"Kakak tahu, hujan itu indah. Ada nada, aroma serta rasa."
Kata-kata itu terngiang dan terbayang dalam benakku. Hujan, nada, aroma? Bodoh. Ya aku yang bodoh, aku yang awam ini bermodalkan tekad mengikuti event besar dan masuk ke Action World.
Pikiranku kembali melayang, memacoba menghubungkan semua kata-kata yang berhubungan dengan hujan. Pasalnya, aku harus segera menyelesaikan tiga puisi dengan tema hujan sebelum waktu berakhir.
Pikirku kembali berkecamuk, mengapa harus hujan? Aku tidak suka menulis puisi dengan tema-tema pasaran. Entah karena ketidaksukaanku atau aku yang malas dan egois ini.
Suara ketukan di pintu kamar terdengar, aku menoleh namun tidak beranjak dari ranjang yang nyaman. Beberapa detik berikutnya terdengar kembali ketukan pintu lebih keras dan tampaknya memaksa.
"Dek, kamu di dalam?"
"Iya, Kak."
Aku segera beranjak, bergegas membuka pintu.
Kusunggingkan senyum tanpa terlihat gigi. Sementar Kak Tiwi mendesak, menyerahkan nampan yang berisi dua gelas teh padaku. Setelahnya, ia langsung menorobos masuk, duduk di sofa samping jendela kaca, seenaknya seolah kamar miliknya. Meski pada kenyataanya rumah ini, termasuk kamar serta isinya adalah miliknya.
"Bagaimana kabar kamu dek? Kakak hawatir kamu enggak ada di ruang diskusi, kakak pikir sakit karena kehujanan, jadi kakak bawakan teh hangat."
"Baik kak, nggak papa kok. Aku cuma mau fokus nulis tiga puisi biar cepat selesai dan bisa kirim sebelum deadline berakhir."
"Oh gitu, kakak tunggu ya."
Kutaruh teh di meja. Lalu duduk di sampingya. Tidak kusia-siakan sebuah kesempatan, jarang-jarang seorang Pratiwi Susanti berkunjung ke kamar peserta lomba, anggota biasa sepertiku pula.
"Kakak, mau tanya boleh?"
"Ya, apa tuh?"
"Adeva itu siapa sih?"
"Kenapa tiba-tiba nanyain Deva?"
"Emm, itu ..."
Suara dering singkat dari ponselku berbunyi berulang kali, sontak membuat semua pertanyaan dalam benakku hilang begitu saja.
"Sudah mau dimulai kelasnya, simpan pertanyaanmu nanti saja setelah kelas selesai. Akak nggak suka terlambat, adik cepat bergegas menyusul ya." Ia bangkit dari duduknya dan beranjak pergi meninggalkanku.
Aku menghela napas ketika dia menghilang dari balik pintu kamar. Memejamkan mata dengan posisi tangan disilang di dada. Sangat menenangkan. Namun, seketika ketenanganku tak bertahan lama.
Suara yang tak asing memekakan telinga. "Mommy!"
Entah bagaimana dia membuka pintu dan tiba-tiba ada di hadapanku. Dini, gadis berkulit putih dengan hidung seperti prosotan TK yang mengkilat dan berkaca mata bulat ini mampu membuatku membuka mata sepenuhnya.
"Kak Rev, ngapain di situ? Ayo keluar, kelasnya bentar lagi dimulai loh. Materinya seru banget tau, ada kak Lee juga loh."
"Oh iya, maaf ketiduran. Yaudah yok."
Aku keluar kamar bersama Dini, berjalan beriringan. Namun, ketika hendak menuruni anak tangga langkahku terhenti. Kulihat Adeva berada di depan pintu ruang diskusi. Dia nampak mencari-cari sesuatu di tasnnya.
"Kak Rev, ayok!"
"Iya."
Pandangannku beralih kepada Dini, setelahnya aku kembali melihat Adeva. Sejenak dahiku berkerut, kutajamkan penglihatanku. Memerhatikan sebuah benda kecil di genggaman tangan gadis itu. Tapi apa? Aku tidak tahu benda apa. Dia mendekatkan ke wajahnya beberapa detik lalu memasukannya kembali ke dalam tas.
Aku bergegas menuruni anak tangga, mendahului Dini. berharap bisa menemui Adeva. Namun sayang, ketika sampai di bawah, Adeva tak adak. Nampaknya dia sudah masuk ke ruang diskusi.
"Kak Reva kenapa to, kok tiba-tiba berubah gitu? Tadi kaya orang males jalannya, eh sekarang malah semangat sekali." Dini menggerutu, tetapi aku tidak memedulikannya. Aku segera masuk ke ruang diskusi.
Aku memilih duduk di kursi baris paling depan, dekat panggung. Sementara Dini duduk di deretan kursi ke tiga, dekat Chaca dan Kiki. Hyo dan anggota lainnya pun sudah ada, siap menyimak materi yang akan diberikan narasumber. Entah siapa, aku lupa tak membaca pesan siaran sebelumnya.
Tiba-tiba lampu mati, kontras membuat pandangan tetuju ke arah layar besar di panggung yang bercahaya. Suara langkah kaki terdengar mengintimidasi, sosoknya bercahaya karena lampu sorot menyala di atasnya, mengikuti kemana pun ia bergerak. Pratiwi Susanti menjadi moderator kelas malam ini dan sang pemateri ternyata Adeva.
Dua jam kelas dadakan dengan pemateri seorang Adeva Zahra, gadis menyebalkan yang sering kali membuatku kesal, ternyata dia begitu mengangumkan. Tidak hanya suaranya yang menenangkan, tetapi materi yang dia berikan membuatku tercengang. Bagaimana tidak, dia bisa menjelaskan bagaimana cara membelah kepala, menyembuhkan luka bakar, luka-luka sayatan, bahkan membunuh dan menghilangkan jejak.
Ini materi yang sangat bermanfaat bagiku, karena menulis cerita bergenre action tidak serta merta tentang tembak-tembakan, pukul-pukulan, ketusuk di mana yang diperban dimana, atau tiba-tiba si tokoh berdarah lalu mati dan hidup kembali. Sebuah cerita utuh yang keren, bagus, ternyata harus logis. Riset itu penting.
Di balik kekagumanku, kembali pertanyaan menyeruak dari benakku. Siapa Adeva sebenarnya?
***
Note:
Mohon maaf atas ketidaknyamanan saat membacanya ya, ini akun wp aku nggak tau kenapa bab nya jadi ngacak. udah dibenerin acak lagi, udah diperbarui juga masih ngacak.
kalau ada saran atau tau cara memperbaikinya koment ya gaes.
![](https://img.wattpad.com/cover/142318871-288-k840105.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
29 Days With You
Novela Juvenil"Percayalah, dia itu nyata dan hidup walau kehidupan tak bersamanya." *** Reva tidak pernah menjadi pengurus organisasi, atau menjadi orang penting di dalam lingkungannya, ia hanya penulis awam yang ingin belajar, menimba ilmu di Action World, menja...