Di Puncak Bukit, Di Bawah Langit

573 6 0
                                    

Tiupan angin menerpa wajahku dengan ringannya. Membelai tiap-tiap rambut tipis di wajahku; mendorong rambut tebal yang sudah beberapa bulan tidak kupotong; menyejukan suasana hati yang dipenuhi gundah dalam diri; dan menghanyutkan diri dalam rangkaian imajinasi.

Tak ada suara langkah kaki di sekitar sini. Tak ada suara teriakan atau obrolan orang-orang yang menggema. Dan tak juga ada satu pun tangkai manusia yang berkeliaran sejauh mata memandang. Yang terdengar hanyalah suara deru angin dan nyanyian-nyanyian suara burung yang saling bersahutan, dan suara-suara desir rerumputan dan pepohonan yang tertiup angin fajar.

Kini aku duduk seraya memeluk lutut di puncak bukit beralaskan rumput-rumput hijau nan terang; dengan dihiasi beberapa pohon cemara di undakan-undakannya; dan hutan-hutan pinus di dasarnya.

Kini kumemandang ke kejauhan sana. Pegunungan-pegunungan berbatu memanjang dari ujung timur menuju ujung barat dengan dihiasi pepohonan hijau di kakinya dan juga salju-salju di puncaknya. Mentari pagi begitu menghangatkan bagian tubuh kiriku. Menyilaukan pandangan walau hanya sebagian. Kini kutengok sebelah barat. Terlihat sebuah pegungungan yang lebih kecil memanjang sejauh beberapa kilometer. Di kakinya dihiasi pedesaan-pedesaan, lahan pertanian, dan juga hutan. Sejenak aku tersenyum seraya berkata, "Tidaklah diriku sekarang terlalu jauh dari mereka."

Cukup lama kududuk di puncak bukit ini. Merenungkan berbagai macam hal yang pernah kualami, dan berbagai macam hal lainnya. Kenangan-kenangan begitu mengalir deras dalam  rangkaian ingatan pengalamanku yang panjang. Seraya mengingat berbagai macam peristiwa, inginku melepas dan melupakan ingatan-ingatan pahit, memalukan, nan buruk ini. Namun, setelah kuberfikir ulang, kusadari bahwa... saat seperti inilah saat yang paling tepat untuk merenungkan segala hal itu: duduk sendirian di bawah langit yang telanjang; tidak diganggu suara-suara kicauan manusia yang mengganggu; dan kesunyian yang begitu menenangkan.

Sejenak air mataku mengalir keluar di sisi tubuh kiriku, yang memantulkan pancaran cahaya mentari pagi---bagai permata indah yang memantulkan cahaya. Kini kulepaskan pelukan lututku; duduk berselonjor kaki dengan tangan menompa tubuhku yang miring ke belakang; lalu kutatap langit. Langit... sebuah bentangan setengah bola yang kupandang begitu biru indah berawan. Gradasi warna antara biru muda menuju biru tua, begitu terlihat indah nan luas. Awan-awan yang berbagai macam bentuknya, seakan begitu halus, lembut, nan sejuk dipandang.

Setelah kumemandang langit, sejenak kumengingat bahwa, kita berada di sebuah planet kecil di bentangan "langit". Planet kerdil yang mengambang di ruang langit yang tanpa dasar---setidaknya itulah yang diketahui pemahaman minim manusia saat ini.

"Kita adalah mahluk langit!" teriak-ku spontan. Tapi ada apa di luar sana? pikirku sejenak. Pada dasarnya, selama ini, ilmu pengetahuan hanya menghitung, mengamati, dan memperkirakan akan keberadaan sesuatu di luar sana. Manusia saat ini belum sekali pun pergi menjelajahi "langit" yang maha luas itu---untuk merasakan sekaligus membuktikan apa yang telah mereka teliti, maupun mereka lihat melalui teleskop, dan pesawat tanpa awak tersebut. Tetapi, sampai saat ini pun, orang-orang awam sepertiku tidak memiliki pilihan selain "mempercayai". Jadi, mungkin itulah yang menjadi suatu landasan bagi kebanyakan manusia dalam hal apapun: mempercayai.

Tetapi, bukankah secara naluriah, dari kecil kita selalu mempertanyakan? Sifat naluriah kita yang pada waktu kecil dipenuhi rasa ketakjuban, juga diiringi dengan rasa penasaran. Lalu, entah dari pengalaman dan didikan, kebanyakan dari kita mengganti kata "Mempertanyakan" menjadi "Mempercayai". Mungkin kata "Mempercayai" ini juga kadang membuat kita memiliki landasan atau pegangan dalam suatu atau berbagai macam hal. Tapi, kita sebagai mahluk yang berakal juga berhak untuk terus "mempertanyakan". Karena itulah kita disebut mahluk "Intelektual".

"Ah sudahlah!" pekik-ku sesaat, menyadari bahwa perenungan dan pemikiran seperti ini sering kali tidak mencapai suatu akhir. Tetapi, kuberfikir ulang... sebegitu menariknya jikalau kita mempertanyakan segala sesuatu ini. Seakan hidup memiliki sesuatu yang lain dari hanya sekadar menjalani kehidupan itu sendiri.

Lalu kuberdiri sejenak. Berkacak pinggang seraya melihat ke barat---ke arah pedesaan di kaki pegunungan panjang. Dalam hati kuberkata, Sudah waktunya kukembali ke sana. Matahari sudah semakin tinggi, bahkan suduk kemiringannya berdasarkan garis cakrawala, telah melebihi sekitar 45 derajat, yang artinya sudah lewat dari jam 9. Lalu dengan hati-hati kumenuruni bukit itu, berjalan memasuki hutan pinus, menuju pedesaan.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang