1st chapter

9 0 0
                                    

Siapa diriku?

Aku lahir pada hari minggu pada tahun 1997 dibulan november, satu-satunya perempuan dan cucu pertama dalam keluarga besar ibuku, begitu dimanja oleh kedua orangtua ibuku, aku memanggil mereka dengan sebutan 'tete dan nenek'. Mereka yang merawatku dari kecil, aku ingat sepulang sekolah tempat pertama yang kudatangi adalah rumah mereka, tete ku amat memanjakan diriku. Aku mengiginkan banyak hal dan tete ku lah orang yang pertama akan berusaha mengabulkannya, walaupun kadang kala tidak terpenuhi. Aku dekat dengan tete ketimbang nenek. Sangat dekat. Beliau yang selalu mengajakku kemanapun, ke-mana-pun. Kecuali, ketika beliau pergi untuk bertemu penciptan-Nya...

Kadangkala sakit dan rindu tentangnya membanjiri pelupuk mataku, kecewa dan tidak percaya itu hal yang wajar. Terlebih lagi, beliau laki-laki yang selalu menyayangiku lebih dari ayahku sendiri. Ahh ayah ? Tidak pernah kurasakan kehangatan didirinya. Ibuku selalu dimarahinya, kadang kala dipukulnya. Dibuatnya peralatan rumah seperti bola poling, ringan tangan, tajam bicaranya. Menyakitkan.

Aku punya dua saudara kandung, empat saudara.... (beda ibu), ayahku selalu melarangku menyebut mereka "saudara tiri" sebab masih satu ayah. Hubungan ini menyatakan kalau kami tidak harmonis sebagai saudara. Ayahku orang yang terpandang, sedang ibuku hanya seorang anak perempuan dari Teteku yang merupakan pensiunan ABRI. Ibuku istri yang kesekian kalinya dari ayahku, aku punya banyak saudara tapi bukan saudara kandung. Seperti dalam novel roman "cinderella", saudara tak sedarah itu tidak menyenangkan. Saudara kandungku keduanya laki-laki, mereka yang paling kusayang, mereka penyemangatku, mereka segalanya untukku. Aku menyayangi ibuku juga, seperti normalnya anak perempuan menyayangi ibunya.

Aku kecil seringkali dipukul, entah untuk masalah kecil, aku hidup dengan keras, selalu dibanding-bandingkan dengan 'kakak' saudara beda ibu. Aku ditekan untuk sempurna dalam pendidikan, aku dikekang layaknya perempuan yang sedang di pingit, aku dibatasi layaknya anak dewasa. Padahal duniaku dunia main waktu itu. Aku tumbuh dengan sikap sebagai anak yang patuh. Patuh akan aturan dalam keluarga maupun lingkungan sosial. Sesekali ku mencuri waktu keluar dari rumah untuk merasakan sebagai anak kecil pada umumnya dan tidak butuh waktu lama, mereka mendapatiku. Diambilnya kayu, di pukulnya kakiku, disuruhnya aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku tidak bisa menahan sakit yang kuderita sejak kecil, aku tau tujuan mereka baik, tapi aku hanyalah anak kecil waktu itu.

Disinilah aku, sedang duduk dalam kamar memutar sebuah lagu yang sedang nge-tren sambil mengetik cerita ini. Aku ingat betapa kerasnya Ayahku mendidikku. Bahkan ibukupun juga serupa. Mereka tidak pernah bangga dengan apa yang aku lakukakan untuk mereka. Buktinya, aku selalu berusaha membuat persepsi mereka berubah tentang aku yang berbeda dengan kakakku. Aku mengikuti ajang lomba entah itu olimpiade science,ataupun lomba lainnya. Yang kubawa pulang untuk mereka adalah hadiah dan piala. Mereka hanya mengatakan "piala itu banyak dijual". Bagaimana perasaanku ketika sudah sangat berusaha untuk membanggakan mereka dan mereka sama sekali tidak peduli.

Sekarang, aku tengah berkuliah disalah satu kampus di kota Makassar, aku mengambil jurusan farmasi. Awalnya aku ingin berkuliah dijurusan kedokteran karna pada mulanya sejak kecil aku didik untuk menjadi seorang dokter. Ketika aku dihadapkan oleh pilihan ingin kuliah atau menikah, dengan lantang aku menjawab ingin kuliah. Mereka 'orangtuaku' bersuku bugis, dalam adat istiadat bugis perempuan yang sudah cukup umur lebih baik dinikahkan ketimbang kuliah, karna bagi mereka perempuan bagiannya hanya didapur. Setinggi apapun sekolahnya. Tapi aku bersyukur orangtuaku memperbolehkanku kuliah. Awalnya ayahku mendukungku dengan penuh semangat, aku bimbel di salah satu tempat bimbel di Makassar selama 2 bulan. Aku mengikuti ujian seleksi masuk perguruan tinggi negri, dan ternyata tidak lulus. Ayahku tidak serta merta mengatakan harus putus asa. Tidak. Ayahku orang yang tegas. Aku mengajukan permintaan agar bimbel selama satu tahun mengambil kelas Alumni. Awalnya aku tidak memperhatikan sekeliligku, lalu kemudian aku mengenal "broken home" sejak itu. 

Broken HomeWhere stories live. Discover now