***Sore itu, Aluna dan Brayen sudah pulang ke rumah, setelah hampir berjam-jam menemani Aluna mengelilingi kebun binatang, benar-benar membuat Brayen merasakan lelah yang teramat. Apalagi harus terpaksa menggendong Aluna dengan jarak yang hampir menembus 4 kilo meter, membuat pinggangnya terasa pegal dan nyeri.
Di dalam rumah, Aluna bisa menyaksikan kedua orangtuanya sedang berbicara dengan mertuanya, terkadang terdengar gelak tawa yang membungkus percakapan mereka, memancing Aluna, ingin tahu dengan apa yang tengah mereka bincangkan.
"Mamah, papah, kok bisa ada di sini?"
"Memangnya nggak boleh, mamah sama papahmu ini merindukan anaknya yang manja dan dekil ini?" kata om Arif setengah bercanda, laki-laki itu menyembunyikan cekikikanya di balik telapak tangan yang terkepal.
"Aku nggak dekil papah, aku bersih!"
"Mamah tau, kamu nggak mandi pas ngajak Brayen untuk pergi keluar."
Kedua mata Aluna terbelalak kaget, tidak bisa menyembunyikan keterkejutan yang luar biasa.
"Dari mana mamah tau?"
"Brayen yang bilang."
"Dia bohong, aku mandi kok."
"Dia yang bohong, mah. Dia cuma bersihin belekan matanya doang, sampai dia nggak gosok gigi," kata Brayen terang terangan, Aluna memandang kesamping, menatap Brayen yang hanya memasang wajah mengesalkan, membuat Aluna jenglel setengah mati. Dengan gerakan cepat, Aluna bisa menarik lengan Brayen, dicubit, lalu ditarik dengan kuat, membuat Brayen berteriak menahan sakit, mengusap lengannya yang barusan mendapat siksaan kejam bari jari tajam Aluna.
"Kalian ini, setiap hari selalu saling ngehatuhin, berantem terus, kamu juga Brayen, jangan menuduh Aluna seperti itu."
"Aku nggak menuduh dia, mah. Emang nyatanya gitu kok, dia bau."
Wajah Aluna mulai bersungut-sungut, Brayen seolah sengaja membuatnya malu di depan kedua orangtua dan mertuanya itu, karena terlalu kesal, Aluna menoyor kepala Brayen kuat, hingga kepala itu terdorong kebelakang, bagaikan terjadi guncangan begitu dasyat di kepala Brayen, membuat pria itu terperangah dalam beberapa detik.
Aluna menggertakkan giginya, lalu merjalan cepat dengan kaki di hentakkan ke atas lantai, ia benar-benar kesak dengan Brayen.
Tante Diana dan om Rudi cekikikan sendiri, ternyata Brayen dan Aluna bisa selucu itu, seperti anak kecil yang tidak mau mengalah satu sama lain, padahal sekarang, mereka sudah terikat menjadi sepasang suami istri, hubungan yang seharusnya berjalan normal seperti pasangan lain.
***
Aluna duduk di atas ranjang, kedua tangan dilipat di atas dada, rasanya benar-benar ingin menonjok mulut Brayen, ia sampai tidak sadar telah berhasil menyiksa bantal guling hingga menjadi cacat, tercabik-cabik dan mengeluarkan isi badannya. Aluna memang sudah terlihat seperti macan yang sedang mengamuk saat kehilangan anaknya, merusak apapun yang ia jumpai. Emosinya masih saja belum mereda, ledekan Brayen benar-benar membuanya kesal dan sakit hati, rasanya belum puas jika belum mampu membalaskan dendam, hatinya berkoar-koar panas.
"Aluna," Aluna hanya menghiraukan suara itu, ia sudah tau kalau itu suara sang mamah. Ia lebih memilih menorotkan bibirnya, maju kedepan dengan ekspresi semanja mungkin, membuat taante Diana menjadi sangat gemas.
"Mamah ngapain? Mau ketawain aku?"
"Loh, kenapa mamah harus ketawain kamu?"
"Karena aku nggak mandi dan gosok gigi kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE ✔
RomansaCerita lengkap ada di Dreame 🌻🌻🌻 "Aku bakal ceraiin dia secepatnya." Ines menggeleng, rasanya itu sangat mustahil. Ia akan menerima dosa yang besar, memaksa sepasang suami istri agar berpisah. "Terlambat, Riyan. Harusnya, kalau kamu benar-benar t...