The Journey

24 1 0
                                    

Tahun 2015 adalah tahun dimana aku lulus kuliah. Tahun dimana aku mulai berfikir mau kemana arah hidup ku, bagaimana masa depan yang ingin aku ciptakan. Selayaknya wanita pada umumnya, yang sudah memikirkan pernikahan di usia 30 tahun kebawah, rencana awal ku adalah melanjutkan studi s2 ke luar negri, United Kingdom. Aku ingin melanjutkan studi ku mandiri secara finansial, oleh karena itu aku juga mempersiapkan diri untuk mengambil beasiswa. Aku termasuk orang yang tidak menyukai waktu ku terbuang sia-sia, oleh karena itu aku pun juga memiliki rencana untuk mengambil magang sembari menunggu keberangkatan s2 ku. Setelah aku lulus s2, barulah aku mulai meniti karir ku dan akhirnya menikah. Memulai hidup baru bersama Pras, itulah rencana awal hidup ku.

Mulai dari bulan Juli tersebut, Caca, Mama dan Papa, dan terkadang Mutia, bolak-balik Jogjakarta untuk berobat Caca. Caca pun masih melakukan aktivitas kampusnya sehari-hari. Ia menjalani hari-harinya seperti biasa, dan pergi ke Jogja juga seperti liburan di akhir pekan. Tahun ini Caca disibukan dengan kegiatan organisasi di kampusnya. Ia kerap menjadi sekretaris di acara Ospek kampus, menjadi panitia untuk kegiatan kampusnya dan kegiatan akademik kampusnya sendiri yang cukup padat. Caca di kampusnya bisa dibilang sebagai mahasiswi yang ceria, ia memiliki cukup banyak teman. Secara fisik kondisi Caca masih terlihat "normal" hanya saja terdapat benjolan di lehernya.

Papa pun begitu, masih sibuk dengan pekerjaan kantornya dimana Papa mendapat amanah yang cukup besar di kantornya. Selama Caca berobat di Jogja, aku hanya bisa berdoa semoga Caca bisa disembuhkan, bahwa memang disanalah tempat yang dapat menyembuhkan Caca. Bahwa Allah memiliki caranya sendiri untuk menyembuhkan Caca.

Seminggu setelah Caca berobat di Jogja, kami berlibur ke Aceh. Liburan yang cukup mendadak, tapi memang keluarga ku sering melakukan liburan mendadak haha. Kami menghabiskan kurang lebih 5 hari di Aceh dan kami tinggal dirumah sodara kami. Sesampainya di Aceh, kami langsung diajak oleh saudara kami untuk menikmati durian Aceh yang memang sedang musim durian. Hampir seluruh keluarga ku menyukai durian, kecuali almarhumah nenek ku, ia tidak kuat makan bahkan mencium bau durian. Lebih dari 20 buah durian habis seketika oleh keluarga ku, Caca termasuk makan banyak durian ketika itu. Ke esokan harinya, Caca kurang sehat, setengah hari kita habiskan di rumah saudara ku. Kepalanya terasa amat sakit.

Sakit yang tidak kunjung reda sampai siang hari membuat Papa bergegas menelfon Pak Joko, kemudian Papa mengambil satu gelas air dan membiarkanya terbuka. Caca di lantai dua dengan Mama, sedangkan aku bermain dengan saudara ku di lantai satu. Ini pertama kalinya aku bertemu saudara ku ini. Diantara empat bersaudara, aku memang yang paling aktif untuk bergaul dengan saudara-saudara ku. Kemudian terlihatlah air gelas itu di mata ku, dan aku bertanya pada Papa "Buat apaan nih Pa?" dan Papa menjawab "Ini lagi didoain" hmmm aku tidak banyak bertanya. Setelah menunggu beberapa jam, menunggu balasan dari Pak Joko tersebut, Papa menyuruh Caca untuk meminum air tersebut sembari berkata "Kalau tau Caca sakit, kita gak ke sini".

Tidak tahu apakah karena kalimat tersebut, atau air yang "didoakan", atau memang sakit dikepala Caca berkurang dengan sendirinya, tidak lama setelah itu Caca bangkit dan berkata "Yuk jalan-jalan, masa udah di Aceh gak kemana-mana". Kami pun melanjutkan jalan untuk melihat kota Aceh bersama saudara kami. Hal utama yang biasa kita lakukan ketika traveling di Indonesia adalah mencicipi masakan khas daerah tersebut dan berkunjung ke tempat yang selayaknya turis berkunjung. Kita mulai perjalanan kita ke museum tsunami.

Tidak menyangka bahwa di Indonesia memiliki museum yang bagus seperti ini. Dari konsep hingga arsitekturnya. Pertama masuk kita sudah dibawa untuk merasakan betapa mengerikannya bencana tsunami tersebut, ruangan dikelilingi air yang mengalir di gelap gulita. Di dalam museum ini, kita dapat melihat kota Aceh sebelum dan sesudah bencana tersebut. Masjid yang menjadi satu-satunya bangunan yang selamat ketika tsunami dengan guncangan 9,3 skala richter kala itu di replika kan dengan sebaik mungkin. Menyadarkan ku, akan nyatanya kuasa sang Ilahi. Kalau bukan karena Allah, kalau bukan karena rumah Allah, pasti seluruh bangunan sudah rata dengan tanah. Benar-benar suatu fenomena yang mengingkat ku bahwa semua yang terjadi di dunia ini pasti terjadi dengan seizin Allah, dan Allah memberi teguran kepada kita agar selalu mengingat Nya. Masjid itu sekarang berdiri megah dan luas dan membuat orang yang solat di dalamnya menjadi tenang. Tenang karena mengingat Allah. Terpampang pula bala bantuan dari seluruh dunia untuk membangun Aceh kembali. Membawa ku untuk selalu bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, karena ketika sedang dilanda sedih dan musibah, hanya rasa syukur dan ketabahan menghadapi cobaanlah yang akan menguatkan kita. Dan museum ini di akhir dengan nama ratusan korban jiwa yang meninggal atas kejadian ini. Kali ini, aku ditegur bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Sungguh museum yang benar-benar menegur ku kala itu.

Trip selama 4 hari 3 malam ini kita habiskan dengan wisata kuliner. Mulai dari ayam tangkap, yang ternyata diberi nama seperti itu karena ayam di potong kecil-kecil dan ditaruh pada tumpukan daun hijau, jadi kalau kita mau makan ayam tersebut harus di "tangkap" terlebih dahulu. Lalu mie aceh, sampai ke tempat ngopi penduduk Aceh yang unik, hampir disetiap sudut kota Aceh ramai dengan tempat ngopi. Hari-hari selama di Aceh, aku tidak menyadari perbedaan yang signifikan pada fisik Caca kecuali ketika kami hendak solat, ini pertama kalinya ia mengeluh bahwa ia tidak sanggup untuk sujud. Ketika sujud, kepalanya terasa lebih sakit dan tidak dapat bertahan lama. Sejak itu, Caca solat duduk. 

Endless JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang