Aku mendengus kesal ketika cewek-cewek genit dan tak tahu malu itu mengerubungiku seperti semut mengerubungi gula, terlebih ketika mereka memandangku dengan tatapan memuja itu, ugh. Menjijikkan.
"Lepasin. Kalian menjijikkan"
Jleb! Kurasa aku mendengar sebuah panah semu menancap di hati mereka. Kutambah,
"Aneh. Cewek kayak kalian kok bisa sekolah di sini sih?"
Jleb! Dan lagi,
"Parasit."
Ups. Apa aku keterlaluan hingga membuat mereka membatu seketika? Tidak.
"Pergi." Jlebbb..!! kurasa belum cukup.
"Kalian mau pergi atau...," aku memainkan telpon genggamku, "Perbuatan kalian minggu lalu akan kusebar ke satu sekolah." Aku memasang senyum iblis. Hanya dengan itu mereka akan kabur tanpa sepatah katapun.
Sebenarnya mereka pergi atau tidak, video itu akan tetap kusebar. Hmm..tapi wajah mereka akan kusensor, kok. Aku baik kan?
"Ja...jangan gitu. Kasihan mereka," cewek disampingku memohon dengan wajah polosnya.
"Hmm..?" Aku mempersempit jarak hingga dia terjebak di antara diriku dan dinding.
Di luar dugaanku, dia malah balas menatapku dengan mata beningnya. Wajah itu sama sekali tidak menunjukkan rasa takut.
"Kan kamu bisa minta mereka pergi dengan baik-baik," wajah imut itu kini menatapku polos.
"Kamu-" Ugh! Aku nggak bisa mengontrol diriku. Tahan Riz. Kalo nggak, dia bisa benci.
"eh? Aku kenapa?" cewek itu masih menatapku dengan wajah polosnya. Tapi kini, tatapannya menyorotkan rasa ingin tahu yang besar. ARGH!
TAHAN, RIZ! Tanganku menariknya lebih dekat.
ARIZ! TAHAN! STOOP!
Sayangnya tubuhku bergerak lebih cepat dari dugaan. Pikiranku kalah dari egoku yang semakin mempersempit jarak di antara kami. Jarak itu semakin menipis hingga bisa kurasakan hembusan nafasnya.
Kemudian, kupejamkan mataku. Lembut...manis. Benar-benar menggoda.
Sial. Seseorang akan datang.
Kulepas dan kulihat wajahnya memerah dengan nafas yang memburu. Aku membelai wajahnya dan meninggalkannya sambil tersenyum tipis. Ia hanya mematung.
Ariz...dia benar-benar sudah membuatmu gila.
"Sampai jumpa lagi," aku tersenyum. "Oh ya. Siapa namamu?" aku kembali menatapnya yang masih mematung.
"Eh..a-" ia terlihat salah tingkah.
"Hehe..bercanda, kok. Dahh..Riana," aku berlari menjauhi tempat itu, meninggalkannya yang masih bingung dengan wajah memerah.
Bagai bulan dan bintang, aku selalu mencarinya. Memastikannya untuk selalu dapat kulihat. Juga menemani dan menggodanya. Tentu saja dengan sejuta pertanyaan yang ia lontarkan. Kenapa dan lain sebagainya. Aku hanya mejawab 'karena itu yang kumau'.
Siang ini...dia tidak ada. Aku sudah mencarinya kemana-mana. Begitu temanku berkata kalau ia melihat Nana dengan perempuan penggoda itu, aku langsung berlari. Gawat. Apa yang akan mereka lakukan?
Aku berlari hingga kudengar sebuah teriakan dari ruang peralatan olahraga. Kuputar balik arahku dan benar. Saat kulihat dari balik jendela, dia disana. Bersama mereka, pengganggu. Penampilannya berantakan. Rambut dan bajunya kotor. Matanya yang polos dan bersinar kini menjadi sendu. Kakinya bergetar namun tatapan matanya tajam menusuk ke arah perempuan yang kini menatap Nana punuh kebencian.
"Lo tuh emang kurang ajar, ya!" salah satu dari cewek itu menampar Nana.
"Memangnya, aku ngapain?" balasnya. "Salah ya, kalau menyukai seseorang?"
"Lo-dasar nggak tahu malu! Lo nggak boleh deketin dia! Kalian nggak selevel!" bentak cewek iblis itu penuh emosi.
"Dia..?" Nana jatuh terduduk. Kakinya terus bergetar. "A..riz?" aku mendobrak paksa pintu itu saat,
"Lo ini emang-" tangan cewek iblis itu bersiap menampar Nana jika saja aku tidak berhasil masuk.
"Deketin dia? Maksud lo gue? Yo! Cewek-cewek genit," mereka terkejut dan bersiap mencari alasan. Aku langsung menendang sebuah kursi kayu yang menarik perhatianku ke arah dinding sehingga bongkahan kayunya berserakan. Kuambil salah satunya dan menatap mereka dingin.
"Gue udah bilang sama lo dan ini yang terakhir. Next you'll have no mercy." hanya ketakutan dari mereka yang kulihat.
"Get lost!" bentakku kasar. Cewek seperti mereka nggak pantas diberitahu baik-baik lagi.
Berhubung aku memang menghancurkan kursi itu, kurasa mereka sadar bahwa ini bukan lagi permainan. Dengan tangisan buaya, si cewek iblis dan pengikutnya berlari meninggalkan ruang peralatan.
"..Ariz?" seketika kulepas kayu di genggamanku dan menoleh ke arah Nana. Aku membantunya berdiri dan menatapnya.
"Lanjutkan ucapanmu." ucapku. Ia membalas tatapanku,
"Yang mana? mm...yang suka?" ia selalu berhasil membalasku. "kamu kan sudah tahu," lanjutnya. Aku memeluknya dan berkata,
"Kalau begitu kamu harus tanggung jawab, Riana.".
KAMU SEDANG MEMBACA
LOOKS LIKE OURS
Teen FictionLima Pangeran Kampus dengan kepribadian dan kisah yang berbeda, terhubung oleh satu garis yang tak pernah mereka duga. Bertemu dan berteman hingga mencoba menaklukan hati para gadis yang mereka sukai. warn: alur cepat