02. Kopi Jawa - To Love Or To be Loved? (Part -11)

1.9K 129 59
                                    

Jakarta, Satu Tahun yang Lalu

Sedari kecil, persepsi saya terhadap Simbah ndak pernah berubah. Beliau adalah Ibu saya. Begitu juga persepsi Mas Handono ke Simbah.
Sampai setua ini kami masih sering berebut dikeloni Simbah.

Selama Simbah tinggal di Jakarta, Mas Handono jadi lebih sering menginap di tempat saya. Mungkin itu tadi, cemburu karena Simbah ngeloni saya.
Saya juga sadar sih, Mamak juga cemburu dengan Simbah. Setiap pulang lebaran, Mamak selalu uring-uringan kalau saya dan Mas Handono berebutan tidur disamping Simbah.

"Par...! Jangan sampai boleh anakmu nanti dikeloni Simbah. Nanti anakmu ndak ngerasa kalau kamu Bapaknya!", omel Mamak sewaktu saya masih SD dahulu.

Lik Supar cuma tertawa menanggapi Mamak.

Tapi tetap saja, namanya Simbah dengan cucu itu sayangnya bukan main. Menurut cerita Mas Handono, anaknya Lik Supar sekarang maunya juga digendong Simbah. Bisa tidur kalau sudah dikeloni Simbah. Setiap rewel, bisanya diam kalau ada Simbah.
Simbah itu pawang anak-anak rupanya.

"Simbah mbok jangan pulang dulu. Nemenin aku dulu to Mbah."

"Aku sudah hampir sebulan disini nang. Kasian anaknya Lik mu itu, siapa yang ngasuh kalau lagi ditinggal kerja. Kasian kamu juga, kerjanya jadi ndak karuwan. Di kantor kamu mesti ndak bisa fokus, mikirin aku.", jawab Simbah sambil melipat baju dan memasukkan kedalam tas.

Saya terdiam.
Iya juga sih, terus Mas Andar juga jadi ngalah. Sepanjang ada Simbah, Mas Andar ndak pulang ke Jakarta. Bagaimanapun Mas Andar juga butuh nafkah dari saya dan menafkahi saya. Pasti saat bertemu besok, Mas Andar bakal brutal setelah nahan sebulan.

"Aku sudah liat keseharian kamu. Jadi aku sudah tenang. Kamu yang sabar yo nang. Simbah cuma bisa kirim doa. Memohon ke Gusti Allah. Setiap kamu mau berdoa, kamu harus minta pengampunan ke Gusti Allah terlebih dahulu."

"Iya Mbah."

"Ingat selalu pesan Kanjeng Sunan Kalijaga ya nang. Setiap kamu berdoa dan ibadah , kamu senantiasa ditemani malaikat. Kerja juga ibadah, makan juga ibadah, tidur juga ibadah. Apapun yang kamu lakukan serahkan ke Gusti Allah. Malaikat itu saudara kamu dari semenjak kamu ada di rahim. Kakang kawah, adhi ari-ari, getih lan puser."

"Nggih Mbah."

"Kamu harus mencontoh apa yang dilakukan Punakawan. Hidup itu semacam mereka. Tugas kamu seperti Punakawan, menjaga dan memelihara kehidupan."

"Nggih Mbah."

"Sini cah bagus!", Simbah memanggil saya untuk duduk mendekat. Simbah mengusap-usap kepala saya.

"Simbah ndak bisa ninggali kamu harta. Simbah cuma bisa mewarisi kamu doa-doa dan harapan ke Gusti Allah, agar kamu jadi manusia utama. Jangan pernah tinggalkan asalmu ya nang!"

Saya mengangguk pelan sambil menahan air mata.

"Perkara hidup dan mati itu memang kehendak Gusti Allah. Kamu jangan pernah takut menghadapi keduanya. Simbah seneng ngeliat kamu bisa tabah. Sewaktu-waktu nanti jika sudah tiba waktunya, kamu harus bisa pasrah, ikhlaskan itu semua ke Gusti Allah. Simbah tau kamu sedari kecil bisa mempraktekkan arti berserah. Tapi kamu harus terus berlatih, supaya kamu ndak lupa."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Cup of Coffee, SirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang