Bila kamu merasa lega, artinya kamu telah siap untuk melepaskan orang yang pernah ada di hidupmu.
🌸🌸🌸
Hoam!
Rasa kantuk mulai menghampiri Vanya yang sekarang sedang mengerjakan tugas matematikanya. Seharusnya tadi ia langsung mengerjakannya sepulang sekolah. Jadi tidak harus begadang sampai selarut ini.
"Semangat Nya! Tinggal tiga soal lagi." Cewek dengan cepol rambut asal-asalan itu berusaha menyemangati dirinya sendiri.
Beberapa menit kemudian, tiga soal tadi dapat diselesaikan dengan baik. Vanya merenggangkan badannya yang terasa pegal.
Setelah merapikan peralatan tulisnya, ia beranjak pergi ke tempat tidur. Sebelum itu, Vanya mengambil ponselnya untuk mengecek jam berapa sekarang.
23.45
Vanya berdecak mengetahui jam berapa sekarang. Bisa-bisa dia ngantuk berat di seolah nanti. Namun ia mengurungkan niatnya saat melihat notifikasi dari aplikasi Line.
Dengan mata yang terbuka setengah Vanya membuka chat dari orang yang baru saja menambahkannya sebagai teman.
DevanAdi : Ini line gue, Devan
VanyaAgt : Oke
DevanAdi : Gue kira udah tidurPesan terakhir Devan hanya dibaca oleh Vanya. Pasalnya matanya sudah tak kuat lagi untuk terbuka. Bahkan sekarang ponselnya sudah berada di samping Vanya dengan keadaan masih hidup dan menampilkan room chat Devan.
DevanAdi : Good Night, Nya
Chat terkahir sebelum ponsel Vanya meredup dan menampilkan warna hitam pada layarnya.
🌸🌸🌸
"Nya, lo udah ngerjain pr matematika?" tanya Winda pada Vanya yang sekarang sedang menelungkupkan kepalanya di atas meja.
"Udah."
"Liat dong, gue lupa kalo hari ini ada pr."
"Ambil aja di dalem tas," sahut Vanya yang masih pada posisinya.
"Woy!"
Winda yang sedang membuka tas Vanya kaget saat mendengar pekikan Dinda. Ia menatap sang pemilik suara sinis. "Kayak orang utan aja lo."
Sedangkan Dinda hanya nyengir dan langsung merebut buku Vanya dari genggaman Winda. "Gue duluan, lo kalo nulis lelet banget."
"Gak bisa gitu dong!" protes Dinda. "Gue yang minjem duluan."
Vanya mengangkat kepalanya. Ia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, kemudian memutarkan kedua bola matanya saat melihat kedua sahabatnya yang masih rebutan buku latihan matematikanya.
"Kan bisa liat berdua." Setelah mengatakan itu Vanya pergi keluar kelas. Mungkin dengan mencuci muka dapat menghilangkan sedikit kantuknya.
Namun setelah mencuci muka pun, rasa kantuk itu tak kunjung hilang. Malah saat berjalan, tubuh Vanya terasa oleng dan hampir menabrak sesorang.
"Sorry," ucap Vanya sambil memijat pelipisnya.
Sial! Darah rendah Vanya kumat. Sekarang matanya terasa berkunang-kunang.
"Lo gapapa?" Pertanyaan bernada khawatir dari orang yang berada di depannya membuat Vanya mengangkat kepala.
Iris coklat terang Vanya menangkap sosok yang amat dirindukannya. "A--ditya?"
"Iya."
Vanya terlalu banyak berharap. Seharusnya dia sadar bahwa Aditya tidak akan tersenyum lagi saat Vanya menyebut namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanya
Teen FictionKarena otak tak bisa menebak kemana hati akan pergi dan hati tak bisa memastikan kemana cinta akan berlabuh. Semua terjadi dibalik kendali takdir, seperti cinta yang terkadang datang bukan untuk menetap tapi sekedar bersinggah dalam beberapa waktu. ...