Flower Road

184 22 6
                                    

Terlepas dari kisah hidupnya yang tergolong tragis, Luhan tetaplah bersyukur. Bersyukur memiliki bibi dan paman Kim, Jaein Oppa, dan Baekhyun, dan ayah. Setidaknya, karena mereka, Luhan tahu jika ia masih memiliki sebuah jalan setapak untuk hidup. Dihiasi oleh bunga bernama perhatian dan kasih sayang.

TWENTY ONE

-Chapter 5 (Flower Road)-

...
Cklek!

Luhan membuka pintu rumahnya, diikuti dengan Nath yang masih merengut di belakang bersama kopernya.

Setelah Nath menemuinya di cafe sembari menampakkan ekspresi kesal, Luhan memang mengantarkan Nath pulang ke rumah menggunakan taksi. Membiarkan Nath yang enggan berhenti mengekspresikan kekesalannya akibat ketidakperdulian Luhan. Pikiran Luhan terlalu banyak hingga tidak ada tempat untuk memperdulikan segala kekesalan Natasya.

"Berhenti mengomel, kepalaku pusing.", tukas Luhan, lantas mendudukkan tubuhnya di atas sofa ruang utama. Sial, kepalanya sungguh pusing, padahal ia tidak terlalu lama berinteraksi dengan sinar matahari. Mungkin karena ia terlalu banyak minum kopi. Tidak menyadari jika dia meminum kopi pahit lebih dari tiga gelas untuk siang ini saja.

"Oh, apa sekarang kau bisa bertindak seenaknya hanya karena tidak ada Mama? Kau salah besar, Xiao Lu!" Nath berkacak pinggang, mengesampingkan rasa lelahnya hanya untuk mengekspresikan kemarahannya. "Kau sangat salah! Karena si tua yang menjadi ayahmu itu tidak akan tahu apapun selama aku disini. Aku akan membalasmu jauh lebih kejam tanpa dia tahu!"

"Bisakah kau diam?!" Luhan berteriak. Terlalu jengah dengan sifat kekanakan Nath yang sudah kelewatan. Memanggil ayah tirinya dengan sebutan 'pak tua'? Apa gadis itu tidak pernah diajari sopan santun?

Apa gadis itu lupa jika 'pak tua' adalah orang yang memberinya makan dan kehidupan?

Luhan bangkit, menghembuskan nafas yang bercampur dengan uap kemarahan ke udara. Tanpa ijin dari sang pemilik, Luhan membawa koper Nath ke lantai atas sembari berpegangan kuat pada tepian tangga. Dia tidak ingin jatuh karena koper Nath yang lumayan berat.

"Apa yang kau lakukan?!" Nath tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti langkah Luhan ke lantai atas.

"Ini kamarmu. Kuncinya ada di dalam. Lakukan apapun yang kau mau, aku tidak akan perduli. Selama kau tidak mencampuri urusanku dan tidak melewati batasanmu, maka kau bebas untuk tinggal disini. Kau puas?", ucap Luhan panjang lebar. Ia membuka pintu sebuah kamar yang telah ia bersihkan hari minggu kemarin. Membawa –dan sedikit mendorong- koper Nath hingga masuk ke kamar yang masih gelap. Luhan belum membuka tirai jendelanya.

Luhan-pun langsung menuju kamarnya yang terletak berhadapan dengan kamar yang akan di tempati Nath –entah sampai kapan-. Namun sebelum pintunya tertutup rapat, Luhan berbalik,

"Oh ya, akulah yang seharusnya berkata padamu agar tidak bertindak seenaknya. Ini rumahku, dan kau hanya tamu disini. Ah, tidak hanya tamu disini, tetapi juga di kehidupan keluarga kami. Selamat siang."

Pintu tertutup.

"Kurang ajar!"

-meninggalkan Nath bersama kepalan erat di tangan kanan dan kirinya.

'Kau akan tahu akibatnya, Xiao Lu. Kau fikir aku tanpa tujuan datang kemari?'

...

Satu minggu kemudian...

Tebakan Luhan satu minggu lalu ternyata benar. Semua nyaris berubah total di dalam rumah dua lantai itu.

Kesunyian tidak lagi menjadi teman Luhan di sana. Lantunan musik lebih banyak terdengar dengan keras, membuyarkan semua konsentrasi Luhan yang mengerjakan tugas di depan layar Macbooknya. Ataupun suara nyanyian yang -demi Tuhan- terdengar sangat kacau.
Nyaris setiap malam.

TWENTY ONE [HUNHAN VER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang