7

239 16 2
                                    

Nama

"Hanya sekedar nama, namun rasanya aku tak rela jika ingatanku tentang namamu hilang begitu saja"

◇◆◇◆

"Mati gue, Kanjeng Ratu lagi yang ngawas."

Cello bergerak gusar kala Bu Ida memasuki ruangannya. Bu Ida bukanlah guru kiler yang dengan tega merobek lembar jawaban siswanya jika ketauan mencontek, melainkan guru kiler yang dengan tega menghukum siapapun yang berani melanggar tata tertib sekolah, tidak memandang siapa dia dan anak dari siapa dia, termasuk si Ratu Sekolah.

"Berdiri! " perintahnya yang langsung dilaksanakan oleh seluruh penghuni kelas.

Ia berkeliling, memantau satu persatu anak muridnya. Mulai dari bagian atas yaitu rambut. Ada Caitlin dengan rambut bunglonnya setiap minggu selalu berubah warna, juga ada Ferdi si pentolan sekolah dengan rambut lidi yang sudah panjang dari batas maksimal yang sudah ditentukan.

Lanjut ke baju dan atributnya. Semuanya aman tak ada satupun yang melanggar aturan.

"Kamu sekolah dimana? " tanya Bu Ida pada Miko.

"Mahardika, bu" jawabnya polos seolah dia tak bersalah.

"Coba cek ikat pinggang kamu"

Bu Ida melanjutkan touringnya, memeriksa satu persatu anak didiknya. Celana dan rok sekolah pun aman, tak ada satupun yang melanggar.

"Mati gue" batin Cello saat Bu Ida mulai mendekatinya.

"Kamu lagi kamu lagi. Bosan saya liatnya" keluh Bu Ida saat mendapati Cello yang memakai sepatu berbeda dari yang lain. Bukan hanya dia yang memakai sepatu tak sesuai dengan peraturan, ada beberapa siswa lain. Namun karena terlalu seringnya Cello melanggar, membuat Bu Ida mampu mengingat wajahnya.

"Setelah ujian selesai, saya mau kalian semua berbaris di lapangan basket out door"

"Yah bu, panas dong, laper lagi, nanti saya pingsan gimana?"

"Marcello Wira Pradana, saya tidak mengizinkan kamu berbicara! Jika tidak suka silahkan keluar! "

Cello hanya bisa pasrah, ia melewati istirahat kali ini tanpa batagor Mpok Bila.

Jika Bu Ida sudah mengeluarkan suara lantangnya tak ada satupun yang berani bersuara. Setelah Bu Ida mempersilahkan duduk, mereka mulai fokus pada deretan soal yang harus mereka jawab. Ruangan yang biasanya ramai bak pasar, kini mendadak sepi. Tak ada satupun yang mengeluarkan suara.

◇◆◇◆

Bel berbunyi menandakan ulangan jam pertama telah berakhir, semua siswa bergegas keluar kelas, meninggalkan lembar jawaban mereka di meja masing-masing. Cello dan beberapa temannya yang melanggar mulai memasuki lapangan basket out door. Sayangnya matahari kali ini tidak bersahabat dengan Cello. Matahari terlihat meninggi dengan sinarnya yang menyilaukan. Cello pikir hanya kelasnya yang mendapat pemeriksaan kerapihan, ternyata kelas lain juga. Setidaknya ia bersyukur jika yang melanggar sebanyak ini, maka hukumannya akan terasa lebih ringan.

Cello memilih berbaris di belakang salah satu siswa yang tingginya melebihi dia, agar sinar matahari tidak langsung mengarah ke arahnya. Mata Cello mengamati sekitar lapangan basket, banyak siswa-siswi yang memperhatikan mereka disana.

Ia terkejut kala melihat seorang Arkhan berjalan ke arah ia dan teman-temannya berbaris. Seingatnya, seorang Arkhan sangat mematuhi aturan sekolah, tak pernah sedikitpun ia melanggar aturan yang ada.

Tak lama Bu Ida dan Pak Joe melangkah ke arah mereka yang melanggar.

"Bosan saya melihat dia lagi" ucap Bu Ida sambil melihat ke arah Cello.

"Marcello, maju ke depan! " perintah Pak Joe langsung ia laksanakan.

"Lari 15 putaran, lalu temui saya di ruang OSIS, laksanakan sekarang"

Cello langsung berlari meninggalkan teman-temannya yang lain. Setidaknya ia bersyukur hanya dihukum keliling lapangan. Tapi apa yang akan terjadi padanya nanti, apa Pak Joe akan menambah hukuman untuknya?

Entahlah, yang terpenting sekarang ia tuntaskan dulu hukuman dari Pak Joe, setelah itu baru ia menuju ruang OSIS.

Beberapa siswa ada yang diberi hukuman membersihkan sampah di lingkungan sekolah, ada pula yang membersihkan toilet. Cello bersyukur ia tidak mendapatkan hukuman seperti itu. Meski ia harus merelakan batagor Mpok Bila, tak apa yang penting ia tidak mencium aroma tak sedap di toilet.

Ketika beberapa siswa menerima hukuman, Rey berinisiatif membelikan Cello minum di kantin. Ia tau Pak Joe tidak akan memberikan Cello kesempatan untuk ke kantin.

"Air mineral 1" ucap Rey bersamaan dengan seorang siswi yang berdiri di sampingnya.
Rey menoleh mendapatkan dia yang kini tersenyum ramah ke arahnya. Siswi itu lagi, siswi yang sudah membuat pikiran dan hatinya kacau beberapa hari belakangan ini.

"Dingin? " tanya Bu Endang.

"Enggak" lagi dan lagi mereka menjawab bersamaan.

"Yang biasanya tinggal 1, den"

"Oh yaudah saya yang dingin aja"

Bu Endang pun menyerahkan air mineral sesuai pesanan Rey. Setelah itu ia berlalu meninggalkan kantin. Melupakan siswi yang tadi berdiri di sampingnya.

"Sorry"

Entah sejak kapan siswi itu berjalan di sampingnya. Rey hanya mengangguk dengan wajah datarnya. Namun entah mengapa cewe itu tetap membalas respon Rey dengan senyuman.

"Kalau gitu aku duluan. Permisi"

Sebelum siswi itu melangkah lebih jauh, Rey lebih dulu menarik salah satu pergelangan tangannya. Siswi itu menatap aneh ke arah Rey. Pasalnya tadi Rey hanya merespon dengan anggukan, lalu mengapa kini Rey menahan langkahnya?

"Sorry"

Rey melepas tangannya dari pergelangan siswi tersebut. Sambil mengucap kata maaf. Seperti biasa siswi itu selalu tersenyum. Rey sendiri bingung, apa memang tersenyum sudah menjadi kebiasaan siswi tersebut atau bagaimana.

"Nama" ucap Rey dengan datar.

"Maksudnya? "siswi tersebut merasa tak mengerti dengan yang diucap Rey.

"Nama lo" lagi dan lagi Rey berkata tanpa ekspresi.

"Kayla" ucapnya masih dengan senyum manis yang membingkai wajahnya.

"Udah? " lanjut siswi yang kini Rey tau namanya, Kayla.

Rey yang memang di kenal manusia es hanya merespon dengan anggukan. Percayalah, jika Cello melihat kejadian seperti ini, dia pasti menertawakan sahabatnya itu.
'Kaku banget sih lo' hal itu yang biasa ia ucapkan pada Rey.

Kayla. Kayla. Kayla.

Rey mengucapnya berulang kali seolah tak ingin melupakan nama siswi manis yang sukses memporakporandakan pikiran dan hatinya.

"Manis" ucapnya sangat pelan.

Selamat TinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang