.
"Udah sore nih, aku cuma dikasih waktu sampe maghrib sama Teteh, jam segini blom berangkat sih," rutukku sambil berkali melirik G Shock biru di pergelangan tangan. Angka 4 tertera di sana.
.
"Tar dulu, ada satu temen lagi yang blom dateng, dia mah emang suka ngaret," ucap Sigit kalem.
.
Sigit lalu berbincang lagi dengan temen-temennya, sedangkan aku mulai merasa bete luar biasa.
.
Untuk mendapat izin keluar bareng Sigit aja prosedurnya rumit banget dari Teteh. Mati aku kalo kudu pulang kemaleman. Teteh hanya memberi waktu hingga menjelang maghrib. Lewat dari itu, siap-siaplah kena murka. Teteh paling gak suka adiknya masih di luar rumah bila malam menjelang, apalagi beliau tahu, aku keluar bersama cowok.
.
Bunyi klakson motor mengejutkanku.
.
Lalu seruan beberapa orang riuh menyoraki Sang Raja Ngaret.
.
"Lama banget Broo, tadi gue nelepon ke rumah. Kata nyokap, lo lagi mandi, njirr lama bener mandinya kayak putri keraton!" Ejek Ardi, salah satu teman Sigit.
.
Pemuda tinggi berkulit putih dan bermata agak sipit itu hanya mesem-mesem.
.
"Sorry, sorry...," ucapnya santai, dia melirik ke arahku.
.
"Kenalin, Yo... ini Maya," ucap Sigit.
.
Dia melangkah ke arahku dan mengulurkan tangannya.
.
"Rio...," ucapnya.
.
"Maya...."
.
Matanya teduh, jenis mata yang bisa melelehkan hati kaum hawa.
.
Kami enam motor, berkonvoi menuju satu resto untuk merayakan ulang tahun Sigit.
.
Sigit adalah teman satu kantor. Kami berdua lumayan dekat beberapa bulan ini. Dua minggu yang lalu aku baru saja mengantongi status sabagai pengangguran bahagia karena kontrak kerja di kantor telah habis.
.
Tapi itu tak menyurutkan kedekatan kami. Mulanya hanya sering berbincang di mobil jemputan ketika berangkat atau pulang kantor. Kadang jalan ke Mall berdua hanya sekadar membeli kaset atau cd favorit. Lalu tadi pagi Sigit mengundangku hadir di acara ultahnya.
.
Tiga meja digabung menjadi satu, hidangan telah tersedia dan keriuhan tak jua surut meskipun mulut kami penuh makanan. Ada tiga orang cewek di rombongan kali ini, para cewek itu adalah pacar dari teman-teman Sigit, beberapa orang juga merupakan teman kantor.
.
Dan Rio, dia ternyata tetanggaku. Rumahnya hanya berbeda dua blok dari rumah Teteh. Wajar bila aku tak mengenal siapapun di lingkungan rumah, aku nyaris tak pernah keluar rumah selain untuk bekerja.
.
"Kamu tinggal di rumah tetehmu, May?" tanya Rio tiba-tiba.
.
Aku mengangguk. Sigit dan beberapa temannya pamit untuk shalat Maghrib. Sedangkan aku baru saja selesai, begitu juga dengan Rio. Di meja hanya ada 4 orang. Aku, Rio, Indra dan Yanti.
.
"Rumah tetehmu deket tau sama rumahku," ucapnya sambil mengotak-atik ponsel khusus game berwarna biru di tangannya. Gamer rupanya.
.
"Iya, Sigit sempet cerita waktu itu."
.
"Kamu udah lama pacaran sama Sigit?" tanyanya.
.
Aku terbelalak.
.
"Pacarann? Siapa yang pacaran sama Sigit?" dengusku.
.
Jemari Rio terhenti memainkan ponselnya.
.
"Kamu pacar Sigit kan?"
.
Aku menggeleng.
.
Rio tersenyum.
.
"Kenapa ih senyum-senyum segala?"
.
"Minta nope, boleh?" tanyanya.
.
Aku mengangguk.
.
Perayaan akhirnya usai, aku diantar Sigit sampai halaman rumah menjelang isya. Untungnya Teteh tak murka.
.
Ketika aku selesai mandi, notifikasi sms masuk ke ponselku.
.
[May, ini no-ku, Rio. Save ya.]
.
Aku tersenyum, terbayang perbincangan kami yang menyenangkan. Aku bahkan lebih sering berbincang dengan Rio dari pada dengan Sigit. Kami memiliki selera musik yang sama.
.
Aku mengetik balasan.
.
[Done, udah ku-save. Thank you, Rio]
.
Tak lama notifikasi kembali hadir.
.
[Makasih buat perbincangan kita yang asyik tadi, met istirahat, May]
.
Aku mengirim emoticon smile sebagai balasan.
.
~~
Aku dan Sigit makin dekat. Walaupun sebenarnya belum sepenuhnya dapat meraba perasaanku sendiri, tapi prinsipku, selagi kedekatan ini tak membawa efek negatif dalam hidup, maka aku akan menjalaninya dengan biasa saja.
.
Rio kadang-kadang sms atau meneleponku. Membicarakan musik dan jokes yang menyenangkan.
.
Suatu sore, ketika baru pulang melamar pekerjaan, Sigit mengajakku kulineran. Setelah aku menyanggupi, tak lama kemudian Sigit menjemput.
.
"Mo ngajak aku makan di mana sih?"
.
"Ada kedai mie ayam yang enak, murah dan selalu rame pembeli. Kamu kan suka mie ayam."
.
"Jauhkah? Soalnya sudah sore."
.
"Enggak kok, hanya dua blok dari sini."
.
Sampailah kami ke sebuah kedai. Tempatnya bersih dan nyaman. Kedai itu tak begitu luas, dan sebenarnya hanya berupa faviliun di sebuah rumah besar. Lokasi kedai sangat strategis karena dekat sekali dengan SMP dan SD.
.
Seorang ibu berusia setengah baya terlihat sedang melayani pembeli, seorang pemuda sedang membuat jus jambu di stan minuman. Pemuda itu adalah Rio.
.
Sigit tersenyum melihat kekagetanku.
.
"Ini kedai milik keluarga Rio, May," ucapnya.
.
Oh, i see.
.
Kala itu Rio mengenakan kaus berwarna biru langit dan celana jeans selutut. Dia melambaikan tangan ke arah kami begitu menyadari kami telah duduk di salah satu kursi pengunjung. Tak lama dia menghampiri.
.
"Waaah, mau makan apa pasangan serasi ini?" goda Rio.
.
Sigit tertawa, dia mempersilakan aku untuk memesan duluan.
.
"Aku mo mie ayam yang pedes, Yo."
.
Rio mengangguk.
.
"Minumnya apa, May? Kalo lo, Boss? Mie ayam apa bakso?"
.
"Kamu layanin pembeli yang lain dulu deh, tuh pada dateng banyak, siniin daftar menunya," ucapku.
.
Rio tersenyum sambil menyodorkan selembar kertas berlaminating.
.
Aku menekuri daftar menu itu, Sigit memesan bakso campur dan es teh manis. Aku mie ayam dan jus jambu.
.
Rio sedang mengupas melon ketika aku menghampirinya.
.
"Yo, pesenannya udah kutulis di sini," ucapku.
.
Rio mengangguk.
.
"Waah, siapa ini?" seru seorang ibu bertubuh gemuk. Dari raut wajahnya aku langsung menebak, dia adalah ibunya Rio. Raut wajah mereka sangat serupa.
.
"Ini Maya, Mak... kenalin May, ini Emak," ucap Rio.
.
"Pacar lo, Yo?" tanya Emak.
.
Rio menyikut badan emaknya.
.
"Elah, bukan Mak, Maya ini pacarnya Sigit."
.
Aku tertawa, lalu mencium punggung lengan Emak.
.
"Oooh, kirain pacar elu, udah pesen Neng?"
.
"Udah Mak," ucapku, Emaknya Rio sangat ramah dan menyenangkan.
~~
.
"May," panggil Sigit.
.
Aku mendongak dari mangkuk mie ayam yang telah nyaris tandas isinya.
.
"Ya?"
.
"Aku sebelumnya pengen minta maaf."
.
Aku mengerutkan dahi.
.
"Buat?"
.
Sigit diam, tak sengaja aku melihat Rio di kejauhan memperhatikan kami.
.
"Gini, aku tahu kita makin dekat akhir-akhir ini. Dan aku gak mau kamu salah paham."
.
Ini semakin membingungkan.
.
"Gak usah muter-muter, Sigit. Aku beneran gak ngerti arah pembicaraan kamu."
.
"Aku hanya sedikit khawatir, kamu ngerasa digantung sama aku. Dalam artian, aku ini cowok. Dan aku gak memungkiri bahwa kita dekat. Aku juga gak memungkiri bahwa akulah yang senantiasa mencoba mendekatimu. Tapi..."
.
"Menggantung perasaanku? Lho... aku...."
.
"Maafin aku May. Tapi aku udah punya tunangan, dia berada di kampungku," ucap Sigit cepat.
.
3 detik yang terasa sunyi di tengah keramaian sebuah kedai mie.
.
Apa-apaan ini?
.
Aku nyaris ingin tertawa histeris atas kepedean laki-laki di depanku. Laki-laki tampan yang sebenernya gak asyik kalo diajak ngobrol, laki-laki yang selama ini hanya kuanggap teman. Masih kuanggap teman tanpa beban apa pun.
.
Tapi dia kegeeran luar biasa.
.
Lalu mie ayam yang sebelumnya terasa sangat lezat perlahan terasa hambar sekali.
.
"Aku gak pernah ngerasa digantung kok, tenang saja," ucapku pelan.
.
Aku mengutuk dalam hati. Harusnya aku bisa menebak jalan fikiran laki-laki senarsis Sigit. Tapi aku memang gak pernah merasa perlu untuk banyak memikirkan hubungan kami. We're just friend.
.
"Pulang, yuk!" ucapku sambil bangkit.
.
"Kamu marah, ya?"
.
Aku mendengus. Lalu berjalan menuju motor Sigit. Aku melirik Rio. Dia sedang menatapku. Lalu mengajakku tersenyum.
.
Aku melengos.
.
Sesampainya di halaman rumah, aku segera turun dari motor Sigit.
.
"May, maafin aku, aku tahu ini menyakitkan buat kamu, tapi..."
.
"Sigit, bisa gak kamu tutup mulut?!" tanyaku gemas.
.
Sigit melongo.
.
"Aku gak sakt hati, okey? Aku selama ini menganggap kamu temen. Sama kayak Ardi, Indra, dan yang lain. Aku sakit hati karena kamu menganggap aku sedangkal itu. Selama ini aku gak pernah ngerasa digantung, aku fine-fine aja jalan dan chat sama kamu selama ini. Sama halnya dengan chatku bersama Rio selama dua minggu ini. So... i'm totally fine!" ucapku.
.
Ketika aku menyebut nama Rio, raut muka Sigit sedikit berubah.
.
"Makasih buat mie ayamnya, dan inget yaaa... jangan merasa terbebani dengan hubungan kita, karena hubungan kita adalah pertemanan. Jadi santai aja," ucapnya sambil tersenyum.
.
"Oh... kukira..."
.
"Jangan mengira-ngira lagi, okey! Semoga hubunganmu dengan tunangan baik-baik saja."
.
Sigit mengangguk. Dia berjalan lesu menuju motornya. Bahunya terkulai seakan tanda dari kekalahan.
.
Begitukah kekalahan bagi seorang cowok yang narsisnya tingkat dewa?
.
Entahlah, aku hanya geleng-geleng kepala. Bisa-bisanya dia seperti itu padaku. Pada seorang Maya!
~~
Suatu malam.
.
[May, lagi ngapain?]
.
Aku tersenyum membaca sms itu.
.
[Lagi dengerin musik, kamu tahu lagu Helena gak? My Chemical Romance?]
.
[Tau dong, kami kan suka mainin lagu Helena kalo lagi ngejam]
.
Aku berbinar.
.
[Wow]
.
[Mau ya kalo kapan-kapan Rio ajak kamu ikutan ngejam.]
.
[Maulaah, kamu pegang apa, Yo?]
.
[Rhytm]
.
Aku selalu suka sama cowok yang bisa main gitar.
.
[May...., r u still there? Rio ditinggal tidur?]
.
Aku cekikikan.
.
[Sorry, barusan abis nerima telepon dari Teteh. Emang kamu gak ngapel, Yo? Ini saturday nite]
.
Gak lama balasan darinya berdenting di ponselku.
.
[Udah kelar, barusan abis ngapelin Si Ardi]
.
Aku ngakak.
.
[Ya kali lo doyan sama Si Ardi, yang gantengan dikit dong!]
.
[Pacar Rio jauh May, Rio LDR-an udah dua tahun]
.
Detik ini aku baru tahu, bahwa Rio udah punya pacar. Dan entah kenapa, ada rasa yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
.
Aku mengetik balasan
.
[Keren ih bisa awet LDR-an.]
.
Tak lama Rio membalas.
.
[LDR memang menyesakkan. Terlebih ketika mulai menyadari bahwa bukan cuma jarak yang jauh, namun hati juga mulai terasa menjauh.]
.
Aku tertegun.
.
[Cie... curhat, nih ye...] ledekku.
.
[Mau aku jitak, May?]
.
Aku ngikik.
.
[Cowok yang menjalani LDR ternyata emang sensitif, nyari pacar lain atuh Bang!]
.
[Emangnya Rio abang bakso! Kan Rio abang bakmi!]
.
Aku ngakak lagi.
.
[Mie ayamnya enak banget, Rio. Dan emakmu sangat baik.]
.
[Emaknya Riooo gitu loh!]
.
[Salam sama Emak, tar aku mo makan mie lagi ah di kedai Emak]
.
[Barusan Rio udah sampein, waalaikumsalam katanya]
.
[Jadi kamu kalo lagi off kerja selalu bantuin Emak di kedai, ya?]
.
[Iya, kasian Emak gada yang bantu, rencananya emang mau rekrut karyawan karena sekarang Rio udah jadi karyawan tetap di kantor. Oya, besok kamu dateng ya ke kedai, kamu boleh makan sepuasnya, gratis. Syukuran karena Rio udah diangkat jadi kartap]
.
[Wow, congrat! Sedap bener... aku malah baru diputus kontrak :( , Besok aku pasti dateng, jam berapa?]
.
[Terserah, acara makan makan sebenernya malem ini sih, ni anak anak dah pada dateng ke kedai, tapi kan kamu gak mungkin diijinin keluar jam segini, tar digeplak tetehmu.]
.
Aku termenung.
.
[Padahal gpp kok, Yo. Kebetulan Teteh lagi pulang ke Garut. Aku sendirian di rumah.]
.
Gak lama dering ponsel mengagetkanku, Rio menelepon.
.
"Iya, Yo..."
.
"Elah, bilang kek kalo di rumah sendirian, Rio jemput ya!"
.
"Boleh."
.
"Tapi ada Sigit di sini," goda Rio.
.
Kutu kupret! Aku masih ilfil sama kenarsisan tu cowok emang.
.
"Emang kenapa kalo ada Sigit?"
.
"Kamu putus ya dari Sigit?" goda Rio lagi.
.
Aku ketawa.
.
"Ngaco ah!"
.
"Yodah, Rio mo otewe rumah kamu."
.
"Iyaaa..."
.
Sepuluh menit kemudian, klakson motor terdengar di depan gerbang.
.
"Ayok berangkat!" ucapku sambil memakai jaket, udara malam ini dingin banget.
.
"Tar dulu, Rio boleh ngobrol sama kamu sebentar?"
.
Aku tertegun.
.
"Boleh sih, Yo. Kita ngobrol di teras aja ya."
.
Rio mengangguk.
.
Kami berdua duduk berhadapan di sepasang kursi rotan. Wajah Rio tampak segar, khas cowo baru mandi. Dan aku akui, dia sangat menawan. Sangat tampan.
.
"Temen-temen udah pada tau mengenai hubungan kamu sama Sigit, May."
.
Aku mengerutkan kening.
.
"Hubungan? Hubungan apa? Si Sigit bilang apa emangnya sama anak anak laen?"
.
Rio mengangkat alis.
.
Aku tertawa, entahlah kenapa aku malah tertawa. Hanya saja, aku sedikit bisa menebak pemikiran dangkal macam apa yang berada di otak Sigit.
.
"Denger, Yo. Aku gak pernah ngerasa ada hubungan special apa pun antara aku dan Sigit. Itu saja. Kalo Sigit ngomongnya aneh aneh di luaran sana, itu bukan tanggung jawabku, anggap saja dia berhalusinasi," ucapku sambil menahan tawa.
.
Rio tertegun.
.
"Kamu gak sedih? Maksudku, Sigit bilang..."
.
Lagi lagi aku tertawa.
.
"Pasti Sigit bilang ke kalian, bahwa aku dilanda kesedihan karena dia gak menerima cintaku yang menggebu gebu padanya, gitu kan?"
.
Perlahan, Rio mengangguk.
.
"Dan kalian percaya itu? Bukan... aku ralat pertanyaanku, apakah KAMU percaya bahwa aku tipe cewek sedangkal itu?"
.
Rio kembali tertegun. Lalu tersenyum.
.
"Aku udah ngrasa ada yang janggal sih emang dari awal Sigit nyerocos di base camp mengenai hal ini," ucap Rio sambil geleng-geleng kepala.
.
Aku tersenyum.
.
"Dia juga cerita bahwa dia udah punya tunangan di kampung, makanya gak bisa nerima cintaku, iya kan?" tebakku.
.
Rio kembali mengangguk.
.
"Luar biasa kan dia. Dia sangat kepedean," ucapku sambil berdecak kagum dengan nada sarkastik.
.
Kami saling berpandangan, kemudian tertawa terbahak-bahak.
.
"Oke, jadi kamu gak akan kenapa-napa brarti ya kalo tar ketemu sama Sigit."
.
Aku berdecak jengkel.
.
"Plis deh, Yo...."
.
Sesampainya di kedai emak, semua mata tertuju padaku.
.
Beberapa bersiul, beberapa bergumam.
.
"Kirain tadi mau jemput siapa?" ucap Ardi santai sambil mengaduk Mie di mangkok.
.
"Jemput Maya ternyata," celetuk Dewa.
.
Rio cuma cengengesan aja. Bisa kulihat keterkejutan di raut wajah Sigit.
.
"Yo, Emak udah tidur, ya?" bisikku ketika Rio meraih gitarnya dan duduk dekat stan minuman.
.
"Belom kayaknya, lagi nonton sinetron, kamu mau ketemu Emak?" tanya Rio.
.
Aku mengangguk.
.
"Eh ada Neng Maya!" seru Emak tiba-tiba.
.
"Katanya bukan pacar elu, tapi malem-malem gini bawa anak gadis orang ke mari!" tegur Emak sambil menoyor kepala Rio.
.
Rio hanya mencibir lalu mulai memainkan gitarnya.
.
Keriuhan masih berlanjut. Aku memilih ngobrol dengan Emak di ruang tamu. Beliau sangat hangat dan menyenangkan.
.
Pukul sepuluh malam aku diantar pulang.
.
"Makasih ya udah mau dateng, ini Emak ngasih opor, katanya buat kamu besok sarapan. Kan gak ada Teteh." Rio menyodorkan bungkusan.
.
"Ya ampun emakmu baik banget, Yo. Makasih juga ya untuk traktirannya."
.
"Iya sama-sama. Rio pamit ya."
.
Aku mengangguk.
.
Seorang Maya tersentuh akan hidup seseorang.
.
Itulah yang aku rasakan malam ini. Sebuah keluarga yang hangat, sederhana, dan begitu menyenangkan.
.
~~
.
Dua bulan lamanya aku mencari pekerjaan. Tapi nihil. Akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk bekerja di butik punya Teteh.
.
Sebetulnya aku tak terlalu suka bekerja di sana. Pasti Teteh akan semakin mengaturku. Tapi aku tak punya pilihan.
.
Komunikasiku dengan Rio berjalan baik. Kadang dia juga curhat mengenai Rere, pacarnya yang tinggal di kota lain.
.
Aku masih betah sendiri dan berteman dengan siapa saja. Kadang aku ikut bergabung di base camp.
.
Base camp adalah tempat para pemuda ngumpul dan memainkan alat musik. Pada faktanya base camp adalah sebuah rumah yang lama tak ditempati . Atas ijin pemiliknya maka rumah itu dijadikan tempat ngumpul. Konon pemilik sah rumah itu masih ada hubungan kekerabatan dengan Dewa.
.
Ada seperangkat alat band hasil patungan para pemuda sekitar, sepasang sofa buluk di sudut ruangan, beberapa bangku kayu di teras, dan satu kamar berisi sehelai karpet serta beberapa bantal.
.
Konon mereka sering menginap di base camp bila sedang ada event parade atau bahkan bila salah satu dari anggota base camp galau atau putus cinta, maka ritualnya adalah ngumpul bareng di base camp dan menghibur Si Pesakitan. Norak ya? Sangat! Karena mereka adalah cowok. Rio melakukan pembelaan mati-matian ketika aku mencela tradisi itu.
.
"Cowok juga manusia, punya hati, punya rasa..."
.
"Yatapi gosah ada acara curhat curhatan di kamar, udah kek pesta piyama cabe-cabean labil!" celaku.
.
"Si Ardi pernah hampir menyayat lengannya pas tau Arini mo nikah," ucap Rio.
.
Aku terbelalak, lalu tertawa ngakak.
.
"Oh, come on, May, berempatilah sedikit!" seru Rio kesal.
.
"Kalian memainkan lagu-lagu macam Helena, Linkink Park, dan kalian mengiris nadi pas ditinggal nikah sama cewek?" tanyaku tak percaya.
.
Rio angkat bahu.
.
"Gak matching tau gak!"
.
"Kurt Cobain juga bunuh diri, dan dia musikalitasnya bagus, gak ada hubungannya antara ketahanan diri terhadap problem, dengan selera musik, Maya!" tegur Rio.
.
Aku ketawa tawa pas lihat Rio misuh-misuh, dia sangat mirip emaknya kalo lagi gitu.
.
~~
.
Hubunganku dengan Rio stagnan. Kami seakan menikmati semua prosesnya. Aku tahu betapa rapuhnya hubungan Rio dan Rere. Aku sering mendengar selentingan dari beberapa anak base camp.
.
Kadang aku melihat Rio sedang berbincang dengan seseorang di telepon. Dan wajahnya terlihat sendu.
.
Sigit jarang gabung di base camp, karena pada dasarnya dia tak terlalu menyukai musik. Beberapa kali kami bertemu di berbagai kesempatan. Aku mencoba bersikap biasa saja meskipun kulihat bahasa tubuh Sigit begitu canggung. Well... itu bukan urusanku.
.
Di suatu sore, aku tengah menutup rolling door butik ketika ponsel berdering. Aku sedikit terkejut ketika melihat siapa Si Penelepon.
.
"Iya, Sigit...," sapaku ragu.
.
"Bisa ketemu, May?" tanya Sigit.
.
Mau apa dia?
.
"Ketemu? Kapan?"
.
"Terserah kamu, sekarang bisa gak?"
.
"Kalo sekarang aku gak bisa, soalnya bukan jadwal liburku," ucapku memberi alasan, sejujurnya aku udah malas bertemu dengannya.
.
"Oh..." nada suara Sigit seperti kecewa.
.
"Udah ya, Git, aku mo cabut."
.
"Okey, sorry ganggu ya."
.
"Ga apa apa, aku tutup yaa."
.
Aku melangkah meninggalkan pelataran ruko. Keputusanku untuk bekerja di butik tak salah ternyata. Karena butik berjarak lumayan jauh dari rumah Teteh, aku jadi punya alasan untuk ngekost.
.
Kadang, aku main ke base camp tanpa mengunjungi Teteh. Rada jahat emang mengingat jarak base camp hanya tiga blok dari rumah Teteh. Tapi ayolah... aku hanya remaja yang pengin sedikit kebebasan setelah sebelumnya selalu diatur-atur. Yang penting tentu saja aku tahu batasan.
.
![](https://img.wattpad.com/cover/143244641-288-k179978.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dazzling Rio
Non-Fiction"Rio sayang sama kamu." . "Dan sekarang Rio yakin, bahwa ini bukan sebuah pelarian." . Cerita nonfiksi yang digali dari memori masa lalu bersama suami author sendiri. Semoga ada pembelajaran dari kisah ini. Semoga kelak kisah ini bisa dibaca oleh an...