15. Khawatir

28.6K 1.7K 73
                                    

Setelah selesai melaksanakan shalat Dzuhur, Haikal berjalan ke luar rumah sakit. Dia akan membeli bakso yang jaraknya tidak jauh dari tempat ia bekerja. Ia terpaksa pergi sendiri, karena hari ini Arif tidak ada jadwal praktek.

Haikal membawa ponselnya di saku celananya saat benda pipih itu bergetar. Ketika ia lihat, ternyata itu sebuah pesan dari istrinya. Haikal yang tadinya hendak melintasi jalan mengurungkan dulu niatnya itu. Dia ingin tahu apa isi pesan dari Halinka.

From : Halinka
Mas sudah makan belum?

Bibir Haikal terangkat ke atas. Walaupun hanya pesan singkat, tapi itu membuat hatinya merasa senang. Dia sangat senang jika Halinka memperhatikannya.

To : Halinka
Ini saya mau beli bakso

Tak sampai 2 menit Halinka sudah membalas lagi pesannya.

From : Halinka
Ya sudah, selamat makan Mas :)

Senyum Haikal semakin mengembang. Dia memasukan kembali ponselnya ke dalam saku. Dia menatap ke arah penjual bakso yang tidak terlalu ramai.

Kaki Haikal melangkah, melintasi jalan untuk segera sampai ke penjual bakso. Tapi baru saja di melangkah beberapa langkah, suara nyaring seorang perempuan terdengar jelas di indra pendengarannya.

"Mas Haikal, awas!"

Haikal merasakan tubuhnya di dorong oleh seseorang hingga ia tersungkur ke pinggir jalan. Saat dia melihat ke belakang matanya membulat. Seorang perempuan yang sangat ia kenal sudah terkapar di tengah jalan dengan darah yang bercucuran di tubuh perempuan itu.

Perempuan itu adalah Tissa.

Tissa mempertaruhkan keselamatannya hanya untuk Haikal. Haikal melihat seorang lelaki yang sudah menabrak Tissa buru-buru menyalakan mesin motornya. Setelah motornya menyala, lelaki itu segera melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Tissa yang tergeletak di jalan tanpa rasa iba sedikitpun.

Haikal berlari ke arah Tissa yang mulai di kerumuni banyak orang.

"Bawa ke rumah sakit! Bawa ke rumah sakit!"

"Yang nabraknya nggak tanggungjawab banget sih."

"Itu kakinya berdarah."

"Cepat bawa ke rumah sakit."

Haikal menerobos masuk untuk bisa melihat keadaan Tissa. Mata perempuan itu masih terbuka setengah. Dia tersenyum saat Haikal sudah terlihat di depan matanya dengan keadaan baik-baik saja.

Dengan perasaan yang masih tak menentu, Haikal segera membopong tubuh Tissa. Dia berlari ke rumah sakit untuk segera memberi penanganan kepada Tissa.

"Mas?" ujar Tissa dengan suara lirihnya.

"Ya?"

"Aku mencintaimu." Setelah mengatakan itu, mata Tissa perlahan terpejam. Kesadaran sudah hilang.

***

Malam ini Mas Haikal telat lagi menjemputku. Dia sama sekali tidak memberiku kabar. Padahal siang tadi aku sempat berkirim pesan dengannya. Jadi, malam ini aku pulang diantarkan oleh Mbak Mona. Daripada aku pulang terlalu malam seperti waktu itu, lebih baik aku pulang bersama Mbak Mona saja.

Sepanjang perjalanan, Mbak Mona  terus menceritakan pengalamannya selama ia bekerja dengan Mas Haikal. Katanya Mas Haikal itu sangat baik kepada bawahannya. Walaupun Mas Haikal dingin, tapi dia sangat memperhatikan bawahannya.

Mbak Mona ini termasuk pelayan yang sudah lama bekerja di kafe Mas Haikal. Jadi, dia sangat tahu bagaimana sikap dan sifatnya Mas Haikal.

"Intinya Pak Haikal itu baik banget, Mbak. Aku masih ingat waktu tiga tahun yang lalu. Saat itu, aku lagi gak punya uang buat bayar kontarakan. Gaji yang dikasih Pak Haikal waktu itu sudah habis dipakai berobat Ibuku. Dan baiknya Pak Haikal dia bantu bayarin kontarakanku selama setengah tahun. Kalau Pak Haikal gak bayarin uang kontrakan, mungkin aku sama Ibuku waktu itu sudah tidur di jalanan."

Pendamping HidupkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang