4

46 0 0
                                    

"Mereka meninggalkanku." Ivy tersenyum lemah. Masih tetap dipangkuannya sambil memainkan kancing kemeja Red.

"Tidak seperti drama di tv, tentang sebuah keluarga yang sedang berpergian lalu kecelakaan dan yang selamat hanya anak mereka. Bukan. Bukan seperti itu. Mama meninggal setelah melahirkanku. Dari awal papa sudah berkata tidak perlu memaksakan diri. Tapi mama yakin dengan kehamilannya. Bahkan, dokter juga mengatakan kalau kandungannya lemah. Tapi mama tidak mau menyerah. Jadi, saat aku lahir mama pendarahan dan akhirnya tidak bisa diselamatkan." Jelas Ivy dengan wajah sedih.

Red mengangkat tangannya untuk menyentuh pipi Ivy. "Jangan sedih. Tapi, aku berterima kasih padanya. Sudah mau berjuang melahirkanmu. Kalau tidak, aku tidak akan punya pacar yang cantik." Awalnya mendengar kata penghiburan dari Red membuat Ivy menghangat. Tapi berakhir lucu karena ucapan terakhirnya.

"Kau sudah mulai pintar merayu ya."

"Aku tidak ingin melihatmu menangis." Belanya dengan wajah memerah.

"Aku memang sedih. Sangat sedih. Tapi aku sudah bisa menerima. Tidak akan menangis." Jawab Ivy tersenyum lembut.

"Mm. Bagaimana dengan papamu, apa yang terjadi?" Tanya Red ingin tahu.

"Papa. Aku merasa dia mungkin depresi. Papa meninggalkanku bulan yang lalu. Tepatnya pada malam natal. Aku pikir papa sangat terpukul. Dia selalu sibuk bekerja. Aku hanya bisa bertemu dengannya saat ulang tahunku, atau ulang tahun mama, atau ulang tahunnya, dan saat natal. Aku tahu papa menyayangiku. Dia selalu berusaha untuk itu. Tapi mungkin papa tidak sanggup melihatku yang semakin terlihat seperti mama. Karena dia mulai menyibukkan diri sejak aku berusia lima belas. Dan akhirnya dia pergi meninggalkanku saat malam natal karena overdosis. Aku tahu papa selalu meminum obat agar tertidur. Jadi, aku merasa memang lebih baik papa bertemu mama daripada tersiksa."

"Aku tidak menyangka. Kau sangat tegar menghadapi semua. Aku akan berusaha untuk selalu bersamamu, kak."

Mendengar penuturan Red spontan saja Ivy memeluknya erat.

"Terima kasih. Terima kasih banyak, Red."

"Lalu kau sendiri, bagaimana? Orangtuamu dimana?" Tanya Ivy.

"Mereka di Hawai, kak. Aku juga tinggal di apartment."

"Oh ya? Bisakah aku berkunjung, menginap?"

"Boleh. Tapi untuk apa?"

"Huh? Untuk apa katamu? Apa kau menyimpan perempuan di kamarmu?" Jelas sekali Ivy cemburu. Dia bersedekap sambil melihat kearah lain.

"Kau cemburu? Kau bisa cemburu padaku, kak?" Ucapan Red yang sangat lugu membuat Ivy kesal dan senang yang diaduk menjadi satu. Diapun menarik belakang kepala Red mendekat. Dia mulai mengecup-kecup bibir Red. Lalu melumat bibirnya. Menghisap bibir Red yang terasa manis akibat coklat tadi. Red yang kaget dengan serangan Ivy pun terdiam mematung. Ivy merasa Red sangat tegang, dibelainya rambut belakangnya dan diremas pelan. Saat Red mulai rileks, dijilatnya bibirnya, dan saat Red membuka mulutnya kesempatan itu tidak disia-siakan Ivy. Segera diselipkan lidahnya kedalam mulut Red. Menggoda Red dengan lidahnya. Red yang masih shock hanya bisa terdiam menerima serangan dari Ivy. Sebelah tangan Ivy pun turun, membelai dada Red. Selanjutnya, kedua tangannya melepas kancing-kancingnya. Setelah terlepas, Ivy membelai dada Red yang hanya tertutup pakaian dalam. Red yang mendapatkan serangan beruntun, tak bisa menahan desahannya.

"Erhm. Engh." Tangan Red pun mulai mengikuti permainan dengan merambat naik, meremas pinggul Ivy.

Ivy yang merasa Red sudah mulai mengikuti permainannyapun semakin gencar membelai dada hingga perutnya.

Chocolate LoveWhere stories live. Discover now