Brayen mendesah, tidak tega melihat kekasihnya harus menangis dengan suara pilu. Ia gagal untuk memenuhi janji, ucapan sakral itu, tercetus begitu saja dari mulutnya. Padahal, awalnya ia tidak berniat sedikit pun untuk membenarkan ucapan sakral itu, tapi nyatanya Brayen malah lantang mengucapkannya dengan suara yang lapang."Kamu tenang aja, aku bakal cari cara supaya kita bisa sama-sama lagi." Brayen berusaha meyakinkan Ines, ia tidak mau kehilangan kekasihnya.
"Aku bakal ceraiin dia, secepatnya."
Ines menggeleng, rasanya itu sangat mustahil. Ia akan menerima dosa yang besar, memaksa sepasang suami istri agar berpisah.
"Terlambat, Riyan. Harusnya, kalau kamu benar-benar tidak menginginkan pernikahan itu, kamu nggak bakal pernah mampu ngucapin ijab kobul itu, tapi nyatanya?" tidak tahu harus berbicara apalagi, Ines telah memutuskan, semalaman penuh mengambil keputusan, ia memilih untuk mengakhiri hubungan itu. Sebab, sampai kapan pun, ia tidak akan pernah memiliki Brayen.
"Belum, Nes. Ini belum terlambat. Aku tidak mencintai dia, gimana mungkin aku hidup bersama perempuan angkuh kayak dia."
"Riyan, aku udah bikin keputusan, lebih baik, kita selesaiin hubungan kita. Aku mohon, jangan bikin aku jadi perempuan jahat, yang merebut suami orang lain. Aku bukan wanita sehina itu."
"Kamu bukan merebut aku, Nes. Justru dia yang udah bikin kita terjebak dalam situasi kayak gini, gara-gara pernikahan sial itu, kamu milih buat ninggakin aku? Aku nggak akan biarin itu." kata Brayen tak terbantahkan, ia sangat keras kepala, Ines sudah paham betul watak Brayen. Tapi, itu tidak akan membuat tekatnya goyah untuk berpisah. Keputusanya sudah bulat, meski harus rela menanggung nestapa.
"Apa cuma segini cinta kamu buat aku?" tanya Brayen dengan wajah tak habis pikir. Ada rasa aneh yang sekoyong-koyong menggerohoti ruang hati.
"Kamu pernah denger kan kata orang, setiap pasangan yang pernah dipertemukan tidak harus untuk bersatu, dan kita hanya dipertemukan dan bukan ditakdirkan untuk bersatu."
"Aku nggak peduli, itu cuman kata orang, Nes. Sejak kapan kamu peduli ucapan mereka?!"
Brayen menatap Ines tajam, ada emosi yang meluap di dalam dada, Brayen merasa kecewa dengan keputusan gadis itu, mengahiri hubungan dengan cara sepihak membuat Brayen terlampau dalam sakit hati, melepaskan perempuan yang dicintai demi memenuhi permintaan orangtuanya.
Semuanya memang tidak ada yang bisa mengerti, zaman sitinurbaya yang Brayen alami ternyata benar-benar menyelekit hatinya."Mending, sekarang kamu pulang. Istri kamu, pasti nyariin kamu."
Bayen yang meneggakkan tubuhnya, melangkah pergi tanpa sepatah kata yang diucapkan, hatinya terlampau sakit menanggung kecewa, dan ini semua terjadi karena pernikahan itu, gara-gara pernikahan itu, Brayen terluka, menerima kenyataan kalau kekasihnya telah mengakhiri hubungan yang begitu indah. Dua orang yang saling mencintai harus berpisah, terjebak dalam situasi yang sulit.
Ines mendesah, berat melepaskan Brayen, hati dan mulutnya sangat kontradiktif, sebenarnya ia ingin Brayen menceraikan perempuan itu, tapi mulutnya tidak lantang untuk meminta permintaan gila itu.
Kedua tangan yang sajak tadi terkepal, kini mulai terbuka, jari-jari itu bergetar dengan gerakan cepat, emosinya kini meluap, menangis dalam kesendirian tanpa ada tempat untuk bersandar, orang lain telah merebutnya. Kesedihan seolah tak dapat lagi dibendung.
"Maafkan aku, Riyan. Kita sama-sama terluka. Tapi, ini untuk kebaikan kita berdua, sorry..."
***
Aluna menangis meraung, masuk ke dalam kamar Rio, kakaknya. Hanya pria itu yang mau mengerti perasaannya, orangtuanya tidak akan pernah mau mendengarkannya, percuma mengadukan nasib yang menimpanya tadi malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE ✔
RomanceCerita lengkap ada di Dreame 🌻🌻🌻 "Aku bakal ceraiin dia secepatnya." Ines menggeleng, rasanya itu sangat mustahil. Ia akan menerima dosa yang besar, memaksa sepasang suami istri agar berpisah. "Terlambat, Riyan. Harusnya, kalau kamu benar-benar t...