***
Aluna baru saja tiba di kampus, Arsya benar-benar bagaikan malaikat penolongnya, jika Arsya tidak datang, mungkin semuanya akan kacau, ia harus siap kembali mengulang kuliah di tahun depan, dengan perut yang benar-benat sudah membesar. Membayangkannya saja, Aluna sudah benar-benar ngeri, apalagi jika mengalaminya secara nyata.Arsya masih belum percaya, bisa membawa Aluna di atas motor yang sama, merasakan saat tangan perempuan itu melingkar hangat di pinggangnya, jika boleh jujur, Arsya ingin hal itu selamanya, tetap bisa mengantar dan menjemput Aluna layaknya sebagai sepasang kekasih. Sekarang, mereka berjalan berdampingan di atas koridor kampus, Arsya benar-benar merasa sangat bahagia.
"Besok, mau di jemput lagi?"
"Emang lo nggak repot?"
"Nggak, kalau emang Brayen nggak mau berangkat bareng lo, biar gue yang jadi tukang ojek lo, gratis tanpa biaya."
Aluna tergelak tawa mendengarnya.
"Emang lo mau?"
"Kenapa enggak."
Aluna hanya mengangguk, tidak memberikan jawaban apa-apa.
Saat masih berjalan di koridor, Aluna bisa melihat beberapa mahasiswa berlarian dari gedung farmasi, dan teknologi komputer, seolah berhamburan dengan sorak marai keributan, membuat kepala Aluna bertanya-tanya, apa yang terjadi."Ini kenapa? Demo?"
"Gue nggak tau. Tapi, kayaknya bukan demo deh, ini ada yang berantem."
Entah kenapa, tiba-tiba Aluna di kuasai rasa penasaran, tidak memberikan aba-aba apapun, ia langsung berlari mengikuti kerumunan mahasiswa yang lain, tidak memerdulikan bagaimana kondisi tubuhnya saat itu, gerakan yang terjadi terlaksana begitu refleks tanpa diminta.
Aluna mencoba mengatur nafasnya, mencoba mengintip ke arah gedung kelas ekonomi, kelas Brayen. Tiba-tiba saja di hadang rasa curiga.
Setelah cukup merasa normal, Aluna menerobos masuk ke dalam kerumunan masa, seketika nafasnya terhenti, melihat kekerasan di depan mata. Ya, Brayen sudah terkapar di atas ubin, dengan laki-laki yang duduk di atas tubuhnya. Wajah pria itu juga ikut memar-memas, sementara Brayen sudah setengah sadar, mungkin jika terus dipukul seperti itu akan langsung melayangkan nyawanya.
"Berhenti!" Aluna berani mendekat, mendorong tubuh pria itu dari atas tubuh suaminya. Air mata Aluna bersimbah tanpa diminta, mungkin ini sebabnya, kenapa ia bisa berada di tempat ini, ia harus melindungi suaminya.
"Kenapa lo pukul dia!" kata Aluna begis, matanya berkaca-kaca dengan wajah penuh emosi.
Pria itu hanya tertawa ironi, seolah-olah sedang terjadi drama yang begitu lucu, seperti film-film yang tayang di tv, saat kekasihnya dihajar, datanglah perempuan yang berkedok sebagai bidadari pelindung, sangat mendramatis.
"Diam! Nggak usah ikut campur!"
"Tapi lo mau bunuh dia! Lo gila?"
"Gila?" ia hanya mampu tersenyun sarkastis, lantas berjongkok di depan Aluna, lalu menatap Brayen dengan antipati.
"Pembunuh seperti dia, juga pantas untuk dibunuh!"
"Pembunuh?"
Mendengar pengakuan laki-laki itu, jantung Aluna nyaris berhenti bekerja, setaunya, selama ini Brayen tidak pernah menghabisi nyawa seseorang.
Mendadak suasanya menjadi tetang, pria itu kini terududuk dengan lesu. Menjenggut rambutnya frustasi, satu-satunya keluarga yang ia punya, telah dibunuh oleh Brayen, laki-laki pecundang yang tidak tahu diri.
"Dia sudah menabrak adik gue, tepat di hari ulang tahunya. Padahal, cuma dia yang gue punya. Tapi, gara-gara kebodohan dia yang ugal-ugalan di jalanan, ngebuat adik gue harus kehilangan nyawanya. Andai saat itu dia nggak kabur, mungkin nyawa adek gue masih ketolong," suaranya mulai melamban, terdengar kesedihan yang terdalam di dadanya, rasanya begitu sangat sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE ✔
RomansaCerita lengkap ada di Dreame 🌻🌻🌻 "Aku bakal ceraiin dia secepatnya." Ines menggeleng, rasanya itu sangat mustahil. Ia akan menerima dosa yang besar, memaksa sepasang suami istri agar berpisah. "Terlambat, Riyan. Harusnya, kalau kamu benar-benar t...