Delapan

119 20 2
                                    

       Hari ini tepat lima tahun setelah kepergianku ke Seoul, Korea Selatan. Aku sudah lulus dari sekolah menengah atas dan mendapat gelar S1 di sini. Aku juga sudah menjadi CEO di perusahaan nenek, Zuvanka's Company. Setelah kepergian nenek dua tahun silam, hanya Annisa yang selalu ada di sisiku. Hanya Annisa yang membantu segala hal tentang perusahaan. Sebagai amanat dari nenek, Annisa mendampingiku sebagai sekretaris pribadiku. Kami tidak pernah lost contact dengan Putri, dan ia mengatakan bahwa akan meneruskan bisnisnya di sini. Mendengar itu, kami berdua sangat antusias. Akhirnya kami dapat berkumpul bersama.

       "Nis, apa ada jadwal meeting hari ini?" tanyaku seraya meletakkan tasku di atas meja saat baru saja tiba di kantor.

        Ia melihat ke smartphone-nya sejenak. "Ada, jam 2 siang di cafe dekat taman kota bersama seorang pengusaha baru dari Indonesia," ucapnya. Aku langsung dapat memastikan bahwa orang itu adalah laki-laki tua yang menyebalkan. Soalnya dari pengalaman yang ku lalui, semua pengusaha sukses Indonesia pastilah sudah tua, berbeda dengan pengusaha dari Eropa yang sangat banyak pengusaha mudanya.

       Aku menatapnya lagi, "Ada lagi?"

       Ia menggeleng, "Sepertinya tak ada." Aku tersenyum, tak biasanya hanya ada satu acara meeting dalam satu hari, biasanya mungkin sampai sepuluh orang perhari. Penat? Tentu, tetapi aku tak boleh berputus asa untuk melanjutkan bisnis kakek dan nenek ini.

        "Oh, iya. Tolong siapkan apa saja yang akan dibahas nanti," suruhku kepadanya. Ia memberikan salam hormat ke padaku pertanda setuju. Ia memang selalu seperti itu. Aku juga tidak bisa melepaskan cita-cita yang dimilikinya, yaitu menjadi seorang tentara.

ü

        Jam tangan menunjukkan waktu 2 siang tepat. Aku sudah menunggu seorang laki-laki Indonesia itu sejak 20 menit silam, tetapi ia belum juga datang. Tidak disiplin, itulah sifat buruk dari orang Indonesia. Aku mengumpat dalam hati, aku tak akan menyetujui tentang kerjasama ini. Jika saat meeting saja ia sudah telat, apalagi nanti. Bisa-bisa perusahaanku rugi besar karena ketidakdisiplinannya.

        Tak lama ada seseorang yang memasuki ruangan tempatku berada, "Annyeong haseyo! Maaf, saya terlambat. Tadi ada urusan sebentar." Aku mendengus lalu menatapnya. Ia Fakhri. Seorang yang aku anggap adalah laki-laki tua menyebalkan ini adalah Fakhri? Apakah dia orangnya?

       Aku menatapnya lekat-lekat, "Fakhri?"

       Ia yang tadi menundukpun akhirnya menatapku, "Clara! Kamu ngapain di sini? Apa aku salah masuk ya?"

       Mendengar ia berkata seperti itu membuatku tertawa kecil, "Kamu gak salah masuk, kok. Silahkan duduk, tuan Fakhri Naufal."

       Akhirnya ia duduk di hadapanku. Hanya ada kami berdua di ruangan ini, karena ini adalah ruangan vvip khusus untuk meeting. "Aku hampir aja batalin kerjasama ini, kamu gak disiplin banget, sih. Aku kira juga elo om-om yang nyebelin," cibirku.

       Ia tertawa kecil "Aku juga ngira kamu tante-tante yang bakalan marah karena aku datang telat, tau-taunya kamu itu CEO muda yang terkenal itu." Senyuman itu, senyuman yang sangat aku rindukan selama lima tahun ini. Dan sekarang ia juga terlihat lebih tampan dan lebih dewasa.

        'Kamu makin cantik aja, Ra. Sama kayak Farah. Aku kangen banget sama kamu. Entah kenapa, setelah kamu pergi ke Seoul, aku ngerasa kehilangan banget. Aku gak tahu perasaan apa ini. Dan sekarang kita bisa ketemu di sini dengan keadaan kamu yang lebih sukses dari aku. Aku bangga sama kamu. Kamu beda banget sama Farah yang masih diberi uang oleh ayah kalian.'

        "Kamu gak pernah berubah, ya. Selalu di saat hari pertama apapun itu kamu pasti telat," cibirku lalu kami berdua tertawa bersama. Dan di saat aku sudah membicarakannya saja dia belum sadar juga bahwa akulah orang yang menyelamatkannya dulu.

        "Kebetulan banget ya kita bisa ketemu di sini," ucapku mencairkan suasana.

        Ia terdiam sejenak lalu berkata, "Gak ada kebetulan dalam sebuah pertemuan, Ra. Semua ini atas izin Tuhan. Aku ketemu kamu ini takdir, bukan sebuah kebetulan."

        Aku tertawa renyah, "Sejak kapan kamu bijak kayak gini?" Setelah sadar akan ucapannya sendiri, iapun mentertawai dirinya.

         Tersadar akan tujuan awal kami, kamipun berhenti tertawa. "Oh, iya. Ini berkas-berkas yang harus kamu tandatanganani, dibaca dulu," ucapnya seraya menyodorkan map-map bewarna merah. Aku mengambilnya dan langsung menandatangani berkas itu tanpa membacanya terlebih dahulu. Ia terkejut, "Kok gak dibaca berkasnya?"

        Aku tersenyum, "Aku percaya sama kamu."

         "Makasih, Ra. Dari dulu kamu emang teman terbaik. Aku janji gak bakal ngecewain kamu," Ucapnya dengan yakin. Kamu itu udah ngecewain aku dari dulu, Fakhri. Kamu ngecewain aku dengan tidak mengenaliku dan malah memutuskan Farah menjadi kekasihmu.

          Tiba-tiba handphoneku berbunyi pertanda ada panggilan masuk. Ternyata Annisa. Kenapa ia menelfonku? "Sebentar ya," ucapku meminta izin kepada Fakhri lalu menjauh darinya.

         "Yeoboseyo"

         'Halo, Ra. Kamu ada dimana sekarang?'

         "Meeting nih, kenapa?"

         'Oh, iya. Aku lupa. Ini, ada investor yang mau ketemu sama kamu. Dia dari Inggris Ra, kamu bisa balik ke kantor sekarang?'

         "Ehm...bisa-bisa bentar lagi aku ke sana"

        'Oh, yaudah. Bye'

         Annisa mematikan sambungan telefonnya. Aku menghembuskan nafas panjang sejenak. Selalu seperti ini, apakah seseorang harus mengganggu waktuku bersama dengan Fakhri? Baiklah, ini memang tugasku. Aku mengambil tasku lalu berpamitan dengan Fakhri, "Maaf, Fakhri. Aku harus balik ke kantor dulu, nih. Ada investor dari Inggris, aku gak boleh sia-siain kesempatan ini, sekali lagi mianhae."[maaf]

        Ia mengangguk. "Oh, iya. Kalau ada yang penting lagi, kamu bisa ke kantor aku langsung, kok," lanjutku. Iapun mengangguk untuk kedua kalinya.

         'Sekarang ia sudah sangat sibuk. Aku bisa ngerti, ia adalah salah satu CEO paling berpengaruh di Korea Selatan. Pasti jadwalnya sangat padat. Apakah ia sudah mempunyai pasangan? Entahlah, aku akan tanya nanti saat ke kantornya aja'

ü

          Setelah 10 menit perjalanan dari cafe tadi, akhirnya aku tiba di kantor. Dari lobi hingga ruanganku, semua orang menyapaku. Hingga akhirnya aku menemui investor itu di ruangan meeting.

         Aku membuka pintu itu. "Good afternoon, Mister!" sapaku saat baru saja tiba di ruangan itu.

        Ia membalasnya seraya tersenyum, "Oh! Good afternoon, Mis. How are you today?" Senyum yang sangat manis, ia juga adalah pengusaha muda yang sama sepertiku. Akupun beralih duduk di hadapannya.

         "Oh, i'm fine, thank you. What is your name, Mister?" tanyaku dengan bahasa non formal untuk mencairkan suasana.

        "Can't call me, Mister. You can call me Luke, and you?" iapun mengenalkan dirinya seraya menyodorkan tangannya.

        "Ehm...i'm Clara Zuvanka, you can call me Clara." kami berduapun berjabat tangan.

         "You're so beautiful girl." aku tertegun mendengar ucapannya. Ia mengatakanku cantik. Seketika pipiku memerah, malu. "Thanks."

Bersambung.....

Jangan lupa like dan coment <3

Revisi: 13 desember 2018

Destiny ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang