Mama

343 35 11
                                    

😆😆
...

Bucket bunga lily tergenggam diantara jemari Luhan. Gadis itu berjalan satu langkah di belakang Bibi Kim, nampak ragu dengan bibir bawah yang tergigit.

Sejujurnya Luhan benci Rumah Sakit. Ia menyimpan banyak kenangan buruk di tempat aseptis beraroma pinus itu. Kenangan tentang masa kecilnya yang mudah jatuh sakit, cek kesehatan rutin setiap bulan, lalu kenangan paling menyakitkan saat tubuh Mama di dorong terburu-buru di atas brankar hingga akhirnya meregang nyawa di dalam ruang ICU.

Walaupun bukan di Rumah Sakit yang sama, aroma itu tetap tersimpan dalam memorinya dan lantas membekas. Membuat rasa mual di perutnya hadir tanpa bisa di cegah.

Tapi kali ini, Luhan berusaha menahannya. Dia-lah yang memutuskan untuk ikut Bibi Kim menjenguk di Rumah Sakit. Dia sendiri yang memaksa Bibi Kim untuk menunggunya dan berangkat bersama ke Rumah Sakit.

Luhan terlalu sibuk menahan nafas demi mencegah aroma khas Rumah Sakit memasuki indera penciumannya, hingga tidak sadar langkah bibi Kim berhenti di depan sebuah pintu. Papan kecil diletakkan di samping pintu, menunjukkan sebuah nama yang asing bagi Luhan. Dia belum pernah mendengar nama itu dari bibi Kim.

"Ayo masuk."

Bibi Kim menggeser pintu dan masuk terlebih dahulu, disusul Luhan yang kemudian menutup rapat kembali pintu itu.

Luhan terdiam beberapa saat. Sampai atensinya tertuju pada sosok wanita yang terbaring di atas ranjang berseprei biru muda. Wanita itu tampak pucat, tirus dan sangat kurus hingga tulang di pergelangan tangannya nyaris nampak. Luhan tidak perlu penjelasan lagi jika wanita itu memang menderita suatu penyakit cukup lama.

"Sepertinya dia sedang tidur.", ujar bibi Kim dengan suara tertahan. Takut mengganggu tidur nyenyak wanita yang terbaring dengan selang infus di punggung tangan kirinya. "Namanya Kim Sihyun. Kami tidak mirip ya? Tentu saja, ayah dan ibu bibi menurunkan kemiripan dengan berbeda porsi.", sambung bibi Kim seraya terkikik. Luhan membalasnya dengan senyuman kecil. Ia paham ucapan bibi Kim hanyalah cara untuk membuatnya tidak terlalu berlarut dalam kesedihan tentang kondisi sang kakak.

"A-annyeong haseyo, bibi Sihyun. Luhan imnida.", sapa Luhan sembari membungkuk hormat. Ia tetap memberi sapaan hormat meski Sihyun tidak melihatnya.

Bibi Kim menggelengkan kepalanya beberapa kali. Sungguh, dia kagum dengan kesopanan yang Luhan miliki. Kau berhasil mendidiknya dengan sangat baik, Hana-ya.

"Luhan-ah, lebih baik kau duduk di sofa. Bibi akan pergi meminjam baskom dulu."

"Apa kuambilkan saja?"

"Tidak, tidak. Biar bibi saja. Kau pasti masih lelah sepulang kuliah. Sebentar ya?"

"Baik, Bi." Luhan menurut saja, toh ia juga tidak tahu dimana harus meminjam baskom, sedangkan bibi Kim sudah berulang kali melakukannya.

Luhan lalu duduk di salah satu sofa saat bibi Kim sudah pergi dan meletakkan bunganya di atas meja kaca. Ia mengedarkan pandangan di sekitarnya sekilas, mengagumi ruang VVIP yang sangat luas itu. Berbagai fasilitas tersedia dengan lengkap. Sebuah TV LED, lemari es kecil, AC, kamar mandi di ujung ruangan dan satu set sofa mewah yang Luhan duduki saat ini. Ruangan itu juga tidak beraroma obat sedikitpun, digantikan oleh aroma mawar yang disemprot secara otomatis di sudut ruangan. Tapi sayangnya ruangan ini adalah ruang rawat. Membuat segala fasilitas dan kenyamanan itu terasa tidak berfungsi secara optimal, menurut Luhan. Bagaimana mungkin ada orang normal yang berharap tinggal lama di ruangan ini bersama cairan infus dan obat-obatan pahit meski dengan fasilitas sebagus apapun. Senyaman apapun, ini tetaplah Rumah Sakit.

Luhan tersentak oleh suara pergerakan seseorang. Kepalanya menoleh ke sumber suara, menemukan seseorang yang terbaring lemas di atas ranjang tengah menatap kepadanya. Tanpa ragu Luhan menghampirinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 15, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TWENTY ONE [HUNHAN VER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang