****
“Di mana dia?” tanyaku saat aku dan Justin sudah sampai di rumah sakit jiwa. Astaga, ruangan-ruangan di sini bahkan terbuat dari besi. Dan pintunya tertutup rapat sekali, hanya ada jendela kecil berbentu persegi panjang di sana. Yang dimana hanya suster yang bisa membukanya dari luar untuk melihat keadaan si gila. Untung saja ada Justin yang berada di sampingku sekarang.
“Di ruangan ini,” ujar suster yang membawa kami ke depan pintu besi. Ruangan ini berada di ujung dan di tengah-tengah. Oh, malangnya Zayn. Pasti dia sangat kesepian. Aku tidak mendengar suara-suara teriakannya atau tawaannya seperti orang gila. Tidak seperti yang lain. Maksudku, orang gila di sini. Suster itu membuka jendela yang berada di pintu itu sehingga aku bisa melihat apa yang terjadi di dalam sana. Aku tidak melihat Zayn.
“Zayn, kaukah itu?” tanyaku pelan-pelan. Justin yang berada di belakangku meremas bahuku yang ia pegang. Aku juga ketakutan! Bagaimana jika tangannya tiba-tiba saja keluar? Oh, itu tidak akan terjadi. Aku bisa yakinkan itu. Maksudku, aku takut matanya saat ia menatapku.
“Siapa kau?”
“Alexis, bagaimana kabarmu?”
“Oh sayang. Kenapa kau datang ke sini?”
“Aku hanya ingin melihat keadaanmu,” ujarku pelan-pelan. “Bagaimana perasaanmu?” tanyaku.
Aku menunggunya untuk menjawab pertanyaanku. Hening, tapi sebenarnya tidak terlalu hening karena banyak teriakan-teriakan orang gila di sini. Kutelan ludahku untuk membuka mulut. “Apa kau ingin menunjukan dirimu?” tanyaku lagi. Hening kembali.Kubalikan tubuhku untuk melihat Justin.
Wajah Justin tampak menegang. Oh, ada apa dengannya? Matanya bertemu dengan mataku. Terlihat sekali kalau ia sedang marah. Mungkin karena aku memaksanya untuk ikut denganku ke sini.
“Dia tidak mau menjawabnya. Bisakah kita pulang?” tanya Justin akhirnya mengeluarkan suara. Aku belum ingin pulang sebelum aku benar-benar memastikan kalau Zayn benar-benar gila. Dan aku berharap Zayn gila selamanya. Kalau pun ia sudah tidak gila, aku harap ia tidak terobsesi padaku dan atau bahkan melupakanku itu lebih baik. Justin menatapku dalam-dalam dan mulai mengecup bibirku.
“Kita pulang,”
“Tidak,” aku menolaknya. Kemudian aku membalikan tubuhku. SIALAN! Aku benar-benar terkejut saat tiba-tiba aku melihat wajah Zayn yang berada di balik jendela kecil itu. Matanya benar-benar menyeramkan dan dia tersenyum-senyum padaku.
“Hello, Alexis,”
“H-hai,”
“Kau berpacaran dengannya? Ahaha!” Zayn tertawa terbahak di tempatnya sampai ia memegang perutnya. Benar-benar gila. Oh, Tuhan, ini benar-benar menyeramkan. Aku menelan ludahku dan memundurkan tubuhku hingga sekarang punggungku sudah menempel pada dada Justin. Dapat kurasakan jantung Justin yang juga berdetak dengan cepat. Tangannya yang berada di bahuku juga semakin mengerat. Aku tidak tahu apakah dia takut atau ia marah karena tingkah Zayn yang gila. Tiba-tiba Zayn terdiam dan melihat mataku, langsung!
“Alex, aku di sini berusaha untuk berubah menjadi gay! Tapi di sini tidak ada lelaki. Oh bagaimana bisa aku mencintai seorang lelaki? Aku ingin seperti dia! Ahahahaha!” tawa Zayn yang membuatku bergidik. Tawaannya benar-benar menyeramkan. Aku membalikan tubuhku dan menatap Justin dengan bingung. Apa Zayn benar-benar ingin berubah menjadi gay? Apa maksudnya melakukan itu? Aku tidak peduli. Yang jelas aku sudah tahu kalau Zayn sudah benar-benar gila.