'Untung belom malem, jadi aku masih bisa nyari cafe Zu-ppanya. Kalo kata orang yang dari tadi aku tanya-tanyain selama di jalan sih harusnya udah deket. Karena ini udah deket pantai dan katanya emang deket sama pantai', batinku.
"Wah bener ! Zu-ppa Cafe !", teriakku sendiri. 'Baru inget kalo ada orang-orang lain di sini, jadi malu sendiri diliatin.'
Seketika tubuhku membeku, masih dengan koper yang kutenteng sejak awal aku menginjak New Zealand. Tepat di depanku, ada beberapa jendela terbuka, dan salah satu jendela tersebut menampilkan jelas wajah kakakku, Kelvin yang sedang melayani lelaki tampan berhidung mancung yang kulitnya tidak putih, dan mukanya seperti orang Asia. Lelaki itu menoleh ke arahku yerus menerus tanpa memalingkan wajahnya, tapi aku tak peduli dengan dia. Aku hanya peduli terhadap kakak. Aku tidak tau harus merasa apa sekarang terhadap kakak. Entah senang, sedih, kesal, apapun itu telah bercampur aduk sekarang.
Tiba-tiba kakakku menanyakan sesuatu kepada lelaki itu sambil menuangkan minuman, entah teh atau minuman lainnya. Tetapi gara-gara lelaki itu masi menoleh ke arahku, kakakku pun ikutan menoleh ke arah yang dilihat oleh lelaki itu. Kakakku pun langsung meletakkan tempat teh yang ia bawa ke meja dengan kencang sampai lelaki itu menoleh ke arah Kakak. Lalu kakak langsung buru-buru keluar dari cafe itu dan menghampiriku dengan cepat.
"Mana ? Mana uangnya ?", kata kakak sambil menarik tasku dengan kesal.
Hal ini sungguh mengagetkan. Aku kira aku akan disapa dulu dengan senyuman. Ternyata ia langsung marah kepadaku ?
"Woi kalo diajak ngomong tuh jawab ! Mana uangnya ?!", kata kakakku lagi sambil melempar tasku. Aku masih terpaku, benar-benar tidak tau harus apa.
"Bodoh !", kata kakakku kepadaku. Saat itu juga, ia lansung mengambil koper dari genggamanku dan mencoba untuk membukanya.
"Jangan kak !! Jangan.. kakak gak boleh ngambil begitu aja ! Kakak gak jadi nikah ! Mending kakak pulang aja ke rumah, Kak !", kataku sambil nangis karena sedih dan kesal, juga sambil menarik-narik koper yang sedang ingin dibuka Kakak.
Tapi kakakku tak mendengarkanku. Karena dia kakak laki-laki, tenaganya lebih besar. Jadi koper itu berhasil ia tarik dan dibuka. Ia langsung mengeluarkan semua pakaianku dan langsung menemukan sebuah amplop besar berisi uang tunai 10 juta itu.
Ia langsung lari. Aku langsung meninggalkan koper yang dibuka itu, lalu lari mencoba untuk mengejarnya. Tapi ia terlalu cepat. Ia sudah masuk ke dalam cafe yang penuh dengan orang-orang. Aku tidak mungkin masuk ke dalam situ sambil menangis seperti ini. Orang-orang akan menyangkaku sesang mencari perhatian.
Aku tetap menangis, mengeluarkan air mata lebih banyak sekarang sambil kembali ke arah koperku. Mencoba untuk merapihkannya.
Saat aku merapihkannya, ada bayangan seseorang di depanku. Aku menoleh ke arahnya, dan ternyata laki-laki tampan yang ada di dalam tadi berdiri di depanku. Tanpa berkata-kata dan berekspresi apapun, dia langsung membantuku.
"Lu ngapain bawa micin satu bungkus ? Emang lu mau bantuin kakak lu masak-masak disini ? Hah ?", katanya dengan nada ketus sambil mengangkat satu bungkus penyedap rasa yang aku bawa. Aku memang bawa itu karena aku berjaga-jaga kalau makanan New Zealand tidak cocok dengan mulutku.
"Loh lu kok bisa bahasa Indonesia ? Lu orang Indonesia juga ? Lah lu tau darimana itu tadi kakak gua ?", kataku dengan penuh pertanyaan.
"Gua dari awal juga udah liatin kali kalo lu adu mulut sama kakak lu di depan cafe. Gua denger semua yang kalian ucapin", katanya.
"Udah mending ni micin dimasukkin. Orang sini bakal ngira ini obat-obatan terla-", tiba-tiba kata-katanya terpotong karena bungkusan oenyedap rasa itu langsung diambil oleh orang yang mungkin merupakan temannya.
"Max !! Max ! Give it back to me !", teriaknya sambil mengejar lelaki yang mengambil micin itu.
Aku langsung mengunci koperku yang sudah dirapihkan, meninggalkannya di pinggir jalan, dan ikut lari mengejarnya ke tengah pantai.
Sayang, lari dari lelaki tampan tadi kalah cepat dengan temannya. Temannya yang bernama Max tadi langsung membuka bungkusan micin itu dan memasukannya ke dalam mulut dengan banyak. Saat itu juga ia langsung tersedak-sedak dan pingsan di tengah-tengah kerubunan orang banyak.
"Max ! Owh sh*t ! You shouldn't eat this thing !", teriak lelaki itu ke temannya sambil menggoyang-goyangkan badan Max.
Petugas pantai pun langsung datang dan berbicara dengan walkie talkienya. Menyuruh para medis dan beberapa security untuk segera datang.
Max, aku, dan lelaki yang tidak aku ketahui namanya ini langsung dibawa ke kantor polisi terdekat yang bekerja sama dengan klinik kesehatan.
Tiba-tiba, ada seorang polisi gendut yang menghampiriku. 'Duh tu cowo tadi kapan baliknya sih ? Pake ke toilet segala lagi. Kalo polisi sini ngomong ke gua, yang ada kan gua udah ketakutan duluan. Gua ntar jadi gangerti lagi dia bilang apa gara-gara ni otak mampet ketakutan', batibku sambil melihat polisi itu yang terus berjalan mendekat ke arahku.
"Sorry mam. But...", kata polisi itu. Sebenarnya polisi ini masih terus berbicara. Tapi aku sudah tidak bisa dengar dan mengerti lagi.
'Tuh kan bener. Gua jadi gangerti dia ngomong apa. Gua udah ketakutan duluan nih', batinku.
"Mam ? Do you hear me ?", kata polisi itu lagi.
"S-s-sorry. What did you say ?", kataku gugup.
Tiba-tiba lelaki yang tidak aku ketaui namanya itu datang sambil merangkulku. 'Ngaoain rangkul sih ?', batinku kesal.
"It's okay, sir. She's my girl friend. She's not bring a bad thing", katanya kepada polisi itu. Ternyata lelaki ini berpura-pura akrab denganku dengan cara sok-sok menjadi pacarku.
'Untung saja, polisi ini membebaskanku. Dan aku tidak dibawa ke hal-hal selanjutnya. Kalau tidak, mati saja aku.'
Dia langsung melepaskan rangkulannya. Lalu aku dan lelaki ini langsung keluar dari gedung ini.
"Itu tadi temen gua, Max. Udah gua bilang kan, pasti orang sini bakal ngira itu obat-obatan terlarang.", katanya dengan wajah agak kesal.
"Ya gua kan gak tau ! Btw, makasih ye dah bantu gua keluar dari tu gedung", jawabku.
"Lu rumahnya di mana ? Biar gua anter aja. Udah malem", tanyanya.
'Duh mati gua. Masa gua bilang di tempat kakak gua ? Tadi dia udah liat sendiri kalo kakak gua ninggalin gua. Mana mungkin dia percaya gua tinggal di rumah kakak gua ? Lagipula juga gua udah gak tau Kakak tinggal di mana sekarang', batinku.
'Duh gua harus jawab apa ?'

KAMU SEDANG MEMBACA
MAVINE
Lãng mạnHidup di keluarga yang hancur sangat tidak menyenangkan. Aku dibully di sekolah baru, Ayah telah tiada, Ibu tidak bisa bicara, Kakak hidup tak karu-karuan lagi. Ditambah lagi dengan diriku yang pada jaman modern seperti ini masih menggunakan HP yang...