6

197 12 0
                                    

Perubahan

"Cepat atau lambat, tanpa disadari seseorang pasti mengalami perubahan. Entah ke arah yang lebih baik atau malah lebih buruk"

◇◆◇◆


Hari kedua Ulangan Tengah Semester bagaikan neraka bagi siswa siswi Mahardika, pelajaran yang sangat tidak mereka tunggu hadir di hari kedua. Matematika. Sekelompok siswa yang tidak menyukai pelajaran tersebut lebih suka menuliskannya seperti 'mateMATIka'. Seolah olah pelajaran tersebut mampu membuat mereka mati.

Padahal kenyataannya, mereka sendiri yang membunuh kemampuan yang mereka miliki.
Sebenarnya, tidak ada kata sulit selagi kita mau mencoba, namun sayangnya mereka memilih menjauhi tanpa mau berusaha lebih keras lagi untuk menaklukan pelajaran tersebut.
Siswa-siswi Mahardika yang biasanya hadir mendekati jam ulangan dimulai, khusus hari ini mereka hadir lebih pagi dari biasanya.

Untuk apa?

Tentu untuk berkoordinasi dengan teman-temannya.  Jangan dicontoh, ini bukan hal baik untuk generasi kita.  Cobalah berusaha lebih keras lagi, jika sudah berusaha lebih keras, maka serahkan semuanya kepada Allah.

Jangan menyerah sebelum perang.
Berbeda dengan Rey, khusus hari ini ia memilih belajar memahami materi yang akan diujikan, diluar ruangannya. Bukan dengan duduk, namun berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding.  Dengan sepasang headset yang terpasang dikedua telinganya.

Ia begitu nyaman dalam dunianya sekarang. Musik yang memgalun indah di telinganya mampu membuatnya begitu fokus dalam memahami setiap materi yang ia baca.

Tepat ketika melihat dua orang bercengkrama tak jauh darinya, telinganya seolah tak mendengar apaapa. Siswi yang kemarin menghampirinya kini tengah tertawa dengan seseorang yang ia kenali.
Davino Arkha Syailendra. Seniornya sewaktu ia masih bergabung di tim basket. Davino yang kerap dipanggil Arkha dengan gemash mengacak rambut siswi tersebut. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih.

Karna terlalu fokusnya Rey memperhatikan mereka, ia tak sadar jika sedari tadi Cello tengah berdiri di sampingnya dan ikut memperhatikan apa yang kini membuat seorang Reynaldi mengalihkan pandangannya dari buku.

Ada rasa aneh dalam dirinya. Bukan, bukan rasa rindu akan masa lalu. Namun perasaan aneh yang ia sendiri sulit mendeskripsikan.

"Kenapa? "

Cello mencoba menarik Rey ke dunia nyata, padahal sama sekali Rey tak mengingat masa lalu. Belum juga ada respon dari Rey, Cello memutuskan melepas salah satu headset yang terpasang di telinga Rey.

"Kenapa? "
Cello mencoba bertanya sekali lagi. Biasanya Rey akan marah jika ketenangannya diusik. Tapi kali ini ia hanya diam tak bersuara.

"Dia siapa? "
Cello terkekeh mendengar pertanyaan Rey.

" Lo lupa? Itu si Arkha, senior basket"

"Bukan dia. Kalau itu mah gue juga tau Cell"

"Ohh cewe itu yang lo maksud. Kurang tau sih gue, tapi denger-denger dia cewenya Arkha"

Mendengar kabar dari Cello yang kemungkinan besar benar, membuat perasaannya kacau. Rey tidak mengerti apa yang membuatnya seperti ini. Mengapa ia merasakan hal seperti ini hanya karena melihat seseorang yang baru sehari ia temui.

"Siapa namanya? "

"Nah kalau soal itu gue engga tau"

Cello menjawab dengan senyuman khasnya. Sedari tadi berbicara dengan Cello, tak pernah sedikitpun ia menoleh ke arah Cello. Pandangan Rey fokus ke depan, ke tempat Arkha dan siswi yang statusnya pacar dari Arkha. Sebelum beranjak pergi, Arkha mengusap lembut Puncak kepala gadisnya.

Enggan merasakan hal aneh yang lebih dalam, Rey memilih memutus pandangannya dan beranjak masuk ke ruangan mengingat bel sebentar lagi berbunyi. Jauh di belakang Rey, Cello tersenyum puas. Rasanya sahabatnya itu mulai membuka hati, namun masih ragu dalam meyakini rasa yang ia punya.

"Baru satu hari kita bertemu, tapi kamu sudah berhasil memporakporandakan hatiku. Siapa sebenarnya kamu?  Apa seepat ini aku kembali menjatuhkan hati? Tidak mungkin, ini terlalu cepat' batinnya.

Rey duduk dengan gusar, pikirannya entah melayang kemana. Bryan yang masih fokus dengan bukunya, sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi terhadap Rey.

"Woy, gue balik ya" teriakan Cello yang seperti toa menarik perhatian seisi ruangan tersebut. Bukan Cello namanya jika merasa tak bersikap masa bodoh dengan tanggapan orang-orang disekitarnya. Dengan santainya ia melambaikan tangan ke arah Rey dan Bryan, lalu beranjak meninggalkan ruangan tersebut. Bryan hanya mampu menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Cello yang benar-benar absurd.

Bel telah berbunyi, sebisa mungkin Rey fokus pada soalsoal Ulangan yang akan ia kerjakan. Ia berusaha mengenyahkan ingatan tentang Arkha dan siswi yang 'katanya' pacar Arkha.

▼△▼

"Gila. Pala gue berasa mau pecah. Bu Ina cantik-cantik sadis ya. Ngasih soal di luar batas kemampuan muridnya. "

Sedari tadi Cello mengomel panjang lebar tentang soal Ujian Matematika yang baru saja mereka lalui.

"Di luar batas kemampuan lo kali, Cell. Bagi gue biasa aja soalnya" ucap Bryan sambil menyantap Batagor Mpok Bila.

"Wah songong lo, Do. Mentang-mentang otak lo encer"

"B'risik. Makan!" kali ini Rey berusaha melerai keduanya. Ia tidak mau semua penghuni kantin memperhatikan kedua sahabatnya yang sedang beradu argumen.

"Gak berselera gue. Buat lo aja deh Rey" Cello menggeser mangkuk batagor yang sama sekali belum ia sentuh, ke hadapan Rey.

"Makan. Mubazir kalau gak dimakan" Rey mengembalikan mangkuk tersebut ke hadapan Cello. Ia tidak biasa makan banyak. Bukan hanya itu, Cello tidak boleh membuang makanan yang telah ia beli. Karena jauh di luar sana masih banyak yang membutuhkan.

Dengan enggan Cello memakan batagor tersebut sambil menatap tajam ke arah Bryan. Yang ditatap hanya fokus pada makanannya, masa bodoh dengan Cello.

Setelah menghabiskan makanan, mereka kembali ke ruangan masing-masing mengingat masih satu pelajaran lagi yang diujikan hari ini.

Beruntungnya, materi yang diujikan tidak begitu sulit.

"Semangat. Tinggal satu lagi Cell." ucap Bryan sambil menepuk bahu Cello.

"Hooh"

"Marah lo sama gue? Bocah ah, gitu aja marah. Gak cocok sama muka buaya lo, Cell" Bryan terkekeh mendapat respon singkat dari Cello.

Biasanya cowok itu akan mengoceh panjang lebar jika diberi semangat, apalagi oleh Bryan yang notabenenya jarang sekali menyemangatinya.

"Kesambet apaan lo? Biasanya juga bodo amat kalau gue kesusahan"

"Sembarangan kalau ngomong. Gini-gini gue peduli sama lo"

"Iyain biar cepet"

Lagi dan lagi Bryan terkekeh. Entah hanya perasaann Rey saja atau bagaimana, ia melihat sosok Bryan yang dulu sama sulitnya untuk terkekeh, sekarang lebih mudah terkekeh hanya karena hal kecil.

Semuanya seolah berubah. Dan Rey sadar akan hal itu. Seseorang pasti mengalami perubahan dalam hidupnya, entah menjadi lebih baik atau lebih buruk. Sama halnya seperti hati Rey, cepat atau lambat hatinya itu akan kembali terbuka untuk seseorang di masa mendatang.

▲▽▲▽

Lama? Iya maaf, ada kesalahan di chapter sebelumnya, jdi dirombak lagi 🤧
Baca ulang aja kalau lupa sama jalan ceritanya.

Selalu ditunggu voment nya.

Thank's 🎶

Selamat TinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang