Teringat kala ku duduk di kursi rotan tahun silam
Ketika ku pandangi kau yang tengah menengadah
Dengan secangkir kopi yang kau rengkuh, berbantal paha dan telapak tangan kirimu.
Aroma kopi hitam menguar bersama pekat panas dalam cangkirmuKala itu, titik embun masih tergeletak dalam daun talas dan sepatu merah.
Nyaman dan tenang, tak terlihat secuil kendaraan pengganggu
Damai dan sepi, bahkan para ayam pun terlihat enggan melewati rumah bercak hitam dan kelabuDulu, semua terkendali
Kebahagiaan terasa nyaman dalam genggaman mata biru lelaki di sampingku
Dulu, semua terarah
Bahkan luka pun enggan berbelok mendekati lelaki yang duduk disampingku.Hanya dulu,
Bukan sekarang.Karena, lelaki yang dulu ku puja.
Kini hanya terpejam dalam bening rupa dan keriput wajahTak apa,
Karena kini bukan bahagia yang ingin kau genggam
Bukan luka yang ingin kau tepisTapi , hanya waktu yang ingin kau nikmati
Bersamaku di sampingmu
Di rumah yang tetap hitam dan kelabu
Hanya bertambah bising saja rumah ini
Dan punahnya ayam pencari cacing di tanah emperan
Dan tak ada lagi sepatu merah rumah embun, kala itu.
Kau yang selalu ada bersamaku
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejuta Cita
PoetryKetika kita mengungkapkan sepenggal kata, diuntai menjadi kalimat. Yang akan mengerti perasaan yang kita miliki. Kala kita mengutai kalimat menjadi sajak sajak dan puisi. Menjadi kalimat penuh curahan perasaan. Dengan sajak dan puisi kita bisa mencu...