4. Meet Again

32.1K 2.2K 165
                                    

Jangan berani menyatakan jika belum siap menghalalkan.

🍃🍃🍃

Aku pernah membaca sebuah quotes. Kurang lebih seperti ini;

Kalau ditanya, lebih pilih mana;

Cowok yang puitis, romantis dan sweet abis,

Oppa-oppa korea yang manis, kayak kue brownis, atau

Pemuda beriman yang sering ke Masjid dengan jenggot-jenggot tipis.

Pasti aku dengan semangat akan menjawab; aku lebih pilih pemuda beriman yang sering ke Masjid dengan jenggot-jenggot tipis.

Percuma romantis dan manis tapi jarang ke Masjid. Bukan suami idaman banget. Dan aku berharap, suatu saat Allah akan mengirimkan pria yang selalu shalat berjamaahnya di Masjid. Shalat aja dijaga, apalagi kita nantinya.

Kalau kata ustadz Evie Effendi; gak ke Masjid mah, jangan dipilih jadi suami kita tuh. Berarti dia cowok PHP. Allah aja ditinggalin, apalagi kita.

"Serius amat." Aku tersentak kaget saat Mbak Mona datang ke mejaku dengan membawa dua taro milk tea. Disimpannya satu minuman itu di hadapanku. Refleks aku menutup buku kecil harianku.

"Buat kamu," kata Mbak Mona.

Sekarang aku sedang berada di Kafe Mawar. Sepulang sekolah aku langsung mampir ke sini tanpa ditemani Widi. Katanya, dia ada kepentingan mendadak. Sok sibuk banget dia.

"Ah, makasih. Habis gajihan ya, Mbak? Pake traktir segala," tebakku dan membuat Mbak Mona tertawa kecil.

"Enggak. Aku juga ditraktir sama Bossku."

Aku hanya ber'oh' ria.

"Tumben Widi gak ikut ke sini, Lin."

"Iya. Dia lagi ada kepentingan katanya."

Mbak Mona hanya mengangguk. Kemudian dia sibuk dengan taro milk tea-nya. Aku pun melakukan hal yang sama, aku meminum minuman itu setelah membaca bismillah.

"Eh, Mbak Halin, aku permisi dulu ya. Bossku chat aku, katanya ada pekerjaan di dapur." Mbak Mona bangkit dari duduknya. Kemudian dia berlalu menuju dapur.

Setelah kepergian Mbak Mona, aku membuka buku kecilku lagi. Aku membaca ulang tulisanku tadi. Rasanya pengin tertawa melihat tulisanku itu. UN saja belum selesai, ini sudah mikirin calon suami.

"Assalamualaikum."

Seseorang duduk di kursi yang sempat Mbak Mona tempati tadi. Aku benar-benar syok. Ternyata yang duduk di hadapanku adalah Haikal, pria yang tidak ingin kutemui karena aku masih malu dengan kejadian sore kemarin. Aku sudah menuduhnya bahwa dia yang mengirim buket bunga padaku. Tapi pada kenyataannya, Pak Aldi-lah yang mengirim bunga itu.

Ngomong-ngomong tentang pengirim bunga itu, kemarin aku tanya apa maksud Pak Aldi mengirim bunga itu padaku. Katanya, itu awal perkenalanku dengannya yang tidak boleh ada kata kaku lagi, karena menurutnya, jika aku bertemu dengannya aku suka gugup dan kaku. Aku benar-benar tidak mengerti.

Tadi pagi pun, aku dan Pak Aldi bertemu di gerbang sekolah. Dia mengajakku bicara, tapi aku hanya menjawab dengan singkat dan langsung permisi ke kelas, tidak mau berlama-lama dengannya.

"Wa-waalaikumussalam," jawabku sedikit gugup.

"Maksud kamu tuduh saya yang kirim bunga itu apa? Saya tidak pernah mengirimimu bunga," katanya dengan nada dingin.

Pendamping HidupkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang