Hai, Xiao Lu!

258 28 7
                                    

Luhan sudah berteman dengan kebosanan selama lima tahun terakhir. Ia bersahabat dekat dengan masa lalu dan menyimpannya dalam kotak kenangan yang ia tutup rapat dengan susah payah. Tapi... kenapa dia –si sialan dari lima tahun lalu- harus datang? Haruskah Luhan membuka kotak kenangannya lagi?

TWENTY ONE

-Chapter 3 (Hai, Xiao Lu)-

...

Jangan lupa VOMENT, guys.

...

Hari senin yang terik Luhan lewati dengan ditemani Air conditioner dan list lagu western yang mengalir di kabel arphone-nya. Sesekali kepalanya bergerak mengikuti iringan lagu sembari menyesap Iced Americano yang sudah mengembun. Oh, bukan berarti Luhan menelantarkan minuman kesayangannya. Dia sudah menghabiskan dua cup lain selama dua jam ia duduk di sudut cafe.

"Selesai!"

Pilihan 'save' Luhan klik saat satu file Ms. Wordnya terisi oleh untaian kata penuh dusta. Well, Luhan belum pernah mengalami sendiri adegan mengharukan saat dua pemeran utama mengungkapkan perasaan masing-masing. Luhan hanya sekedar membayangkan, lalu membaca contoh fiksi romantis lain di internet, dan menuliskannya seraya ditambah bumbu-bumbu kata mutiara yang sedikit berlebihan.

Apapun lah, selama Luhan tidak kebingungan lebih banyak untuk membuat ending membahagiakan di tulisannya.

Luhan memandang karya tulisnya sekali lagi. Tersenyum begitu puas oleh hasil jerih payah otaknya yang kebetulan sedang dalam mode working. Menyeruput Iced Americano-nya sekali lagi sebelum suara getaran ponsel mengalihkan atensinya.

"Siapa?", gumam Luhan melihat deretan nomor tanpa nama di layar ponselnya.

Tak ingin didera rasa penasaran lebih banyak, ia lantas menggeser tombol hijau. "Halo?"

"Luhan!"

"Siapa?"

"Siapa kau bilang? Cepat jemput aku di bandara sekarang!"

Luhan menatap layar ponselnya sekali lagi. Ia mencoba mengingat pemilik suara itu. Sepertinya dia pernah mendengar meski agak asing.

Tunggu!

"Apa kau Nath?", tanya Luhan hati-hati. Semoga saja ia tidak salah menduga.

"Kau masih bertanya? Cepat jemput aku-"

Ternyata dugaan Luhan tidak salah.

"Tidak mau." Luhan menolak tanpa basa basi. Cuaca panas di luar sedang terik-teriknya dan ia tidak ingin merasakan pening menyiksa, hanya untuk menjemput 'putri-istri-ayah'nya.

"Apa?!"

"Aku tidak mau. Kau bisa naik taksi. Aku akan berbaik hati untuk membayarnya nanti."

"Kau gila? Bukankah ayah menyuruhmu untuk menjemputku?"

"Ayah hanya 'meminta', bukan menyuruh. Lagipula terserahku mau menjemputmu atau tidak. Dan aku juga tidak memiliki kendaraan. Kau puas?"

Luhan mendengar umpatan Nath yang ditujukan untuknya. Dia tidak perduli, toh dirinya sudah berbaik hati memberi saran agar gadis itu naik taksi.

"Aku sendirian. Bagaimana kalau aku tersesat? Kau mau bertanggungjawab?"

"Tidak mungkin tersesat. Cukup sebutkan nama universitas pada supir taksi lalu dia akan mengantarmu sampai tujuan. Kau perlu latihan untuk hidup sendiri di negara lain, sweetie."

TWENTY ONE [HUNHAN VER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang