2. Bayangan

11 2 4
                                    

Bianca tidak mau repot-repot menuruti ucapan Ariana atau sering dia panggil dengan panggilan sayang 'Aria' itu untuk memakai lensa kontak amber untuk menyamakan warna mata mereka. Toh orang-orang sudah tau perbedaan yang ketara antara dirinya dan Ariana.

Ariana lebih cantik dan modis serta fasionable dibandingkan dirinya. Dia lebih suka memakai sepatu sneakers, celana jeans dan hem atau kaus. Sangat berbeda dengan Ariana yang selalu tampil feminim dan pintar berias.

Memang mereka berdua kembar. Tapi kenyataan bahwa ariana lebih pintar berdandan dan memiliki aura yang terpancar terang itu membuat Bianca lebih memilih diam ditempat daripada harus berusaha extra keras untuk mengejar kakaknya.

Kaki berbalut sneakers abu-abu itu telah mendekati mobil Ariana yang terparkir dibawah pohon depan gedung serbaguna kampus.

Mata Bianca sukses memantulkan sosok laki-laki bertubuh tegap dan berambut coklat, dia adalah Gavin.

Gavin menolehkan kepalanya ke arah Bianca yang masih membeku. Netra berwarna hazel dan biru itu bertemu kembali setelah hampir 3 bulan saling menghindar.. lebih tepatnya Bianca yang memilih menghindar.

Sosok Gavin sekarang sudah berbeda. Dia yang dulu selalu ada untuknya dan membuatnya menaruh perasaan khusus lebih dari sekedar sahabat itu telah berubah menjadi dingin pada seorang Bianca Ivergard setelah dia terang-terangan mendekati Ariana Ivergard. Sosok laki-laki itu telah berubah dimata Bianca. Dia bukan lagi knight in shinning armor setelah tau bahwa dia hanya memanfaatkan Bianca untuk dekat dengan Ariana.

"Hai, aku sudah lama menunggumu." Sapanya kemudian mendekat kearah Bianca yang masih membeku dengan tatapan syock.

Mentalnya belum siap.

Dia belum siap bertegur sapa lagi dengan Gavin setelah laki-laki itu memutuskan untuk mengejar Ariana dan memutuskan hubungan persahabatan dengannya.

"Aria?" dia melambaikan tangan kanannya didepan wajah Bianca untuk membuat Bianca kembali dari alam bawah sadarnya.

Dengan cepat gadis putri kedua keluarga Ivergard itu menggeleng kuat untuk mengusir segala angan dan khayalannya tentang Gavin dan dirinya.

"Aku bukan Ariana."

Gavin tertawa. Tawa itu, Bianca sangat merindukannya. Moment saat mereka tertawa bersama seperti dulu.

"Jangan bercanda, Aria. Mana mungkin Bianca berani berdiri didepanku lagi setelah aku menolaknya mentah-mentah dan bersumpah tidak akan muncul lagi dihadapanku?"

Bagai dipukul menggunakan batu besar, Bianca kini mendadak lemas dan ingin menangis. Tapi kekuatan hatinya tidak membiarkan air mata itu keluar satu tetespun dari matanya.

"Wow.. kau benar-benar Gavin Enderson yang tidak kukenal lagi." ucap Bianca dengan sedikit nada sinis di suaranya.

Gavin nampak terkejut mendengar hal itu keluar dari bibir gadis didepannya.

Mata beriris Hazel itu menatap ke kelereng berhias warna biru saphire itu dengan tatapan tajam namun tersirat penuh luka.

"Mungkin kau bahkan sudah lupa padaku. Kau bahkan tidak bisa membedakan aku dan Ariana lagi. Kau tau kalau Ariana bahkan lebih menakjubkan daripada aku dan tentu saja jauh lebih pantas bersamamu.." lanjut Bianca dengan nada rendah.

Gavin terlihat kelabakan dan bingung harus berkata apa lagi. Awalnya dia pikir itu Ariana yang menyamar dengan Style adiknya dan menggunakan kontak lensa berwarna hazel agar tidak ketahuan kalau dia adalah Ariana Aphrodite Ivergard. Tapi semua hipotesisnya ditolak mentah-mentah saat mendengar apa yang gadis itu ucapkan.

"B-Bianca, aku tidak bermaksud,"

Binca menggelengkan kepala sembari menunduk. Dia melangkahkan kakinya dan langsung masuk ke mobil sebelum air mata yang daritadi dia tahan lolos dan membuatnya tampak lemah.

"Bianca! Aku bisa jelaskan, aku tidak bermaksud mengucapkan itu. Aku bercanda!" tuli, Bianca sengaja menulikan telinganya, dia sudah terlanjur sakit hati.

Bianca menginjak gas mobilnya, dengan cepat dia meninggalkan area Fakultas ekonomi Rainfall University dan memacu kendaraan beroda empat itu menuju ke rumahnya.

........

Bianca masuk ke rumahnya, tempat dimana dia dibesarkan bersama Ariana. Rumah berarsitektur Eropa modern dan bercat kuning gading itu membuatnya nyaman kalau saja sedang tidak ada orangtua ayahnya berkunjung kesana.

"Selamat datang, my lovely sister." sambut Ariana dengan riang dari ruang tengah saat Bianca hendak melewati ruangan itu.

Ariana sedang bersama kedua orangtua mereka. Areon dan Stefany Ivergard, sang ibu tampak tersenyum penuh kasih saat melihat putri keduanya pulang, namun tidak dengan ayahnya, dia cenderung cuek dan tidak mempermasalahkan kehadiran atau absennya Bianca selama Ariana ada bersamanya. Tapi sisi baiknya, dia tidak pernah bersikap dingin pada Bianca dan itu dia syukuri. Sedikit dianggap sebagai pemeran cadangan Ariana tidak pernah membuatnya mengeluh, dia sudah sadar diri.

"Kau sudah makan siang, Bian?" tanya Stefany lembut. Bianca hanya membalas dengan anggukan.

"Sudah, tadi aku makan bersama Lacey dan Seika. Oiya, Aria!" Bianca melemparkan kunci mobil Ariana dan ditangkap dengan sigap olehnya.

"Kau pakai mobil Aria lagi?" tanya ayah mereka berdua. Areon Ivergard.

"Ya, Aria tadi merengek padaku agar dia membawa pulang motorku dan menyuruhku naik mobilnya." jawab Bianca dan dibalas dengan cengiran Ariana ketika mendengarnya. Areon mengangguk tanda paham.

"Besok jangan pergi ke kampus menggunakan baju seperti itu, nak. Itu tidak pantas!" ucapan Areon membuat Bianca menghembuskan nafas berat.

Salah satu alasan ayahnya lebih mementingkan Ariana adalah karena Aria putri kebanggaan dan putri impian ayahnya. Cantik, pintar berdandan dan modis.. jangan lupakan Feminim, berbanding dengannya. Mau bagaimana lagi? Bianca tidak pernah cocok dengan style­ yang ayahnya inginkan.

"Kita sudah pernah bahas ini, ayah," ucap Bianca lirih.

Bibir tipis ayahnya tidak menunjukkan kurva lengkung seperti tadi. Datar.

"Apakah kau tidak bisa seperti kakakmu? Dia adalah contoh dari putri Ivergard sesungguhnya. Contoh dia, Bianca!"

Lagi-lagi Bianca terpojok. Benar-benar susah ya hidupnya dibanding kembarannya itu.

"Sudahlah ayah! Bianca merasa nyaman dengan gaya-nya dan aku juga tidak masalah dengan itu. Ayah saja yang terlalu memaksa Bian!" gerutu Ariana. Ya, Aria memang selalu membela Bian.

"Baiklah.." desah Areon kasar lalu menatap kembali Bianca. "Nanti malam, ke ruangan ayah, ada yang harus kita berdua bicarakan, Bian," ucap Areon. Gadis bungsu itu mengangguk lalu pamit untuk pergi ke kamarnya.

3-

karena saya cuma publish ulang dari cerita yang dulu saya hapus, maka sampai chapter 7 akan cepat updatenya. :)

Thanks for your attention!

Main CharacterWhere stories live. Discover now