Kutukan Dalam Aksara

26 1 0
                                    

Dengan segala hormat kuberikan
Kepada riwayat yang 'tak kunjung berkenan
Dan kepadamu pula yang tak juanya menekan
Dan kepada sang kala yang menjadikanmu sebagai korban

Berita ini untukmu...


Kubaca surat itu dengan tertegun penuh. Menengok sekeliling 'tuk memastikan tiada yang melihat, kumelanjutkan membaca.


Jangan sampai berita ini menyebar
Jangan gentar bila sang bilah menyambar
Walau sang bilah kini tak bilanya menjadi kuasar
Toh, kau tahu kan, para aksara tak pernahnya mengungkap kasar

Namun juga di tempat itu aku bersembunyi. Menatap langit yang berlandas tinggi. Menjumpa ria kepada sang korban masa...
Menepuk dahi kala mereka memasang durja


  Dengan tangan gemetar, dan gigi yang gemertak ku menaruh surat itu kembali di atas meja yang di dekatnya terdapat lampu lilin yang menyala.

  Tak pernah ku tahu apa maksud dari puisi yang bertulis di atas meja itu. Tak pernah pula aku mengetahui siapa yang menuliskannya di atas kertas tua yang kuperkirakan berumur sekitar 20 tahun. 20 tahun... tahun itu memang bisa dibilang tahun berdarah bagi Indonesia. Sebuah tahun di mana penuh dengan pemberontakkan, perampokkan, dan juga pembunuhan. Penyebabnya tidak lain tidak bukan ialah rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap sang rezim kala itu.

  Kumembuka pintu dari ruangan perpustakaan yang gelap dan sedikit lembab ini. Yang hanya diterangi dengan lampu-lampu minyak di atas meja dan juga di salah satu sudut ruangan, persis di sebelah rak-rak buku yang entah sudah berapa lama debunya menebal seperti itu.
Ku berjalan mengitari koridor-koridor kampus sembari terus mengiang-ngiangkan bait-bait dari puisi tersebut.

Dan kepada sang kala yang menjadikanmu sebagai korban(?)...  Jangan gentar bila sang bilah menyambar(?)...  Walau sang bilah kini tak bilanya menjadi kuasar(?)... Toh, kau tahu kan, para aksara tak pernah mengungkap kasar(?)

   Isi kepalaku dihantui khususnya pada bagian-bagian itu. Mengapa? Entahlah. Kalimat-kalimat itu laksana ruangan gelap yang menyeringaikan senyumannya yang kejam, namun entah mengapa diriku, yang tanpa dipenuhi kesadaran-kesadaran penuh, melangkahkan kakiku ke sana.

  Kumelamun sambil berjalan. Diiringi orang-orang yang lalu lalang, laksana diriku ini ialah kereta yang melaju pelan, dan sekelilingku hanyalah sekelibatan warna yang tiada makna.
 
  Dalam lamunan ini, kudengar suara memanggil dari kejauhan. "Miaaa!"

  Diriku tersentak. Menengok ke sekeliling, dan kumelihat di bawah pohon Mangga besar, salah seorang wanita yang kuidentifikasi merupakan teman satu kelas di kelas bahasa, Nisa, yang melambaikan tangannya dengan ramah sambil tersenyum ceria.

  Setelah kumemastikan bahwa itu memang benar Nisa, ku tersenyum sambil menghampirinya.

  "Dari mana saja kaau?" katanya saat kami berhadapan di bawah bayang-bayang pohon mangga.

  "Ummm...," diriku gugup. "Aku hanya baru dari ruang perpustakaan kecil tua yang di pojok koridor itu, Nis."

  Nisa pun terkaget sambil menutup mulut. Ia lalu memelukku dengan cepat.

"A-ada apa ini, Nisa?" aku pun kebingungan dengan reaksinya yang sangat aneh tersebut. Namun, Ia hanya memelukku bahkan lebih erat tanpa mengeluarkan satu pun kata terucap dari bibirnya. Aneh pikirku dalam hati.

  Ia melepaskan pelukannya tanpa berkata apa-apa, dan lalu pergi. Tanpa kata...

***

Sudah beberapa 4 hari semenjak Nisa memeluk diriku dan kemudian pergi menghilang. Ku 'tak pernah melihatnya, baik di kantin, atau bahkan di kelas. Diriku terus dihantui rasa keheranan, kebingungan, dan juga ketakutan. Apa maksud dari itu semua?

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang