"Ini hukumnya apa?" Hisyam menunjuk ke whiteboard dengan tatapan tajam, memeriksa para murid yang baru bergabung. Di antara mereka, ada seorang pria paruh baya yang tampaknya tidak terlalu muda. Namun, Hisyam tidak ingin meremehkan siapa pun. Bukankah dalam hadis disebutkan: "Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan." (HR. Ibnu Abdil Barr).Badrun mengetuk-ngetuk kepalanya, berpikir keras tentang hukum tajwid yang ada di depan matanya. Meskipun ia sudah hafal huruf hijaiyah, hukum tajwid tetap menjadi misteri baginya. Ia hanya paham mengenai hukum yang lebih nyata: hukum penjara.
"Hei! Ayo jawab! Kenapa kalian diam saja?" Badrun berteriak, merasa frustasi karena teman-temannya tampaknya kebingungan, sama sepertinya.
"Hukum apa itu, ustadz?" tanya Yadi, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Bukankah saya yang bertanya?" Hisyam tersenyum, dengan sabar menempelkan ujung penggaris ke whiteboard, memperlihatkan tulisan yang masih belum dibaca oleh mereka. Ia sengaja menunggu mereka berpikir lebih lama, berharap mereka bisa mencari jawabannya sendiri.
Yadi terkekeh. "Saya nggak tahu, ustadz. Kalau anak saya mungkin tahu, dia sering belajar ngaji sama ustadz Umar. Meski bapaknya preman, nggak mau sampai anaknya buta agama."
Hisyam menganggukkan kepala. Ya, benar. Seburuk apapun orang tua, mereka pasti tidak ingin anak-anak mereka terjerumus dalam kesalahan yang sama. Itu adalah pelajaran hidup yang tak bisa diabaikan. Shakila, yang duduk di belakang, termenung. Ia memikirkan kata-kata Yadi. Ada rasa penyesalan dalam dirinya. Ia dulu melawan ayahnya, tetapi sekarang merasa terjepit dalam cengkraman kebebasan yang sangat terbatas. Apa itu adil?
"Kamu yang di belakang, tahu tidak?" Ucapan Hisyam membuyarkan lamunan Shakila. Ia beralih, menatap Adi yang justru asyik memainkan poni rambutnya.
"A-aku, ustadz?" Adi bertanya, suaranya gugup. Hisyam mengangguk dan menunjuk penggaris ke arah tulisan di whiteboard.
"Saya tahu, ustadz!" Adi seru, dengan penuh semangat.
Semua mata menoleh ke arah Adi, tak percaya jika dia akan memberikan jawaban yang benar. Shakila tersenyum tipis. Mereka semua sekarang tengah belajar tentang hukum tajwid. Sebetulnya, Shakila yang memaksa mereka belajar, walaupun cara itu terasa agak kasar. Ia tak peduli. Ia hanya ingin mereka berubah. Meskipun dirinya sendiri membutuhkan bantuan untuk berubah. Mengajari orang lebih mudah daripada menjalankannya sendiri.
Mata Hisyam berbinar-binar. "Bagus! Ayo, sebutkan hukumnya?"
"Iklab… yah, iklab kalau tidak salah, ustadz!" Adi menjawab penuh keyakinan.
Hisyam terdiam, lalu tertawa kecil. Ia bukan menertawakan Adi karena salah menjawab, tetapi melihat ekspresi Adi yang terlihat lucu.
"Maaf sekali, itu salah. Emm... siapa namamu?" tanya Hisyam dengan tersenyum.
"Adi..." jawabnya lesu. Wajah Adi tampak kecewa, merasa gagal menjawab dengan benar. Padahal, anaknya saja sudah mengerti hukum tajwid sejak usia dua belas tahun. Sebagai seorang ayah, ia merasa gagal menjadi imam yang baik bagi keluarganya.
"Kami tak bisa, ustadz..." keluh Yadi, menyerah.
Hisyam menganggukkan kepala. Ia menatap whiteboard lagi, "Jika begitu, saya akan menjelaskannya. Lagi, ini hukumnya idzhar!"
"Idzhar?" Yadi bertanya dengan ragu, mencoba mengingat kembali apa yang diajarkan.
"Idzhar itu artinya jelas," Hisyam tersenyum. "Nun sukun atau tanwin bertemu dengan salah satu huruf halqi. Hukum bacaannya jadi jelas atau tegas."
Hisyam mulai menulis diagram di whiteboard, menjelaskan secara rinci. "Ada enam huruf yang termasuk dalam kategori ini, dan tempat bacaannya terbagi tiga."

KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKILA (Revisi)
SpiritualitéDijodohkan dan harus menikah? Bagaimana bisa gadis tomboy sepertiku menikah! Apalagi harus mengurus bayi, menggendong saja aku tidak pernah. "Apa yang harus kulakukan?" Silakan baca ceritanya,komentar dan saran akan sangat membantu. apalagi, kalau...