***
Jantungku berdetak dengan normal saat aku melihat E. L James yang terduduk di sofa bersama dengan Gavin. Justin duduk bersebelahan denganku, ia tampak sibuk dengan ponselnya. Namun aku menyikutinya agar ia berhenti bermain dengan ponselnya. Untungnya, Justin meresponnya. Dravin terduduk di salah satu kursi yang berada di sampingku. E. L James dari tadi tersenyum dengan sumringah melihat kami, begitu juga dengan Gavin.
“Ada apa?” tanya Justin yang terlihat begitu berkuasa di tempat ini, padahal Gavin yang paling berkuasa. Ia seperti Christian Grey. Kutatapi dirinya yang melihat pada E. L James dengan lurus. Astaga, bulu matanya. Bibirnya. Hidungnya. Bagaimana bisa lelaki ini terlihat begitu sempurna? Aku berharap tidak ada orang yang membangunkanku dalam mimpi ini.
“Justin, Christian Grey. Astaga, aku sudah melihat kalian kemarin. Gavin datang ke rumahku dan melihat perkembangan kalian yang sangat pesat. Kedekatan kalian, aku tidak bisa berkata-kata. Terima kasih sudah cukup?” tanya James dengan senyuman sumringah. Apa maksud kedatangannya ke sini? Hanya untuk mengucap terima kasih? Jika Christian Grey benar-benar ada di dunia ini, pasti ia sudah menganggap ini hanyalah buang-buang waktu. Justin menggelengkan kepalanya. Berusaha untuk tidak melotot, aku meremas bajuku dengan erat. Mengapa ia terlihat begitu perhitungan? Maksudku, sudah beruntung ia bisa memainkan peran Christian Grey. Jika tidak ada E. L James yang membuat cerita ini, kami tidak akan pernah bertemu.
“Maksudmu?” James tersinggung akan pernyataan Justin.
“Aku hanya ingin mengurangi kekerasan di sini,” ujar Justin berwibawa. Dravin terkekeh dan aku langsung memelototinya. Atas dasar apa dia terkekeh seperti itu? Tidak ada yang lucu di sini. Justin hanya ingin mengajukan permintaannya pada Gavin atau E. L James. Sebenarnya, E. L James hanya perlu duduk, tunggu delapan bulan, dan jadi. Filmnya akan segera keluar dan namanya akan melejit tinggi, lebih dari pada buku yang terjual. Kurasa begitu.
“Mengapa?”
“Aku tidak tega melihat seseorang dipukul,” ujar Justin.
“Diterima. Sebenarnya, ada pemeran pengganti Alex –“
“Sekalipun itu bukan Alex. Tetap saja,” potong Justin saat Gavin berujar. Kemudian Gavin menganggukan kepalanya, mengerti. “Jadi hanya ini yang kalian inginkan? Bertemu dengan kami untuk mengucapkan terima kasih? Terima kasih kembali. Aku dan Alex punya urusan sebentar,”
“Justin!” aku menegurnya. Lancang sekali ia berbicara seperti itu pada sutradara. Ada ada dengannya?
“Tidak apa-apa. Sekali lagi, terima kasih sudah sangat bersedia untuk memainkan pasangan ini. Aku sangat bersyukur,”
“Aku juga sangat bersyukur, James. Aku bisa memerankan peran Anastasia Steele, seperti mimpi jadi kenyataan,”
“Kita tidak bisa membicarakan omong kosong ini,” ujar Justin memotongku saat aku ingin melanjuti ucapanku, “aku mempunyai urusan denganmu. Dravin, aku harus meminjamnya,” ujar Justin menarik tanganku untuk bangkit dari sofa ruang tamu Escala. Dravin hanya menganggukan kepalanya untuk mengizinkan Justin menarik tanganku.
Kami berjalan menuju kamarku dan Christian. Justin menutup pintu kamar kami dan menguncinya. Tangannya sudah terlepas dari tanganku dan aku mulai melangkah jauh darinya. Ada apa dengan Justin? Aku bersandar pada pintu kaca dan melipat kedua tanganku dengan malas. Apa maksudnya? Ini sungguh aneh. Tadi pagi ia sungguh manis, tapi pagi menjelang siang ini, ia tampak menyebalkan. Setelah apa yang tadi ia katakan pada E. L James. Ia kasar dan tidak menyaring kata-katanya sebelum berbicara.