Tujuh

96 19 0
                                    

        Hari ini adalah hari yang sangat dingin di kota Seoul. Padahal jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul 14.21. ini berarti, pukul 12.21 di Indonesia. Bisa dipastikan seberapa panasnya pukul dua belas di sana. Untung saja sekarang sedang tidak ada kelas di sekolah.

        Aku melirik handphone yang berbunyi di atas nakas. Ternyata ada sebuah panggilan masuk dari Fakhri. Tak biasanya ia menelfonku. Untuk apa ia menelfonku jam segini? Lagipula, kami berdua memang tak pernah berkomunikasi lewat telfon.

        Aku mengangkatnya dengan antusias, "Yeobeoseyo"[halo].

        Lalu terdengar suara yang tak asing lagi bagiku dari seberang sana, "Halo, Farah."

        Farah? apakah ia salah sambung? Apakah ia hanya mempermainkanku saja? Tak tahukah ia bahwa aku sangat senang saat ia menelfonku? tanpa memperdulikan reaksi dari seberang sana, aku langsung mematikan sambungan telfon itu. Aku terduduk kaku di atas tempat tidur. Memikirkan apa yang baru saja terjadi. Apa aku terlalu berharap lebih kepadamu? Apa aku terlalu kecil di matamu?

        Tak lama ada pesan masuk dari Fakhri.

From : Fakhri

Maaf, Ra. Aku salah sambung.

By the way, kamu apa kabar?

        Tanpa kusadari, air mata yang sudah tak terbendung lagi di mataku ini keluar dengan perlahan dan berangsur menjadi sangat deras. Kenapa ia tak pernah bisa mengenalku? kenapa selalu Farah yang ia pedulikan? Kenapa selalu aku yang di pandang sebelah mata? Dan kenapa aku bisa selemah ini setelah tembok pertahanan yang aku bangun tinggi-tinggi selama ini bisa hancur begitu saja?

Akupun membalas pesan itu dengan sangat terpaksa.

To : Fakhri

Gak papa kok. Aku baik-baik aja di sini.

Sorry, Ri. Kalau balasnya lama, aku lagi sibuk.

Beberapa menit kemudian, ada balasan pesan dari Fakhri.

From : Fakhri

Gak papa, Ra.

Sorry juga aku ganggu kamu. Bye.

        Aku mematikan handphoneku. Menghiraukan balasan pesan dari Fakhri. Aku harus mengakhirinya, jika tidak aku akan semakin sakit hati dibuatnya. Ini sudah tujuh tahun lamanya semenjak pertama kali aku mencintaimu dalam diam, dan merelakanmu untuk Farah, adik kembarku sendiri. Tetapi, aku selalu berpikir, apakah aku tak pantas untuk memilikimu?

        Baru saja aku ingin menyeka air mataku, handphoneku sudah berbunyi kembali. Sekarang ada panggilan masuk dari Annisa.

        Aku mengangkat telpon itu, "Yeoboseyo."

       "Ne, yeoboseo," jawabnya dari arah seberang sana. Tetapi, jika didengar dengan lebih teliti, ada yang berbeda dari nada bicaranya. Ia seperti sedang menghawatirkan sesuatu.

       "Yak! Wae geurae? [ada apa?] Kenapa kamu panik?"

        Ia menarik nafasnya sejenak lalu mengatakan sesuatu, "Halmoenni, Ra--" Ucapannya seketika terpotong begitu saja, yang membuat panikku semakin menjadi.

        "Nenek? Nenek kenapa? Jawab, Nis!" Aku mendengarnya sedang menarik nafas panjang.

        "Halmoenni masuk rumah sakit, Ra. Aku tadi gak sengaja mampir ke kantornya dan Halmoenni sudah tak sadarkan diri di sana. Dan sekarang Halmoenni ada di rumah sakit. Ntar aku sms-in alamatnya." Tanpa pikir panjang aku langsung mengendarai mobil menuju Incheon.

        Selama perjalanan, aku mencoba untuk fokus menyetir. Tapi sepertinya itu sia-sia saja, pikiranku sekarang sedang sangat kacau. Apalagi takdir yang akan Engkau berikan Tuhan? Sudah cukup penderitaan yang selama ini kau berikan. Apa Engkau akan mengambil Nenek juga dariku? Jika Nenek tidak ada, siapa orang yang akan selalu menyayangiku? Siapa orang yang akan selalu ada untukku? Siapa orang yang akan selalu peduli padaku?

        Sekarang, aku sudah tiba di rumah sakit tempat nenek dirawat. Tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarku, aku terus berlari menuju ruangan tempat nenek dirawat. Di depan sebuah ruangan, aku melihat Annisa yang sedang mondar-mandir.

        Aku menghampirinya. Seakan tahu apa yang akan aku tanyakan, ia langsung menunjuk sebuah ruangan-yang bisa dipastikan jika itu adalah ruangan nenek. Tanpa menghiraukan sesuatu, aku langsung masuk ke ruangan itu. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh sudut ruangan. Terlihat nenek sedang tak sadarkan diri di sebuah ranjang, dan dokter Bayu yang sedang memeriksanya.

        Dokter Bayu adalah dokter pribadi nenek yang nenek bawa langsung dari Indonesia. Ia sudah mengabdi pada nenek selama lebih dari belasan tahun. Sampai-sampai, ia membawa istri dan anaknya tinggal di Seoul atas perintah nenek. Dan rumah sakit ini adalah rumah sakit tempatnya bekerja sekarang.

        "Bagaimana keadaan nenek, Dok?" tanyaku menghampirinya.

        "Ia terkena serangan jantung, Ra."

        Aku mendekat kearah nenek. Menggenggam tangan kanannya yang sedang diimfus dengan saat erat. Aku menangis. Tak tega melihat nenek yang sedang menderita sekarang ini. Sekilas aku melihat Annisa yang baru saja memasuki ruangan ini bersama dengan Andra dan kedua orang tuanya. Tak lama, nenek akhirnya sadar. Ia mengelus pangkal kepalaku dengan sangat lembut.

        "Nenek," panggilku yang masih setia menangis sesegukan.

        Ia tersenyum ke arahku lalu berkata, "Clara, nenek minta tolong sama kamu. Tolong kamu urusin semua perusahaan Nenek. Nenek percaya sama kamu."

        "Nenek jangan tinggalin Clara. Kalau Nenek ninggalin Clara, Clara sama siapa, Nek? Clara udah gak punya siapa-siapa lagi," ucapku.

        Ia tersenyum kembali ke arahku. "Kamu jangan nangis terus. Nenek tahu kamu anak yang kuat. Nenek yakin, semua penderitaan yang kamu alami selama ini pasti akan berujung indah. Kalian, tolong anggap Clara sebagai anak kalian. Dan Annisa, jadilah kakak yang baik untukknya." Kali ini nenek berbicara kepada Annisa dan kedua orang tuanya yang hanya mereka balas dengan anggukan.

        Selang beberapa detik kemudian, nenek menghembuskan nafas terakhirnya. Seketika tangisku semakin menjadi pecah kembali, kali ini dengan suara yang lebih keras. "Nenek!"

        Aku memeluk nenek dengan sangat erat. Masih tidak percaya atas kepergian nenek yang begitu cepat. Semua orang yang ku cinta, selalu Kau jauhkan kepadaku. Kenapa? Kenapa Kau memberikan takdir yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya? Kenapa? Apa karena aku tak pantas bahagia? Atau aku pernah berbuat kesalahan yang begitu besar kepada-Mu? Kenapa?

Bersambung.....

Jangan lupa like dan comentnya <3

Revisi: 13 desember 2018

Destiny ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang