28-07-2015
"Nama saya Raffael Aldian Putra, Pak."
Bersamaan dengan itu, suara tepukan terdengar begitu meriah. Aku tersenyum dengan perasaan bangga atas jawaban yang memuaskan.
"Baiklah, terimakasih. Silakan kembali ke tempat duduk," katanya dengan wajah yang tampak puas karena telah mendengar namaku.
Setelah itu, aku kembali ke tempat dudukku. Baru beberapa langkah, semua siswi melihatku dengan wajah terpana diiringi tepukan meriah. Senyumku kembali mengembang. Kali ini bukan karena perasaan bangga, tapi karena aku tidak ingin terlihat sombong di depan mereka. Hampir semua siswi membalas senyumku, ada juga yang wajahnya terlihat malu.
Haha lucu sekali... padahal dulu aku sering dijadiin bahan bully sama cewek.
Jalan menuju ke tempat duduk terasa begitu jauh. Mungkin karena aku terbawa dengan perasaan "senang" ini. Sekilas aku melihat seorang siswi, hanya menatapnya beberapa detik lebih lama dibandingkan lainnya. Dia menatapku kembali dengan mata yang sama seperti saat aku menjadi bahan bully di SMP. Terlihat dingin dan aura yang dipancarkan darinya tampak seperti... dia tidak menyukaiku. Cepat-cepat aku alihkan pandanganku darinya.
Ugh... aneh. Kenapa harus liat aku kayak gitu?
Setelah melihat siswi tadi, aku merasa seperti "dihantam" oleh perasaan malu. Padahal dia terlihat lumayan cantik.
"Bro, gimana tadi kok kamu bisa lancar jawabnya?"
Baru saja sampai ditempat duduk, Raza mulai membuka mulut.
"Halah tinggal jawab aja kan? Perasaan ya cuma suruh njelasin kita habis ngapain aja."
"Aku kan tadi ga kedengeran dibelakangmu, tapi baguslah tadi kamu udah maju," wajahnya terlihat seolah dia kurang senang dengan jawabanku.
"Iyalah, buatku hal kayak gitu mah gampang. Asal berani aja maju ke depannya," menjawab dengan senyum.
"Sombong ah, udah, males aku dengernya," Raza menunjukkan wajah jijik.
Haha... salah sendiri tadi ga mau maju. Duduk kok milih dibelakang.
Tatapanku kembali ke arah depan. Memperhatikan kepala sekolah yang melanjutkan penjelasan. Agak membosankan, tapi aku tetap mencoba fokus dengan topik pembahasan. Di akhir penjelasan, kepala sekolah menyerahkan mic kepada kepala kesiswaan.
Beberapa saat kemudian, kepala kesiswaan mengulang penjelasan lalu memberikan pertanyaan yang sedikit berbeda dari konteks pembahasan. Mungkin mencoba untuk mencairkan suasana kaku diruangan ini.
Seorang siswi yang kulihat membelakangiku, menunjukkan jari. Rambutnya hitam panjang. Seperti siswi yang aku lihat tadi.
Tunggu dulu... Kayaknya emang ini cewek yang tadi.
Siswi itu berjalan menuju ke arah depan secara perlahan. Dia mengambil mic yang diberikan oleh kepala kesiswaan. Matanya menatap ke arah audience dengan tajam. Tangannya menggenggam mic seolah-olah ia akan bernyanyi. Wajahnya tampak sangat kaku, tidak tersenyum, dingin tanpa ekspresi.
Ini cewek mukanya serius banget ya?
Tepukan tangan kembali terdengar, tetapi siswi tersebut tak mudah mengubah ekspresinya yang tampak kaku. Ia segera kembali setelah menjawab pertanyaan yang diberikan. Langkah kakinya cepat tetapi tampak anggun.
Namanya? Siapa dia? Ah... Emang aku harus peduli?
Mungkin karena tidak terlalu memperhatikan, aku tidak ingat kalau siswi tersebut sudah menyebutkan namanya. Lagipula aku tidak terlalu peduli. Untuk apa aku mengetahui nama seorang siswi yang sepertinya tidak menyukaiku sejak awal? Tidak penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blooming Sparks
Teen Fiction"Aku belum pernah bertemu manusia seaneh dia. Selalu saja berganti-ganti emosi setiap hari, sama sekali tidak konsisten. Kamu adalah manusia pertama yang paling tak bisa kumengerti. Aku tidak ingin mendekatinya." -Raff "Belum pernah aku melihat sese...