Penyesalan, Sebuah Kisah tentang Manusia Abadi

88 15 7
                                    

"Aku sudah tahu kalian atau siapa pun pasti akan datang menemuiku suatu saat nanti dengan tergesa dan merengek-rengek. Aku tahu itu. Kalian pasti datang juga bukan untuk meminta pertolongan, bukan? Kalian hanya akan bertanya padaku sebuah kejujuran? Tak perlu sungkan. Aku tahu segalanya. Masyarakat mengagumiku. Masyarakat juga sudah tahu tentang kemampuanku. Itu sudah jelas. Coba lihat pengalaman yang kemarin itu. Kalau saja aku tidak peringatkan mungkin akan terjadi musibah," jelas Pak Ahmad, seperti biasa dengan keangkuhannya.

"Terlambat, kau memberitahu kami dengan sangat terlambat. Kami sudah tahu yang di balik ujung langit itu sebelum Pak Ahmad teriak untuk tidak masuk ke lubang itu," ucap David sambil membersihkan pakaiannya yang kotor akibat diringkus ajudan Pak Ahmad.

"Oh itu juga sudah tahu. Aku memikirkan dengan sangat matang. Sampai saat itu akan terjadi. Karena kalau itu tidak terjadi, kalian juga tidak akan datang ke sini bukan?" Lagi-lagi dengan tingkah sok tahunya.

"Meskipun Pak Ahmad sudah tahu yang akan terjadi dan sudah tahu maksud kedatangan kami, akan kami perjelas lagi. Apa yang sebenarnya terjadi ratusan tahun yang lalu? Saat semuanya belum terjadi, saat semuanya masih belum abadi, dan saat semuanya masih manusia yang normal. Manusia yang merasakan rasa sakit dan mendengarkan kematian seseorang. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Lily.

"Tenang saja. Jangan khawatir. Kalian tidak perlu terburu-buru. Bagaimana bisa aku menjawab pertanyaan yang ditanyakan dengan sambil menantang begitu?" Pak Ahmad menjawab sambil tersenyum sedikit. Namun Lily, David dan Eri memandang dengan tatapan yang serius. Tidak berkedip sedikit pun. Masih menunggu jawaban dari Pak Ahmad. Senyum Pak Ahmad pun menghilang dengan cepat. "Mau berbincang-bincang di halaman sambil minum kopi?" lanjut Pak Ahmad.

Sementara itu di tempat lain, Ben dan Samuel justru melakukan tugas yang lebih sulit dibanding David, Lily, dan Eri. Mereka sudah memulai aksinya. Saat semua orang sudah tertidur. "Apa kita berada pada jalan yang benar, Ben?" tanya Samuel. Mereka mempersiapkan segala sesuatunya dengan cermat. Apalagi Samuel, meskipun dalam segala pekerjaannya berantakan tapi kali ini, rasa takutnya membuat segala tindakannya sangat rapi. 

"Jangan khawatir, kamu ingat? Kita ini bertindak sesuai dengan hati kita. Tidak ada pemimpin, tidak ada bawahan. Kita sepakat untuk menjalankan sesuai dengan perasaan dan pemikiran kita. Lakukan apa yang kita bisa lakukan. Dengan cara apapun," jawab Ben.

"Maksudmu, dengan cara yang paling baik?"

"Saat ini anggap saja dengan cara apapun. Karena situasinya sangat genting."

"Aku tahu ini sangat genting." Samuel gemetar.

"iya sangat genting." Ben ikut berkeringat dingin.

"Tentu sangat genting sekali." Semakin gemetar.

"Sangat-sangat genting sekali." Semakin mengucur keringatnya.

"Sekali-sekali sangat genting."

"Sekali-se....?"

"Apa ini benar-benar pekerjaan mulia, Ben? Menculik Pak Zakaria? Sial, kenapa aku harus berada pada posisi seperti ini."

"Kenapa baru sadar sekarang?" Ben bingung. 

"Semoga masyarakat desa mengampuniku."

"Ternyata kamu punya hati juga. Kita tidak punya pilihan lain. Kita tidak bisa berbicara baik-baik sebelum acara bunuh diri Pak Zakaria di mulai. Mereka menutup semua jalan, mempersiapkan perjagaan yang ketat, dan menyiapkan kamera-kamera tersembunyi bila terjadi sesuatu yang sangat fatal. Apa situasi itu adalah situasi yang tepat untuk mengajak Pak Zakaria berdiskusi sambil duduk-duduk di sofa?"

"Sial. Ternyata ini lebih mengerikan daripada harus bertempur di medan perang."

"Ayo kita selesaikan apa yang sudah kita mulai." Ben sudah selesai menyiapkan peralatannya. Ben siap untuk menculik Pak Zakaria.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 06, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TerbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang