FIRST (Zen)

15 2 0
                                    

"Singkirkan tangan kotormu darinya!"

"Emang lo siapa!?"

"Aku pacarnya! Mau apa!?" bentakku dengan tatapan tajam.

"Nggak! Dia bukan pacarku!" cewek itu melindungiku dengan menahan pria yang sekarang mengalihkan targetnya padaku.

Penjahat berbulu domba itu hanya mengerutkan keningnya. Detik kemudian, ia mengangkat pisau dan hendak menghunuskannya.

"Gue nggak peduli! Mau lo pacarnya atau bukan, gue gak peduli!"

Darahku semakin mendidih. Rupanya ia ingin bermain denganku. Tapi aku harus menahannya. Tahan. Aku tak boleh mengeluarkannya.

"Minggir kalo lo gak mau mati!" teriakku. Ah persetan dengan tata krama, nyawa Vie akan melayang kalo aku nggak cepat.

"Aku bisa sendiri! Aku bukan cewek lemah seperti katamu! Aku gak lemah!" kata-katanya mengingatkanku pada konflik kami sebelum ini.

Tapi sekarang bukan saatnya mengingat hal itu.

"Kamu diem aja. Kalau kamu terus cerewet dan nggak nurut, aku nggak yakin hukumanmu setelah ini akan berkurang," aku tersenyum penuh makna.

Sejenak ia terdiam kemudian, wajahnya memerah jambu. Ah, sungguh manis.

"Dasar mesum!"

"Khee, aku nggak mesum, kok. Kamu aja yang terlalu mengartikannya. Kalo mau hukumanmu berkurang, tutup mulut manismu dan tetaplah tenang. Aku nggak lama kok," aku kembali tersenyum. Wajahnya makin memerah.

***

SET!

Tatapanku kembali dingin ketika melihat penjahat itu menghunus pisau ke arahku dengan acak, dan tentunya aku dapat menghindar dengan mudahnya sampai langkah kakinya oleng.

"Lepas!" cewekku menggunakan jurus andalan para cewek, menendang tempat vital di antara kedua kaki penjahat itu. Ia ambruk dalam sekejap. Good job, Vie.

Meski aku lega dan Vie senang telah mengalahkan penjahat itu tapi, tak dapat dipungkiri lagi bahwa tendangan itu akan menjadi sangat mematikan bagi kami, para lelaki. Aku hanya merasa sedikit bersimpati padanya.

"Hoo...,meskipun kamu sudah sangat membantu, kau tetap tidak menurutiku. Aku nggak bisa jamin hukumanmu berkurang, lho," tak lupa aku memasang senyum itu lagi. Senyuman yang membuatnya menjadi salah tingkah.

"A-apaan, sih!" saat ia akan memukulku dengan tangan kecilnya, aku justru menangkap dan menariknya dalam pelukanku. Perasaan kesalku meluap. Kesal pada penjahat itu, padanya, pada diriku sendiri.

"Maaf. Aku terlambat menolongmu," setengah berbisik kukatakan padanya. "Seharusnya aku tidak membiarkanmu pulang sendirian saat itu. Seharusnya aku menemanimu setiap saat. Seharusnya aku-" ia menepukku pelan seperti mengisyaratkan "It's okay,".

Aku mendekapnya semakin erat. Takkan kulepas lagi.

"Zen, aku mencintaimu. Aku kalah," kulepas pelukanku dan menatap mata beningnya dengan tidak percaya. Ia menarik bajuku sambil menunduk dengan wajah memerah bak kepiting rebus.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Kata-kataku, "Kau-"

Ia menghadap padaku dengan mata hijau sendu dan wajah yang entah mengapa selalu terbayang akhir-akhir ini.

"Hm" gumamnya mengiyakan pertanyaan yang belum kuperjelas. Tuhan, bantu aku mengontrol diriku saat ini. Kami pun speechless dengan perasaan bercampur aduk.

Iris merahku menatapnya lembut. Rambut hitamku berkibar tertiup angin. Aku memeluknya lagi dan berbisik pelan di telinganya, "You know what, Vie?"

"I always love you.".

LOOKS LIKE OURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang