Kenapa harus bertahan kalo udah gak dihargai.
🌸🌸🌸
Menunggu adalah hal yang sangat membosankan. Itu definisi menunggu menurut orang lain, namun menurut Vanya, menunggu adalah suatu hal yang harus dia lakukan.
Vanya, gadis berambut hitam sepunggung, berkulit putih, dan memiliki mata coklat yang sedikit sipit, ketika ia tersenyum dan tertawa maka matanya akan membentuk sebuah garis lurus. Namun sekarang ia lagi tidak tersenyum ataupun tertawa. Sejak tadi matanya terus mengeluarkan air mata.
Air matanya seharusnya tidak perlu terbuang sia-sia hanya untuk Aditya. Laki-laki yang beberapa bulan belakangan ini menemani hari-harinya. Laki-laki yang sebelumnya pernah memperjuangkan Vanya sebelum perjuangan tersebut diteruskan oleh Vanya.
"Udahlah, Nya. Gak usah nangisin cowok kayak gitu," sahut Dinda, sahabat Vanya yang entah sejak kapan berada di sampingnya.
Vanya buru-buru menghapus air matanya, lalu menoleh pada Dinda. "Gue tadi cuma kelilipan."
Dinda berdecak, Vanya selalu aja pura-pura tegar. Padahal hatinya lagi gak baik-baik aja. Ia menggumpalkan tangannya. Lihatlah bagaimana Aditya dengan bodohnya menyia-nyiakan perempuan sebaik Vanya.
Bahkan sejak tadi, mata Vanya tidak lepas menatap ponselnya, sesekali membuka ponselnya saat terdengar notifikasi, dan sedetik kemudian wajahnya kembali menyiratkan kekecewaan.
Sudahlah. Dinda tidak tahan lagi melihat tingkah Vanya. Ia segera bangkit dari duduknya dan berjalan menyusuri koridor, menuju kelas XI IPA 3. Ia berhenti di depan kelas tersebut. Dan menatap tajam ke salah satu laki-laki yang duduk di bangku depan kelas XI IPA 3.
Namun orang tersebut tidak juga sadar, sampai seseorang laki-laki menyikut Aditya. "Apa sih, No. Hampir kalah gue." Protes Aditya pada Reno.
"Ada yang nyariin lo tuh," sahut teman Aditya yang lain.
Aditya menatap Dinda dan segera memberi ponselnya pada Reno. "Mainin dulu, no"
"Kenapa?" Tanya Aditya dengan alis yang sedikit bertaut. Seingatnya, Dinda adalah teman Vanya. Selebihnya ia tidak mengenal perempuan yang sedari tadi menatapnya tajam—seperti benci.
Dinda menarik napasnya. "Lo serius gak sih sama Vanya?" Ia berbicara dengan volume sedang. Tapi menarik perhatian teman-teman Aditya. Malas pembicaraannya diketahui teman-temannya, Aditya maju beberapa langkah, diikuti oleh Dinda.
"Kenapa nanya gitu?" Tanya Aditya tidak suka.
"Kalo misalnya lo masih serius sama dia. Jangan keseringan bikin dia nunggu. Lo pikir nunggu itu gak capek."
"Gue gak pernah nyuruh dia buat nunggu."
Dinda, kembali menarik napasnya, tiba-tiba emosinya terpancing mendengar ucapan Aditya yang begitu santai, seperti tidak perduli dengan Vanya. Ia mengangkat telunjuknya ke arah Aditya .
"Setidaknya, hargai orang yang masih sayang sama lo," kemudian Dinda tersenyum sinis, "gue pastiin lo bakalan nyesel udah nyia-nyiain Vanya."
Aditya mengangkat alisnya, mengejek ucapkan Dinda barusan. Untunglah bel berbunyi sebelum Dinda kembali berbicara. Jadi telinganya tidak harus mendengar semua ucapan yang terlalu dilebih-lebih kan itu.
"Biasalah cewek. Apa-apa bawa perasaan," celetuk Aditya saat teman-temannya menatapnya penasaran.
"Elah, kalo menurut gue lo beruntung, Dit. Ada yang ngingetin, lah kita..." Sahut Bayu, menunjuk dirinya sendiri dan teman-temannya. "Jomblo."
"Lagian pacaranya cantik, kayak orang Thailand."
"Lady boy, maksud lo?" sungut Reno.
"Sembarangan, itu mah pacar lo."
"Dih, najis. Gue masih normal kali."
Aditya mengibaskan tangannya di udara, tidak peduli dengan semua ucapan teman-temannya.
🌼🌼🌼
"Eh, Din, Nya," panggil Winda, membuat Vanya mengalihkan pandangannya dari papan tulis yang penuh dengan beberapa angka dan rumus Fisika. Bu Wela baru saja membahas tugas yang minggu lalu diberinya.
Vanya membalikkan tubuhnya ke belakang, mendekatkan tubuhnya pada Winda yang memiliki isyarat agar mereka —Vanya dan Dinda— untuk mendekat.
"Ada yang pacaran," bisik Winda melirik Alam dan Citra bergantian.
Dinda hampir saja berteriak bila Vanya tidak mengingatkannya, bisa kena masalah kalo sampai terdengar oleh Bu Wela.
"Lo cuma mau ngomong itu doang, Win?"
"Ya enggaklah," kata Winda, sambil memainkan jari-jarinya. Dari gerak-geriknya, pasti ada hal lain yang ingin dikatakan Winda, pasalnya ia tidak pernah bertingkah seperti itu sebelumnya.
"Kenapa Win?" Tanya Dinda penasaran. Vanya yang juga penasaran makin mendekatkan wajahnya.
"Temenin gue."
"Emang mau kemana?"
Vanya tipe orang yang tidak terlalu suka pergi ke tempat yang jauh, ia lebih memilih berada di tempat yang dekat dengan rumahnya, selain hanya buang-buang waktu dan tenaga, Vanya merasa hal itu tak ada manfaatnya, kecuali bila ada keperluan tertentu.
"Ketemuan sama kakak kelas yang waktu itu gue ceritain," jawab Winda ragu-ragu.
"Dih, parah." Dinda menepuk meja pelan, ia heboh sendiri mendengar ucapan Winda barusan, akhirnya sahabatnya yang hobi ngerumpi itu bisa mendapatkan laki-laki yang sejak kelas sepuluh disukainya. "Jangan lupa PJ-nya."
"Yang mana?" Tanya Vanya —memotong oborolan Dinda dan Winda —, ia sempat beberapa kali mengingat kakak kelas yang sedang disebut-sebut Winda dan Dinda. Namun nihil, ia sama sekali tidak bisa menebaknya, mungkin karena Winda dan Dinda sudah terlalu banyak membahas kakak kelas, mulai dari yang populer, playboy, tampan, dan biasa-biasa saja tapi pintar.
Dinda memutarkan bola matanya. "Itu loh, anak sekolah sebelah," kemudian Dinda menepuk-nepuk pelan kepala Vanya, "ini temen gue sebenernya pinter, tapi sayang pelupa."
"Apaan sih, Din."
"Abisnya jadi orang pelupa banget," tambah Winda yang juga merasa kesal dengan Vanya, "apa selama ini lo juga lupa kalo selalu diabaikan," celetuknya kemudian.
Suara salam dari murid-murid menyadarkan mereka bahwa bel pulang telah berbunyi. "Perasaan belum bel deh."
"Makanya jangan ngobrol mulu, sampe suara bel aja gak denger," sahut Fandy, teman sebangku Winda yang tadi lebih memilih mengungsi saat ketiga sahabat itu ngerumpiin kakak kelas.
"Sibuk amat." Dinda menatap Fandy sewot.
Sedangkan Winda memilih bungkam, ia merasa tak enak ketika melihat raut wajah Vanya yang berubah saat ia mengucapkan kalimat terakhirnya tadi. Dinda yang juga mengetahui hal itu, lebih memilih untuk pura-pura tidak tau. Pilihan yang tepat dari pada harus melihat air mata dan tatapan kecewa dari wajah cantik Vanya.
TBC
Rabu, 28 Maret 2018.
Semoga kalian suka sama ceritanya.. Eaea :v
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanya
Teen FictionKarena otak tak bisa menebak kemana hati akan pergi dan hati tak bisa memastikan kemana cinta akan berlabuh. Semua terjadi dibalik kendali takdir, seperti cinta yang terkadang datang bukan untuk menetap tapi sekedar bersinggah dalam beberapa waktu. ...