2 |menyenangkan.

61 4 1
                                    

Seperti yang kubilang sebelumnya. Ayahku sering mengajakku ke kebun teh miliknya.

Begitu pun hari ini. Meskipun usiaku sudah menginjak 10 tahun. Dia tetap menuntunku berjalan. Tangannya mengenggam erat tanganku. Aku bertanya apa alasan dia melakukan itu.

"Disini licin. Bagaimana jika kau jatuh, Lance"
Jawaban yang sama seperti 2 tahun lalu. Dia benar-benar tidak berubah.

"Ayah, kau tahu berapa usiaku saat ini?" tanyaku ragu.

"Tentu saja" jawabnya yakin

"Berapa usiaku?" tanyaku lagi

"10 tahun, nak. Ayah tahu kau sudah besar sekarang" jawab ayah. Tangannya mengacak rambutku pelan.

Aku hanya tersenyum.

"Apakah kau ingin bermain?" tanya ayah.

Aku menggeleng kepalaku.

" Ada apa?" tanya ayah lagi

"Aku sedang tidak ingin bermain" jawabku

"Kalau begitu, bagaimana jika kita mengobrol di bawah pohon itu" tawar ayah sembari menunjuk ke salah satu pohon besar disana.

Aku mengangguk menyutujui tawarannya.

Kami berjalan mendekati pohon itu dan kemudian duduk di bawahnya.

"Ayah berharap semuanya akan baik-baik saja, Lance" kata ayah pelan.

"Ada apa ayah?" tanyaku.

Ayah hanya tersenyum kepadaku. Kemudian mengacak rambutku seperti biasanya.

"Kau harus tahu bahwa ayah menyayangimu lebih dari apapun" Kata ayah serius. Matanya tampak berkaca-kaca. Entah apa alasannya, ayah terlihat berbeda hari ini.

"Bisakah aku mempercayaimu?" Tanyaku jahil.

Ayah terdiam mendengar pertanyaanku. Tak sepatah katapun yang ayah ucapkan.

"Ayolah, aku hanya bercanda. Tentu saja aku mempercayaimu" Ucapku yang kemudian mengundang senyum ayah.

"Bagaimana sekolahmu?" Tanya ayah sembari merubah posisi duduknya. Dia menyilangkan kedua kakinya.

"Seperti biasa, semua guru memuji kepintaranku. Dan anak-anak perempuan mendekatiku untuk bermain. Tapi, aku menolaknya"

"Kenapa?" Tanya ayah

"Aku hanya ingin menjual mahal"

Ayah tertawa mendengar jawabanku. Dan lagi lagi mengacak rambutku.

"Kau harus tumbuh menjadi pria yang dermawan dan tidak sombong." Nasehat ayah.

Aku mengangguk dan tersenyum.

Tiba-tiba langit berubah menjadi gelap.
Padahal waktu masih menunjukkan pukul 5:30 sore. Biasanya langit akan berubah kemerahan. Namun kali ini, langit tampak lebih gelap seperti malam. Aku dan ayah bergegas untuk pulang.

"Sepertinya malam ini akan hujan deras" kata ayah. Wajahnya terlihat begitu khawatir. Entah mengapa. Padahal, saat saat seperti inilah yang ayah tunggu untuk mengajakku bermain. Namun tidak saat ini, ayah malah mempercepat langkahnya.

Mau tak mau aku harus menyatarakan langkahku dengannya.

"Ayah, bisakah kau memperlambat jalanmu?" ujarku

Namun, tak ada jawaban apapun.

"Ayah?" Panggilku pelan

Namun, tetap tidak ada jawaban. Ayah semakin mempercepat langkahnya.

"Ayah? Kau baik-baik saja?" Tanyaku heran dan berusaha mempercepat langkahku.

"Cepatlah, Lance. Kau ini lambat sekali!" Bentak ayah yang masih berjalan.

Langkahku terhenti. Untuk pertama kalinya ayah membentakku seperti itu. Tak kurasa, air mata mengalir di mataku dengan diiringi air hujan yang mulai turun.

Aku berbalik dan kemudian berlari.

"Lance kau mau kemana?" Teriak ayah kencang. Meskipun suaranya sedikit tersamarkan oleh derasnya air hujan. Namun, Aku dapat mendengar suara ayah dengan jelas.

"Tinggalkan aku, ayah" Balasku berteriak dan terus berlari.

Hujan membasahi tubuhku. Namun, aku terus berlari dan akhirnya sampai di depan rumah Dokter Anna.

Aku mengetuk pintu pelan.

Tak lama kemudian, Dokter Anna muncul di balik pintu dan mendapati aku yang kini berdiri di hadapannya.

"Lance?! Apa yang kau lakukan di luar sana. Mari masuk" Kata Dokter Anna

Aku masuk ke dalam rumahnya dengan baju basah kuyup. Air mataku tetap mengalir dan ikut membasahi pipiku

"Ada apa sayang?" Tanya Dokter Anna lembut. Dia berlutut didepanku. Tangannya memegangi kedua pundak ku.

Seseorang anak seusiaku berjalan mendekat dan berdiri di belakang Dokter Anna. Anak itu bernama Owen. Dia adalah putra tunggal Dokter Anna sekaligus teman sekelasku.

"Lance, kau kenapa?" Tanyanya. Namun, aku tidak menjawab pertanyaannya.

"Owen, antar Lance ke kamarmu. Ibu akan menyiapkan pakaian untuknya." Ujar Dokter Anna

"Kemarilah" Kata Owen sembari menuntun tanganku.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Kini, aku duduk di lantai kamar Owen. Aku pun telah mengganti pakaianku. Namun, aku tetap menangis.

Owen masuk ke dalam kamar dengan secangkir cokelat panas. Dia memberikan nya kepadaku dan ikut duduk dilantai.

"Apa yang terjadi, teman? Ini membuatmu terlihat begitu aneh. Kau tahu? Aku tidak pernah melihatmu menangis sebelumnya"
Tanya Owen khawatir.

"Suasanaku benar-benar hancur saat ini. Aku berharap kau bisa memahaminya. Aku sedang tidak ingin bicara kepada siapun. Tapi, terimakasih telah bersimpati" Jelasku panjang lebar

"Baiklah" Kata Owen sembari mengangguk.

Dia adalah teman terbaikku di sekolah. Namun, pemikiran dan sikapnya lebih dewasa jika dibanding denganku yang terlihat lebih manja. Mungkin, karena didikan Dokter Anna yang keras namun bijaksana.

"Ibuku akan mengantarmu pulang malam ini" Kata Owen

"Aku tidak mau pulang" Ujarku.

"Ayolah, kedua orang tuamu pasti mengkhawatirkanmu saat ini. Ayahmu menelpon sedari tadi" Jelas Owen

"Tidak mau"

"Lagipula ibuku akan memeriksa keadaan ibumu saat ini. Ibumu pasti sangat khawatir, Lance"

Aku terdiam dan kemudian mengangguk setuju.

"Bersiaplah aku akan ikut mengantarmu" Kata Owen








Sebenernya cerita ini tuh pernah aku publish sebelumnya. Tapi akhirnya di unpublish karena cerita "Desember" yang belum kelar. Tapi sekarang di republish wkwkwk

Tolong dukungannya

LANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang