Seorang Kakek yang Mengidamkan Kematian

325 58 80
                                    


"Aku ingin mati sekali lagi! Aku ingin mati sekali lagi!" Teriak Pak Zakaria saat sedang menceramahi ratusan anak buahnya di gua sempit yang juga dingin. Para anak buahnya pun kian ramai membalas semangat dari Pak Zakaria.

Terdengar dari belakang, tepat sekali saat riuh-riuh mulai mereda, seseorang kembali berteriak "Mati Pak Zakaria! Mati Pak Zakaria!" kontan membuat kawan-kawannya mengikuti teriakannya.

"Mati Pak Zakaria!

"Hore!! Mati Pak Zakaria!"

Di saat yang sama sekelompok anak muda silih berganti meminum alkohol dengan segala kegaduhannya. Merayakan umur 421 tahun umur Pak Zakaria yang terus-menerus gagal mati. Mereka akhirnya senang ada harapan baru bagi manusia-manusia yang ada di sini. Bagi mereka kematian adalah cita-cita sedari dulu. Karena tempat ini semakin lama semakin sempit. Harus ada yang berakhir atau mati cepat atau lambat.

Sedang Bu Ida saat ini sedang muntah-muntah. Melihat tingkah laku suaminya. Entah ekspresi kebahagiaan atau kesedihan. Di satu sisi dia bahagia suaminya akan cepat pergi. Di sisi lain dia memikirkan cara yang memungkinkan yang bisa membuatnya mati. Terlebih karena matinya harus masuk surga. Bagaimana bisa?

Di antara semua kebisingan itu terdapat seorang gadis yang sedang  mengemut permen karet yang sepertinya sudah hampir setengah hari dia memeliharanya di dalam mulut. Di atas kepalanya menggelembung sebuah pemikiran yang rumit. Apa yang dipikirkan mereka yang sudah tua itu? Hidupnya hanya ingin mati? Seharusnya mereka tahu konsekuensinya sebuah perjanjian yang mereka katakan pada penghuni langit ratusan tahun silam. Bahwa tidak ada yang dapat menjanjikan kebahagiaan meskipun mereka hidup abadi sekalipun.

Dulu sekali, terdapat pertemuan antar kelompok. Desa ini adalah desa ke sepuluh dari dua belas desa yang setuju tentang "Perjanjian Keabadian". Ya , kamu harus tahu satu hal bahwa ada sebuah perjanjian yang sakral dengan melibatkan penduduk manusia dan penduduk langit. Mereka menyebutnya "Perjanjian Keabadian".

"Haha, memikirkan apa kamu anak kecil? Apa harus aku ajari untuk membuang permen karet setidaknya setelah rasanya menjadi pahit?" Baron mengganggu Lily yang sedang nikmatnya melamun.

"Ganggu saja. Om Baron. Urus saja istrimu itu. Dia tadi tertawa terbahak-bahak bersama seorang pria lain. Jangan sampai dia direbut orang lain ya."

"Hah? Siti?"

"Oh bukannya Rahmah?"

"Enak saja. Itu sudah lama. Heh lagi pula mereka bukan istriku. Apalagi Siti. Dia baru 3 bulan denganku. Dan aku ingatkan padamu! Kita itu beda 3 tahun! Jangan panggil aku Om!"

"Iya juga. Tapi bukan itu masalahnya. Siti atau Rahmah itu usianya 35 tahun lebih tua darimu. Jadi apa bedanya? Kamu tidak sadar baru memacari ibu-ibu? Lalu apa panggilannya bagi seorang lelaki yang mempunyai pacar janda dua anak. Aku panggil "Kakak"? Memangnya admin toko online?"

"Hey jangan konyol itu kan karena tugasku dekat dengan orang-orang tua, maka dari itu tidak jarang aku tertarik pada mereka. Ya mau bagaimana lagi. Aku jarang bepergian bersama dengan anak-anak di bawah umur. Mereka tidak punya harta. Aku lebih baik mencari yang lebih mapan. Hidupku bisa jadi lebih bahagia. Heh... Anak kecil sepertimu belum pantas mendengarkan kegetiran hidupku!"

"Berisik aku sudah sering mendengar ceritamu itu. Semuanya. Sayangnya tidak ada yang berbobot."

Dipikir-pikir kasihan juga melihat Baron dengan kehidupannya itu. Dituntut menjaga orang tua yang sudah tidak lagi berguna namun tetap terus bernafas. Padahal cita-cita penduduk sini hanya ingin mati dan masuk surga. Seharusnya hidup itu mudah. Hanya menjalaninya saja. Namun kenapa hanya penduduk di tempat ini yang tidak boleh mati. Tetap abadi. Mengapa harus menyaksikan pemandangan yang mengerikan ini? Semua sudah sekarat tapi tetap saja bernafas. Bahkan setiap doa yang mengalir di angkasa salah satu kata yang sering terdengar bahwa "semoga kematian selalu menyertaiku".

TerbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang