"Kasih aku waktu buat mikir," ucapku terbata.
.
Rio mengangkat alisnya.
.
"Jangan bilang kalo kamu mau maksa aku!" umpatku sambil melotot, mencoba memasang wajah segalak mungkin.
.
Rio terbahak, namun tak lama matanya melembut menatapku.
.
"Iya, Rio kasih kamu waktu."
.
Aku menyukai Rio, tentu saja. Dia begitu mudah untuk disukai. Tapi ada hal-hal yang harus kupertimbangkan.
.
"Rio itu, dari wajahnya aja udah ketauan, dia player, De!" ucap Teteh suatu hari, tepatnya ketika aku baru saja pulang dari kedai Emak.
.
"Beberapa cewek rutin dateng ke rumah Rio, May. Tapi dianya suka ngabur lewat pintu samping, Si Emak yang suka kebingungan ngadepinnya," ucap Tari, tetangga rumah Rio yang sekaligus vokalis di base camp.
.
Aku gak siap pacaran sama player, jadi ada baiknya aku berfikir dulu. Memikirkan banyak hal, dan mengamati banyak hal. Tak perlu terburu-buru. Karena aku tahu sifatku sendiri. Bila telah jatuh sayang, aku akan total melakukannya.
.
Sebelum itu terjadi, sebisa mungkin aku menjaga akal sehatku agar tetap di tempatnya.
.
~~
.
Keesokan hari, aku menjaga butik seperti biasa. Tutup selepas adzan Maghrib. Tepat ketika aku menutup rolling door, ponselku berbunyi. Mas Ade yang menelepon.
.
"Assalamualaikum, Mas," sapaku.
.
"Waalaikumsalam, waah apa kabar, May?"
.
"Baik alhamdulilah."
.
"May, kami ada acara syukuran kecil-kecilan karena Rizal diangkat jadi karyawan tetap. Kamu bisa ke sini gak? Mall Lippo."
.
"Waah, alhamdulilah. Kerenlah Rizal. Sekarang Mas acaranya?"
.
"Iya sekarang. Bisa gak? Kalo bisa mau Mas beliin tiket juga. Kita mo nonton juga soalnya."
.
"Mauuu, aku ke sana ya, kangen juga sama kalian. Ngumpul semua kan?"
.
"Iya udah pada ngumpul nih, kami juga kangen. Kamu ke sini ya."
.
"Siap grak!"
.
Aku menuruni tangga lebar dan segera menuju ke jalan raya untuk menyetop angkot.
.
Ketika masih bekerja di pabrik dulu, aku satu tim dengan 5 pemuda ganteng serta soleh.
.
Aku satu-satunya wanita di tim, dan mereka sangat menyayangiku.
.
Sebagai buktinya, mereka tetap mengingatku walaupun aku telah keluar dari sana sekian bulan yang lalu.
.
Hari telah menjelang waktu isya ketika aku menyusuri koridor mall yang ramai, lalu akhirnya bersua dengan teman-teman yang begitu kurindukan.
.
Kami ngobrol dengan riuhnya.
.
Di tengah keseruan itu, ponselku berbunyi, Ardi menelepon! Mati! Aku baru ingat sesuatu.
.
Jadi, ketika pulang dari Depnaker, kami mampir ke tempat rental kaset dvd gitu. Dan aku meminjam dua keping dvd menggunakan kartu anggota milik Ardi. Hari ini harus dikembalikan karena aku emang ngambil tarif untuk rental dua hari saja.
.
Kaset itu kubawa di tas, tadinya kami akan ketemuan di dekat butik untuk mengembalikannya! Ya Tuhan kasihan Ardi.
.
"Iya Di, duh gue lupa Di. Sorry!" ucapku.
.
Temen-temenku melirikku. Lalu cie cie ribut.
.
"Gue kudu kembaliin, May. Lo di mana sekarang?"
.
"Di Mall Lippo."
.
"Gue ke sana deh."
.
Lalu saluran telepon di tutup begitu saja. Apakah Ardi marah?
.
Sepuluh menit kemudian, ketika tengah berada di twenty one menunggu film pilihan kami diputar, ponselku kembali berdering.
.
"Iya, Di. Lo di mana?"
.
"Di pintu utama, May. Lo di mana?"
.
"Di Twenty One."
.
"Gue ke sana deh."
.
Kembali saluran telepon di tutup.
.
Tak lama aku melihat Ardi celingak celinguk mencariku di pintu masuk bioskop.
.
"Itu cowok yang nyari kamu, May?" tanya Rizal.
.
Aku mengangguk.
.
"Aku temenin ya, tampangnya rada mencurigakan."
.
Aku ngakak.
.
Rizal menggamit tanganku. Itu kebiasaan dia. Kadang selera humornya emang rada aneh. Tapi aku gak pernah risih atau marah, karena... itulah Rizal.
.
Raut muka Ardi tak terlukiskan ketika melihatku digandeng Rizal.
.
Dan entah kenapa, aku merasa tidak enak.
.
Aku menyodorkan kaset itu.
.
"Maafin gue yaaa, Di."
.
Ardi tersenyum, sebuah senyum yang dipaksakan.
.
"Ga apa apa."
.
Lalu ia pergi begitu saja.
.
Setelah drama absurd itu, riuhlah empat cowok biadab di belakangku.
.
"Wah parah Si Rizal, kesian Si Maya. Mana udah jomblo lama, sekarang hubungannya jadi rusak gara gara lo Zal!"
.
Aku memeletkan lidahku jengkel.
.
~~
Aku kembali ke kosan pukul sepuluh malam. Lelah sekali. Kuabaikan dering ponsel dan notifikasi sms yang berdenting-denting tak kenal lelah.
.
Aku hanya ingin tidur. Seharian ini aku sibuk karena pembeli di butik begitu ramai, kemudian langsung jalan di mall bareng temen-temen. Sungguh melelahkan.
.
Keluar dari kamar mandi, sambil mengeringkan rambut dengan handuk, aku iseng membuka ponsel.
.
Njiiir. Rio lima kali menelepon. Dan.. delapan kali mengirim sms.
.
Watde?
.
[Udah nyampe kosan, May?]
.
[Mau Rio jemput?]
.
[Jangan terlalu malem, daerah sana rawan. Kamu di mana sekarang]
.
Aku membaca sms-sms itu secara random.
.
Geleng-geleng kepala.
.
Masalahnya, aku gak biasa diperhatiin ampe segininya.
.
Aku udah biasa melakukan hal-hal sesuai kemauanku. Apalagi, aku baru saja beberapa bulan menikmati kebebasan dari kekangan Teteh. Aku sedang sangat menikmatinya.
.
Membaca sms-sms dari Rio, bagaikan ancang-ancang untuk masuk ke sangkar emas lagi. Sangkar emas versi lain.
.
Aku memutuskan untuk meneleponnya. Di dering kedua, suara baritonnya terdengar.
.
"Kamu di mana sekarang?'
.
"Lebay deh!" ucapku jengkel.
.
Dia langsung terdiam.
.
"Ardi bilang..."
.
"Persetan dengan apa yang Ardi bilang," ucapku.
.
"May, aku cuma khawatir."
.
"Aku udah dewasa."
.
"Maaf," ucapnya lirih.
.
"Makasih untuk perhatiannya, tapi aku rasa kamu berlebihan."
.
"Rio minta maaf, Rio nyadar belum berhak untuk segitu khawatirnya sama kamu."
.
Aku terdiam. Ada rasa bersalah yang menyelusup di hatiku. Ni cowok niatnya baik. Aku tahu itu.
.
Lalu aku membayangkan bagaimana Ardi menceritakan pertemuan kami di mall tadi, dan itu membuatku ingin tertawa.
.
"Kenapa malah ketawa?" tanya Rio, suaranya seperti kebingungan.
.
"Tadi Ardi cerita apa aja?"
.
"Maya digandeng sama cowok. Mesra."
.
Aku tertawa lagi.
.
"Ganteng pula cowoknya, gitu katanya."
.
Aku makin ngakak.
.
"Dan aku gak boleh nanya, cowok itu siapa?" tanya Rio.
.
Aku terdiam, mencoba sekuat tenaga untuk menghentikan tawa.
.
"Temenku. Satu tim di pabrik dulu," ucapku sambil mesem-mesem, entah kenapa bayangan Ardi berkoar di base camp menjadi sangat lucu bagiku.
.
"Oh."
.
Aku masih mesem-mesem. Kalo aku niat kejam, bisa aja ledekin dia: cie cemburu.
.
Tapi enggak, aku gak melakukannya.
.
"Besok ketemuan mau?" tanyanya.
.
"Aku besok kerja, Rio."
.
"Rio ke butik boleh gak? Besok Rio off kerja soalnya. Sapa tau bisa bantu kamu."
.
"Boleh."
.
"Oke, kamu istirahat ya."
.
"Iya."
.
"Miss you."
.
Aku diam.
.
"Assalamualaikum."
.
"Waalaikumsalam."
.
~~
.
[Jangan beli sarapan, Rio bawa nasi uduk bikinan Emak.]
.
Itu sms dari Rio. Aku sedang membenahi display jilbab dan beberapa gamis ketika dia datang menenteng kantung plastik. Beberapa tetangga toko berdehem-dehem. Ini adalah pertama kalinya ada cowok yang nyamperin ke butik.
.
Aku cuma nyengir aja pas Windi kepo.
.
"Teh Maya, siapa?" Tanyanya sambil menunjuk Rio dengan isyarat dagunya.
.
Windi adalah penjaga baby store di sebelah butik.
.
"Temen."
.
"Temen apa temen?"
.
"Mulai deh genitnya!" ledekku.
.
"Ganteng Teh, Salam ya," bisiknya.
.
"Kaga boleh!" ucapku cuek.
.
"Cieee...."
.
"Sarapan yuk," ucap Rio sambil membuka kertas nasi. Aroma sedap segera menyapa.
.
Dan aku memang lapar.
.
Kami sarapan dengan tenang.
.
"Kenapa gak sekalian abis subuh aja datengnya, Yo! Pagi amat udah dateng," ledekku ketika selesai makan.
.
Rio nyengir.
.
Kami berbincang, mengisi TTS, ngemil chiki, dengerin musik. Beberapa konsumen mulai masuk ke butik dan aku mulai sibuk.
.
Rio membantuku sebisanya. Menyediakan shopping bag, melipat gamis yang sudah deal dibeli orang, memasang outfit untuk manekin yang kosong, membereskan plastik-plastik jilbab yang berserakan.
.
Selepas shalat dzuhur, konsumen mulai reda dan aku bisa nyantai.
.
"Yo, aku beliin makan siang ya."
.
"Rio aja yang beli."
.
"Gantian, kan tadi kamu yang sediain sarapan."
.
Dia mengangguk.
.
Selesai makan, Rio asyik bermain game di ponselnya sedangkan aku sibuk mengecek pembukuan butik.
.
Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa telah tiba waktunya menutup butik.
.
Rio membantuku menutup rolling door dan hanya senyum senyum ketika Windi mencoba menggodanya.
.
Kami berjalan bersisian meninggalkan pelataran butik.
.
"Teh Maya!" teriak Windi. Duh... ada apa lagi tu bocah?
.
"Iya Windi... ada apa?"
.
"Salam ya Teh, buat yang di samping Teteh!"
.
Sugar-Honey-Ice-Tea!
.
Aku melengos.
.
Kulihat Rio hanya mesem saja.
.
"Selepas maghrib kita jalan yuk," ucapnya sambil memasukkan jemarinya ke saku celana.
.
"Ke mana?"
.
"Jababeka."
.
Wow. Ngedate? Malem malem? Berdua doang!?!
.
"Kita sekalian makan malam di sana. Ada sate padang yang enak banget. Langganan Rio sama Ardi."
.
Aku ketawa.
.
"Kalian bisa jadi pasangan serasi deh."
"Sialan!" ucapnya kesal.
.
Aku kembali tertawa.
.
"Mau gak?"
.
"Apanya?"
.
"Jalan sama Rio malam ini."
.
Aku mengangguk.
.
"Tapi ke kosan dulu ya, mau mandi."
.
Rio mengangguk.
.
Sekitar empat puluh lima menit kemudian kami telah berada di sebuah lapangan yang sejuk dengan seporsi sate padang yang sangat lezat. Aku bisa menyaksikan keriuhan akhir pekan di sekitar.
.
Para orang tua yang membawa anak-anak mereka menikmati malam minggu dan sekedar menikmati udara segar.
.
Atau pasangan dimabuk kepayang dan tak hentinya saling memandang mesra serta menautkan jemari.
.
Atau kerumunan abege yang berkumpul serta berbincang satu sama lain.
.
Aku menikmatinya.
.
Biasanya aku tak menyukai keramaian. Tapi ini beda.
.
Beda karena ada Rio di sampingku.
.
"Seneng?"
.
Aku mengangguk.
.
"May."
.
Aku menoleh.
.
"Rio boleh nanya?"
.
Aku mengangguk.
.
"Seneng gak menghabiskan hari berdua sama Rio?"
.
Aku berfikir sejenak. Dan aku mengakuinya. Aku menikmati kebersamaan ini. Aku nyaman.
.
"Iya, makasih ya udah mau nemenin aku, Yo."
.
Rio mengangguk.
.
"Kamu udah dapet keputusan?" tanyanya.
.
Hatiku mencelos. Duh...
.
Aku menarik napas panjang.
.
"Rio, dengerin aku...."
.
Dia mengangguk antusias.
.
"Boong kalo aku bilang, aku sama sekali gak tertarik sama kamu."
.
Dia menungguku melanjutkan.
.
"Tapi gini..., aku sangat menyukai pertemanan kita. Aku sangat menyukainya Yo. Aku juga seneng bisa sering nongkrong di base camp. Dan itu berkat kamu. Kamulah yang membawaku pertama kali ke sana. Memperkenalkan aku ke anak anak yang musikalitasnya keren abis."
.
"Kalo kita jadian, lalu someday putus, maka semuanya gak akan sama lagi, Yo. Itu mengerikan. Aku udah cukup seneng jadi temen kamu, jadi temen kalian."
.
Rio tertegun.
.
"Kamu, nolak Rio?" tanyanya lirih, nyaris tak terdengar di antara pekikan anak anak yang berlarian.
.
Aku meringis.
"Aku bingung," ucapku akhirnya.
.
"Kenapa kamu berfikir bahwa someday kita bakalan putus?" tanyanya.
.
"Ya kan yang namanya pacaran mah ada putusnya. Kalo temen kan abadi."
.
"Gimana kalo, nikah?"
.
Anjay!
.
Aku tahu, aku sedang melongo sekarang, dan pasti mukaku jelekkk banget.
.
"Nikah?"
.
Rio mengangguk.
.
"Usia Rio udah 23, bukan masanya lagi pacaran maen-maen, May. Kamu kira Rio hanya iseng sama kamu?"
.
Aku menunduk.
.
"Hei, liat Rio!" ucapnya tegas.
.
Aku menengadah.
.
"Rio sayang sama kamu. Kalo kamu punya perasaan yang sama. Ayok kita jalanin dengan sebaik baiknya. Rio serius sama kamu. Bahkan Rio udah bilang sama Emak."
.
Tuhan. Apa apaan ini?
.
"Aku... aku..."
.
"Rio cinta sama kamu," ucapnya sungguh-sungguh.
.
Damn! Tar dulu napah!
.
"Masalahnya, sampe sekarang kamu gak pernah kasih jawaban. Rio gak tau gimana perasaan kamu sama Rio, May."
.
Aku makin menunduk.
.
"Iya, Aku juga...," ucapku lirih, mukaku pasti merah semua.
.
Satu detik, dua detik, tiga detik, empat, lima.
.
Kenapa dia gak ngasih respon apa-apa ya?
.
Perlahan aku mendongak, dan yang ada di depanku adalah wajah Rio yang senyum-senyum bego.
.
Senyum bahagia dari seorang pemuda tampan karena cintanya kuterima.
.
Aku yakin, tak ada pemandangan yang lebih indah dari itu.
.
Tangan Rio terangkat, dia mengelus rambutku. Ini sentuhan pertama kami sebagai sepasang kekasih.
.
"Makasih."
.
Aku tersenyum, hingga rasanya senyum ini membelah wajahku. Lebar sekali.
.
Satu hal yang membuatku kaget, aku bahagia.
.
Keraguan konyol yang menghantuiku selama ini telah sirna.
.
Aku hanya ingin menjalani semua hal indah di depan.
.
Rio mengantarku ke kosan pukul sebelas malam.
.
Dia mengantarku ke depan pintu kosan.
"Selamat malam, Hon." bisiknya.
Hon? Honey? Huaaa... melted.
.
"Okay, hati-hati di jalannya ya, Hon," ucapku lirih.
.
Dia mengangguk.
.
Kupandangi punggung kekasihku yang semakin menjauh menuju motornya. Sebelum beranjak, kulihat dia menatapku lalu tersenyum lembut.
.
Sekitar satu jam kemudian sms masuk ke ponselku.
.
[Hon, thank you. Rio bahagia banget. Mimpi indah ya.]
.
Ya Rio. Malam ini aku pasti mimpi indah. Dan itu karena kamu.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Dazzling Rio
Non-Fiction"Rio sayang sama kamu." . "Dan sekarang Rio yakin, bahwa ini bukan sebuah pelarian." . Cerita nonfiksi yang digali dari memori masa lalu bersama suami author sendiri. Semoga ada pembelajaran dari kisah ini. Semoga kelak kisah ini bisa dibaca oleh an...