinyatakan tidak bisa sembuh dan hanya memiliki waktu sebentar namun kenyataanya orang tersebut sembuh. Orang ini, Pak Joko, tidak hanya dapat menyembuhkan penyakit medis namun juga non-medis. Sampai saat itu aku tidak tahu apakah penyakit non-medis itu benar adanya.
Aku bingung, mengapa Mutia diam saja. Padahal dia orang pertama yang mengetahui penyakit Caca ini. Mengapa ia tidak langsung menyuruh Caca untuk berobat di Singapura? Bukankah disana teknologinya bagus? Hidup ku di Bandung, membuat ku tidak terlalu fokus dengan penyakit Caca ini, selain itu aku tidak tahu harus apa. Kemudian Mutia certia pada ku ketika akhirnya aku bertanya
"Kok kemarin ga langsung berobat di Singapur sih? Bukanya udah cari apartement kemarin katanya?"
"Jadi tuh ya, gue punya temen dulu. Juga sakit kanker. Berobat dimana-mana. Tapi ga sembuh-sembuh juga. Udah banyak ustadz-ustadz yang kerumahnya bilang kalau dia tuh ada penyakit non medisnya juga."
"Non medis maksutnya apaan sih??" Aku masih kebingungan tidak tahu arah obroloan ini kemana.
"Penyakit kiriman gitu, duh temen gue dulu tuh yang punya jual-beli mobil yang sepanjang jalan itu loh. Paling laku emang tempet Bapaknya ini, nah yaudah jadi banyak yang gak suka kan."
"Yaaa terus?" Akal ku mencoba mencerna kata-kata yang terlontar dari mulut Mutia.
"Ya banyak lah competitor nya yang sengaja kirim penyakit gitu, biar dianya tuh ga fokus bisnisnya jadi biar jatoh gitulah pokoknya."
"Hmmm"
Lalu Mutia tetap melanjutkan ceritanya, mencoba membuatku percaya dengan ceritanya.
"Nah tapi Bapaknya temen gue ini tuh islami banget juga, jadi dia ga pecaya tuh kalau ada yang kaya gituan. Udah pada banyak yang bilang, Pak ini kalau non-medisnya ga diilangin dulu ga bakal mempan yang medisnya, non medisnya harus ilang dulu Pak. Nah Bapaknya ini tuh ga percaya, sampai akhirnya temen gue tuh meninggal kan kemarin. Terus yang pernah bilangin kalau ada non-medis langsung, tuh kan Pak ga percaya. Ya gitu-gitulah pokoknya" Jelas Mutia kepada ku dengan nada hampir naik karena aku sulit menerima ceritanya. Aku percaya tidak percaya dengan penyakit non medis tersebut.
Hampir satu tahun setelah Mutia lulus kuliah ia mencari kerja yang tidak kunjung datang sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan studi s2 di Manchester. Semester awal di mulai pada bulan September 2015, sehingga sembari mempersiapkan keberangkatannya ia juga sering ikut menemani Caca berobat di Jogjakarta. Keberadaan Mutia disaat menemani Caca berobat, membuat ku sedikit tenang karena aku yakin dia pasti mengontrol perkembangan Caca dengan baik.
Aku ingat, ketika aku dan Pras sedang makan siang bersama di suatu tempat makan baru di daerah Dago, Mama menelfon ku bercerita sedikit tentang kabar Caca saat itu. Mereka sedang antri untuk berobat, dan setelah itu mama mengirimkan ku foto segumpal darah daging. Mama bilang itu dari penyakitnya Caca yang tadi dikeluarkan oleh Pak Joko. Kepala ku pusing setiap mendengar cerita baru tentang penyakit Caca, dan semua yang terjadi pada hidup ku biasanya aku selalu ceritakan pada Pras. Pras selalu sabar mendengarkan cerita ku, walaupun ketika ia sedang banyak tugas dan penat, ia selalu meluangkan waktunya untuk ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Journey
No FicciónBuku ini bukan menceritakan tentang hidup ku, tapi tentang bagaimana kehidupan berjalan di keluarga ku. Ini sebuah kisah tentang bagaimana kanker mengubah hidup seseorang serta mengajari kita untuk lebih mengenal diri sendiri & Tuhan. Setiap manus...