Tiga

42.3K 3.5K 47
                                    

Hari sudah malam dan acara resepsi pernikahan Farrel dan Gisel pun sudah selesai sejak 30 menit yang lalu.

Gisel pergi ke kamar lebih dulu karena Farrel sibuk mengobrol dengan sepupunya. Gisel pun tak peduli. Biarkan saja. Dia pergi ke kamar pun diantar oleh salah satu Kakak Ipar Farrel yang bahkan lebih muda dari Gisel. Namanya Naura.

"Ini kamar Kak Farrel. Kak Gisel masuk saja ya. Kak Farrel nya masih dibawah." Ucap Naura disertai senyum manisnya. Gisel pun mengangguk singkat sebagai jawaban.

"Ya sudah. Aku pergi dulu." Pamit Naura seraya pergi meninggalkan Gisel sendirian. Gisel mendesah pelan lalu meraih gagang pintu dan membukanya. Yang pertama Gisel lihat adalah sebuah ranjang berukuran besar dengan sprei berwarna merah yang ditaburi kelopak bunga mawar.

"Hah nyusahin aja." Dengus Gisel yang malas membersihkan kelopak bunga itu. Memangnya untuk apa coba? Malam pertama pernikahan mereka pun hanya ingin Gisel isi dengan aktifitas tidur sampai pagi. Tidak ada yang lain-lain.

Gisel bahkan terkadang ragu. Apa Farrel bisa melakukan ritual malam pertama bagi para pengantin baru? Melihat dari sikapnya Gisel yakin Farrel tidak bisa.

"Ah, bodo amat. Gue juga males ngelakuinnya." Ucap Gisel dengan ketus. Gisel pun mulai menyeret kakinya ke arah kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah lengket.

***

Farrel membuka pintu kamarnya dengan perlahan. Langkah kaki nya membawa nya masuk kedalam kamar miliknya. Saat sudah berada didalam kamar, mata Farrel tertuju pada ranjang miliknya yang kini sudah ditempati oleh seorang perempuan.

Farrel menatapnya sebentar dan langsung pergi ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian Farrel keluar dengan memakai sebuah piyama berwarna biru dongker. Mata Farrel tertuju pada ranjang lagi. Keningnya berkerut melihat posisi tidur Gisel yang jauh dari kata anggun. Bahkan mirip sekali seperti anak kecil.

Sebelah kaki Gisel mengayun dipinggir ranjang. Kedua tangannya memeluk guling dengan posisi kepala yang tidak di atas bantal. Farrel jadi bingung. Bagaimana dia bisa tidur kalau kasur berukuran besar itu dikuasai oleh Gisel?

Farrel mendesah pelan. Belum juga 24 jam dia menikah dengan Gisel, dia harus mengalah untuk tidur di sofa. Farrel pun meraih selimut yang sudah berada dilantai karena terus saja ditendang oleh Gisel. Farrel menatap Gisel yang tidur pulas. Tubuhnya dibalut sebuah piyama pendek yang tipis. Dengan pelan Farrel menyimpan selimut itu diatas tubuh Gisel agar gadis itu tidak kedinginan. Setelah selesai, Farrel berjalan ke arah sofa dan membaringkan tubuhnya disana.

***

Gisel mengerjapkan matanya saat merasakan cahaya lewat matanya. Sebuah erangan terdengar pelan dari bibirnya. Gisel bangkit dan duduk di atas ranjang. Beberapa saat dia hanya diam untuk mengumpulkan kesadarannya. Setelah sadar sepenuhnya, Gisel menguap dan meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.

"Hah.. Kok tubuh gue pegel-pegel sih?" Tanya Gisel pada dirinya sendiri. Gisel masih sibuk meregangkan otot tubuhnya hingga pada akhirnya dia baru sadar kalau tembok didepannya berwarna abu-abu. Seingatnya dinding kamarnya berwarna biru muda.

Gisel terdiam sebentar saat otaknya kembali memutar semua yang terjadi kemarin. Dengan keras dia menepuk dahinya sendiri.

"Bodoh! Gue lupa!" Ucap Gisel dengan panik. Dia langsung bangkit berdiri dan berjalan mendekati cermin. Matanya menelisik penampilannya sendiri. Wajah kusut, rambut acak-acakkan dan piyama yang masih terpasang ditubuhnya.

Gisel menghela nafas lega saat tahu kalau dia tidak telanjang bulat. Dia tentu takut kalau semalam dia tidak sadar dan melakukan hal yang iya-iya dengan laki-laki cupu yang sekarang menjadi suaminya.

Setelah memastikan tidak ada yang salah dengannya, Gisel membalikkan tubuhnya dan melihat ke arah ranjang yang acak-acakan bekas tidurnya sendiri. Ya karena Gisel tidak melihat siapapun disana. Gisel menatap seluruh kamar itu untuk mencari sosok laki-laki berkacamata yang sudah berstatus suaminya. Dan Gisel menemukannya sedang berbaring di sofa.

Gisel mengucek matanya sebentar untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Akhirnya Gisel pun mendekati sofa. Gisel berjongkok didepan sofa. Tubuhnya menghadap ke arah Farrel yang masih tidur. Mata Gisel memperhatikan wajah Farrel yang tenang.

Sebenarnya, Gisel tidak pernah benar-benar tahu bagaimana wajah Farrel. Selama ini dia hanya melihat dan menatap Farrel sekilas. Apalagi saat dikampus Farrel sering menunduk membuat wajahnya tidak terlihat. Tapi, kemarin saat acara ijab qobul dilakukan, dia menatap Farrel lumayan lama. Saat itu Farrel tidak memakai kacamata hingga mata hitamnya begitu jelas terlihat oleh Gisel. Dan menurut Gisel, Farrel terlihat lebih tampan tanpa kacamata.

Seperti saat ini, wajah Farrel yang tenang terus saja diperhatikan oleh Gisel. Gisel ingin menilai saja. Dia tidak mau kalau punya suami yang mempunyai wajah jelek. Seperti jerawatan, kulit kusam dan berminyak lalu gigi yang tidak rata. Tapi, Farrel tidak seperti itu. Wajahnya bersih tanpa jerawat ataupun noda yang lain. Kulitnya putih seperti dirawat. Bulu matanya lentik membuat Gisel iri karena bulu mata Gisel pendek dan lurus.

Setelah puas memperhatikan Farrel, Gisel pun bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi.

Dia memang tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi, Farrel juga tidak jelek-jelek amat. Ada beberapa nilai plus yang ada di diri Farrel yang membuat Gisel sedikit bisa menerima pernikahan ini. Farrel tampan, rajin belajar pastinya, bukan tipe laki-laki pemarah, baik hati, lemah lembut, pintar, dan kaya. Benar-benar laki-laki idaman bagi para perempuan. Tapi tidak dengan Gisel. Gisel ingin mempunyai suami seperti Marco yang sangat lelaki.

"Nasib gue emang jelek untuk saat ini kayaknya. Tapi, gak papa lah. Ada untungnya juga gue nikah sama si cupu. Jadi, kalau ada tugas gue kan bisa nyuruh dia buat ngerjain. Hahaha.." Gisel tertawa senang tanpa menyadari kalau orang yang dia maksud mendengar semua ucapannya.

Farrel membuka matanya dengan perlahan. Lalu dia bangkit dari tidurnya dan duduk di sofa. Matanya menatap kosong pada lantai yang dia pijak.

Ucapan Gisel tadi membuat Farrel merasa sakit hati. Tapi, memangnya dia bisa apa? Farrel hanya bisa pasrah dengan semua yang terjadi. Farrel memang tidak pernah mengharapkan sebuah perceraian dalam pernikahan yang dia jalani. Tapi, kalau Gisel tak mau mempertahankan pernikahan mereka, maka Farrel pun tak akan mempertahankannya. Untuk apa juga dia berjuang sendirian? Lagi pula, dia dan Gisel tidak saling mencintai bahkan tidak saling mengenal lebih jauh. Jika mereka bercerai pun tidak akan yang merasa dirugikan dan disakiti.

Farrel menghela nafas pelan. Memikirkan hal itu di pagi hari hanya membuatnya sakit kepala. Lebih baik dia bebaskan saja pikirannya. Tidak perlu merasa terbebani dengan hal ini. Biarkan semuanya berjalan dengan sendirinya.

____________________________________

Bagaimana? Vote dan komen oke...

Terima kasih bagi kalian yang sudah memberikan informasi yang kuminta kemarin. Maaf juga ya bagi komentarnya yang tidak kubalas. Entah wattpadku yang error atau gimana karena aku tidak bisa memvote dan membuka komentar di ceritaku sendiri. Jadi, kalau nanti komen kalian dibalas oleh akun milikku yang lain, jangan heran ya.

Bye...

My Nerd Husband [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang