[2] Madelief

57 16 11
                                    


Madelief, kata sederhana penuh makna.
Tak banyak anggota di dalamnya.
Tapi, banyak canda dan tawa menghiasi di setiap harinya.

Berjalan bersama merajut asa,
Berbagi ilmu yang dimiliki seadanya.
Setia meski tak selalu bersama.
Bertegur sapa dimanapun kami berjumpa.

Tak memandang kasta apa lagi dusta di antara kita.
Hanya kasih sederhana yang mengikat kami semua.
Ketulusan dan kejujuran jadi pedoman.
Impian dan harapan kami kejar meski dalam bayangan.

Semua berjalan perlahan dan tetap bertahan meski halang melintang.

Madelief, my first home.

🏡🏡🏡

Kutatap langit-langin kamar yang terlihat samar karena mataku tak kuasa menahan tangis. Haru serta bangga bisa memiliki keluarga baru yang teramat seru.

Terlebih ada anggota Madelief di sini, setidaknya aku tak merasa asing dan terlihat payah karena merasa paling bodoh dan belum punya pengalaman sedikit pun di dunia literasi, khususnya dunia aksi dalam rumah Action World.

Tubuhku menggeliat penuh kenikmatan di ranjang cukup yang cukup besar. "Benar-benar kenikmatan yang haqiqi," gumamku seraya memiringkan tubuh hingga mengarah ke jendela kamar.

Rasa kantuk mulai menyeruak dan dalam hitungan detik saja aku akan pergi ke pulau kapuk lalu bertemu pangeran pujaanku dalam mimpi. Tapi sayang, mimpi indahku tak bisa dimulai karena terdengar suara ketukan pintu dari luar. Sontak aku beranjak dari ranjang.

"Iya, tunggu sebentar!"

Aku menghela napas kesal seraya memutar bola mata, lalu memasang senyuman manis dan menekan gagang pintu hingga papan kayu itu terbuka.

"Mommy!"

"Chaca, Meme?" Aku mendelik tak mengerti atas kedatangan mereka ke kamarku. "Kalian mau ngapain ke sini?"

"Ketemu, Mommy lah!" timpal Dini seraya melewatiku lalu masuk ke kamar dan duduk di ranjangku.

Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas saat ini. Mungkin menghela napas akan menjadi aktifitas favoritku dan memang itulah yang terbaik untuk menahan amarah saat lelah.

Kedua wanita muda yang tidak jauh usianya dariku mulai melakukan aktifitasnya masing-masing, menghiraukan diriku yang menatap mereka tajam. Tapi apalah dayaku sebagai seorang ibu bagi mereka. Seolah sedang berada di rumah lama kami dan bermain di kamar Mommy-nya. Kubiarkan saja mereka menguasai ranjang besar itu dan aku mulai beralih pada sofa di samping jendela kaca.

Kudaratkan bokong di kursi panjang nan empuk. Tanganku bersedekap dengan tatapan tak lepas dari kedua remaja dengan tingkah kekanak-kanakan itu. Menyebalkan memang, tapi tetap saja mereka adalah anak, adik, teman dan keluarga pertamaku yang mengantarkan aku pada rumah baru serta keluarga baru saat ini. Jujur saja, tanpa informasi dari mereka aku tak akan sampai dan menetap di sini.

"Meme!" panggilku, sontak mengalihkan pandangannya dari ponsel yang ia genggam.

"Ya, Mom."

"Kok kamu nggak bilang sama Mommy kalau sudah gabung dengan Action World?"

"Lah, ngapain bilang sama Mommy?" jawab Dini ketus.

"Iya, lagi pula waktu itu Mommy bilang enggak tertarik dengan iklan yang kita kasih," timpal Chaca.

"Mommy juga lagi sibuk, kan?! Terus ngapain Mommy sekarang ada di sini? Ikut serta dalam event yang diadain Action World juga lagi." Dini berujar disertai menyertakan pertanyaan dengan nada dingin.

Alih-alih mendapat jawaban, malah mendapat sebuah pertanyaan yang membuatku geram dan ingin pergi meninggalkan mereka sekarang juga. Aku hendak bangkit dan beranjak pergi dari sofa nyaman ini, namun niatku urung karena gerakan cepat dan aksi drama mereka sudah berakhir. Kedua remaja pintar itu kini berhambur kepelukanku.

"Mommy, welcome to new home!"

"Huh, kalian ini," aku kembali menghela napas penuh kelegaan.

"Akhirnya, Mommy mau juga ikut gabung bersama kita dan menimba ilmu di sini."

"Madelief itu, bukan kamu, dia, atau aku seorang diri, tapi kita. Madelief itu, receh, renyah, riuh. Tiga R tak lengkap jika Cuma kalian berdua, benar begitu gaes?"

Sejenak Dini dan Chaca saling bertukar tatap lalu kembali memelukku. Setelah itu Chacha melepaskan pelukannya dari tubuhku lalu berkata, "Tapi, Mom harus hati-hati loh!"

"Kenapa?"

"Jangan rusuh, soalnya kalau terlalu rusuh dan nggak jelas bakalan dikeluarin dari rumah ini begitu saja," jawab Dini.

"Dan kemarin sudah ada dua orang anggota baru yang di usir secara tidak hormat," timpal Chacha, menambahkan.

Aku meringis ngeri mendengar perjelasan mereka, sepertinya memang grup kepenulisan yang besar ini bukanlah main-main. Bisa-bisa aku mati terbunuh dengan tokoh-tokoh aksi yang mereka punya. Tapi jangan panggil aku Reva bila tidak bisa bersosialisasi dan sukses menimba ilmu di rumah ini. Aku tak akan berhenti setelah berjalan sejauh ini. Aku tahu betul kapan, di mana bersikap serius dan bercanda. Tidak seperti di Madelief—di rumah lama kami, sanggar kepenulisan yang penuh kebebasan tanpa batasan.

"Oh iya, Mom jangan lupa nanti akan ada tamu sebagai narasumber dan pembawa materi untuk kita." Dini mengingatkan sebelum ia mulai beranjak pergi dari kamarku.

"Iya," jawabku singkat saja, karena memang aku sudah mengetahui prihal jadwal Action World dari Wanita kemarin yang bernama Pratiwi Susanti.

Dan aku lebih sering atau senang memanggilnya dengan sebutan kak Tiwi. Kurasa kakak cocok untuk panggilannya, lagipula wajahnya tidak terlihat sudah berusia separuh baya. Ia masih cantik dan sikapnya berwibawa. Memang pantas menjadi salah satu pemilik dan pengurus sanggar serta grup Action World.

Tapi masih banyak hal yang tidak aku ketahui dengan seluruh penghuni Action World. Ada banyak nama yang tidak aku ketahui siapa pemiliknya.

Pertama kali aku memasuki rumah ini, kak Tiwi membawaku ke ruang diskusi yang cukup besar, di mana ruangan itu terdapat banyak kursi yang mengelilingi meja panjang dan lebar. Tak hanya itu, di sisi paling belakang tepat bersebrangan dengan pintu masuk ruangan tersebut terdapat layar besar. Di sana secara otomatis menampilkan pesan percakapan kami ketika kami melakukan diskusi melalui ponsel masing-masing. Kupikir memang sudah semestinya terlihat di sana karena salah satu akun sosial media kami telah di akses secara otomatis hingga semua penghuni dan para admin bisa mengontrol kami.

Beberapa detik, menit, bahkan sudah hampir satu jam aku memikirkan dan coba mengingat satu persatu anggota keluarga. Naas, aku tak dapat mengingat semuanya. Jadi aku putuskan untuk bangkit dan menuju ruang diskusi untuk mengamati layar besar itu. Di sana terdapat profil dari setiap penghuni rumah, lengkap dengan foto juga.

Dengan perlahan aku berjalan menuju ruang diskusi tersebut. Tepat di depan pintu besar ruang diskusi aku menghela napas sejenak dan siap menekan gagang pintu itu lalu mendorongnya untuk membuka dan memasukinya. Tapi sayang, suara seseorang membuatku terperanjat, seketika aku menghentikan niat dan menoleh ke arah sumber suara.
.
.
.

"Dor!"

[29]
{D.W.Y}

29 Days With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang