Berdua Denganmu Di Taman Senja Kota

225 0 0
                                    

Pernahkah kau merasakan bahagia? Pernahkah dirimu merasa begitu hidup? Dan pernahkah kau merasa bahwa kau dipenuhi sejuta harapan dan keinginan yang begitu menyenangkan? Jikalah iya, maka seperti itulah kau seharusnya menjalani kehidupan itu sendiri.

Itulah ungkapan yang kauucapkan padaku di tengah kencan kita di puncak bukit taman kota yang di dekatnya berdiri sebuah Pohon Ek yang tebal. Kau melirikku. Sebuah tatapan yang manis dengan senyum tipis yang menandakan kaubegitu bahagia di dekatku. Aku terpana akan hal sesederhana itu. Kita duduk berduaan. Kau tahu, kan? Lalu, kita terus melayangkan pandangan kita kepada pelangi senja---waktu itu satu jam sesudah selesainya hujan.

Pelangi. Rangkaian warna indah yang rapi menawan. Spetrum merah menuju ungu merupakan sesuatu yang---entah mengapa---begitu memukau. Adakah gerangan yang begitu menyadari betapa indah ronanya? Pertanyaan itulah yang aku ajukan padamu seraya kita berdua terus melayangkan pandangan kita ke pelangi. Tetapi, kau tergelak, sayang. Kau tergelak sampai-sampai kau harus menutup mulutmu. Sungguh indah gelak tawamu menghiasi kencan kita berdua. Namun, selanjutnya, saat tawamu mereda, kau memalingkan wajahmu ke arahku dan berkata, "Sungguh itu pertanyaan konyol, Joe. Pasti banyaklah orang yang mengagumi keindahan pelangi yang sedang kita nikmati ini."

Sekejap, pipiku memerah, sayangku. Aku malu. Rasanya aku memang telah mempertanyakan pertanyaan yang sesungguhnya tidak perlu dijawab. Lalu dengan jantung yang berdegup malu, aku hanya bisa membalas dengan tawa kecil seraya bilang, "Eheheh, kau benar, Rika." Lalu kulemparkan pandangku ke arah langit lagi.

"Tidak apa," kau melanjutkan. "Tetapi jika pertanyaan itu diajukan dengan pemaknaan yang lebih dalam, maka memang dalam juga, sih."

Aku memalingkan wajah ke arahmu, menunjukan ekspresi bertanya. "Apa maksudmu?"

"Sudah jelas, kan." Kau menjawab dengan santai sambil terus memandangi langit. "Kenyataannya, banyak dari kita yang terlalu disibukkan dengan rutinitas statis sehingga kita lupa akan betapa menabjukannya alam."

Aku terkaget, sayangku. Aku terkesan. Kau, seorang wanita berkulit putih dengan wajah cantik dan tubuh yang elok dipandang, memiliki pemikiran yang sedemikian rupa denganku. Sekejap aku merasakan perasaan bahagia yang tidak dapat diungkapkan lewat cara apapun terkecuali menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kau, kau menangis?" katamu heran.

"A-ku ti-tidak apa-apa, kok." aku malu, Rika. Sekali lagi, dengan rentang waktu yang berdekatan, aku merasakan rasa malu. Tetapi di satu sisi kebahagiaan tengah menggerogoti setiap inci di tubuhku ini. Lalu, dengan berusaha sesantai yang aku bisa, aku melanjutkan, "Iya, Rika. Sebuah perasaan kekaguman yang mendalam bahwa kita merupakan bagian dari semesta."

Pipimu memerah. Aku melihat rona merah yang menyerupai merah Apel Korea di pipimu. Betapa kebahagiaan dan keterkejutan tengah meliputi kita berdua. Perasaan yang begitu membahagiakan dan menyenangkan tatkala kita memiliki kesamaan yang begitu kita inginkan bersama. Kau dan aku, Rika. Kita berdua. Dua insan yang dipenuhi rasa kekaguman akan realitas semesta, kini tengah duduk di puncak bukit taman di bawah langit senja---dan sedang dalam masa menjalin sebuah keterikatan.

Ingatkah kau masa itu, sayangku? Aku tahu kau masih mengingat masa itu. Sebab, jikalau kau kuajak bertamasya ke taman kota, kau begitu bersemangat---seakan kau ingin sekali membangkitkan kembali kenangan akan masa-masa itu. Tetapi, kau di sini, Rika. Kau berada duduk di sofa itu dan terus membaca,  menenggelamkan diri ke dalam buku-buku yang berbau filsafat dan sejarah. Sebuah ketetarikan yang begitu selaras. Itulah kenapa kita cocok sekali dalam menjalin suatu tali ikatan.

Aku memalingkan tubuh ke belakang, menengokmu. Ooooh betapa damainya diriku melihatmu yang terus membaca buku terbitan terbaru yang berjudul "Republik" yang ditulis oleh salah satu filsuf termahsyur sepanjang sejarah: Plato.

Kauterus membaca, dan aku terus memperhatikanmu dengan damai. Hingga akhirnya kaumenyadari bahwa aku tengah memperhatikanmu sambil tersenyum aneh, dan berkata, "Kenapa kau ini, Joe?"

Aku seakan baru saja terbangun dari mimpi. "Ah... ti-tidak ada apa-apa, kok, sayang."

"Hhhhh ya sudah." Lalu kau menenggelamkan dirimu lagi ke dalam buku itu. Dan aku melanjutkan menulis ini. Kau tahu, kan, bahwa aku senang sekali menulis. Terutama jika itu adalah ide suatu gagasan atau kenangan-kenangan yang mengalir dengan sendirinya di tengah gelora kesadaran.

Tapi, untuk apa aku menulis ini, sayang? Untuk apa aku harus menuliskan panjang lebar mengenai kisah-kisah perjalanan kebersamaan kita berdua selama lebih dari tiga puluh tahun ini? Apakah akan ada yang membacanya? Kuyakin Jonas suatu saat akan membaca tulisan ini, karena kita berdua sama-sama tahu bahwa Jonas senang sekali membaca---terutama terhadap sesuatu yang berkaitan tentang gagasan atau sejarah-sejarah. Dan ini, akan menjadi sebuah bacaan mengenai sejarah yang terbaik yang akan dia baca. Karenanya, tulisan ini akan aku print dan kujilid sehingga seakan menjadi skript yang berharga untuk disimpan.

Tetapi, saat ini, apakah kau kangen Jonas, Rika? Tentulah begitu. Sudah dua tahun ia tidak menengok kita, iya kan? Tetapi aku memaklumi itu, sungguh. Dia, kan, tengah menjadi Duta Satwa Liar yang dipilih langsung oleh WWF dan dia harus terus bekerja di berbagai negara untuk melihat langsung kondisi berbagai satwa di sana; menyebarkan berita mengenai apa saja yang yang ia dapatkan di sana; kerusakan apa saja yang tengah dihadapi bumi kita tercinta ini; lalu, solusi apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan pelik seperti itu. Itu sungguh pekerjaan mengagumkan, Rika. Sungguh bangga diriku sebagai ayahnya---terlebih kau, yang telah melahirkan, merawat, dan lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya dibandingkan aku. Harus aku akui bahwa aku iri dengan yang satu itu. Andai saja. Andai saja dulu aku bisa meluangkan waktu lebih banyak untuk kalian berdua, sudah pastilah aku menjadi lebih bahagia sekarang ini. Dan kini, ia sudar besar dan mendapatkan pekerjaan yang mengagumkan dan membanggakan kita berdua. Aku rindu dengannya, Rika, sungguh. Terlebih kau. Kauselalu cemas manakala Jonas tidak menghubungimu lebih dari tiga hari saja---kadang kala kaumenangis; hingga aku harus menelpon Jonas atau siapa saja yang memiliki hubungan dengannya hanya untuk meminta kabar darinya.

Dan kini, hampir di setiap senja hari, kauterus memaksaku untuk pergi ke taman kota. Kauselalu memaksaku dengan alasan yang tak pernah bisa kutolak: "Saatnya kita menikmati masa senja hidup kita di senja hari taman kota, di mana dulu pertama kali menjalin keterikatan bersama!"

Oooooh betapa alasan seperti itu yang menjadi alasanku untuk bahagia. Senja itu, di mana seakan semesta tengah merestui kita. Di mana gejolak emosi dan hasrat tengah tercampur-aduk, bahu-membahu, ikat-mengikat menjadi sebuah serangkaian perasaan yang pelik namun menenangkan. Kita sudah menjalani ini selama lebih dari tiga puluh tahun, Rika. Dan itu waktu yang cukup lama yang akarnya hanya berasal dari senja di tengah taman kota.

Lalu, ketika kutengah menulis ini, kaudatang memelukku. Kau memelukku dengan sentuhan lembut dan hangat. Aku sungguh merasa sangat nyaman, sayang. Lalu, kuhentikan ini sejenak dengan meng-exit save software di komputer ini. Kau berbisik, "Sekarang sudah jam empat, Joe." Aku tersentak menyadari sudah berapa lama aku mengetik.

"Baiklah, sayangku." Aku bergegas berganti pakaian, begitupun juga kau. Lalu, kita kembali melakukan rutinitas kita selayaknya pasangan muda yang tengah menjalin ikatan cinta.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang