5. Menjauh

28.9K 1.9K 42
                                    

"Lo pada tahu gak, Pak Aldi minta nomor hp si Halin? Dan si Halinnya juga langsung kasih nomor dia ke Pak Aldi. Gue gak nyangka aja, si Halin kan alim, tapi kenapa dia mau kasih nomornya ke Pak Aldi."

"Pantes aja. Kemarin gue lihat si Halin sama Pak Aldi lagi di Kafe Mawar. Kayaknya mereka janjian di sana deh."

"Gue bener kan, kalau si Halin itu cuma sok alim doang. Pura-pura gak suka pacaran, tapi tetep aja di deketin sama yang ganteng mah gak bisa nolak."

"Munafik jadi cewek."

"Sok cantik lagi. Mendingan kita-kita deh. Walaupun pakaian kita gak sesyar'i dia, tapi kita gak munafik kayak dia. Omongannya gak sesuai dengan kenyataannya. Lihat aja! Ditembak sama Pak Aldi dia juga gak mungkin nolak. Tunggu aja gosip dia pacaran sama Pak Aldi."

Aku benar-benar tak tahan untuk terus mendengar obrolan mereka, lebih tepatnya mereka itu teman sekelasku. Mereka adalah Fiolyn, Gishel dan Cecilia. Selama satu tahun, aku memang jarang bertegur sapa dengan mereka. Tapi aku benar-benar tak menyangka kalau mereka akan berpikiran seperti itu padaku.

Sekarang aku sedang berdiri di depan pintu masuk toilet wanita. Tadinya aku akan buang air kecil. Tapi tidak jadi ketika aku tak sengaja mendengar obrolan mereka. Dan anehnya, sekarang aku malah tak mau pipis.

Aku berlalu dari toilet, dan kembali lagi ke taman. Di sana masih ada Widi yang sedang asyik berbincang dengan Meli—teman sekelasku.

"Halin?" Aku tersentak kaget saat Pak Aldi menepuk pundakku dari belakang.

"Astaghfirullah..."

"Kamu belum pulang?" Ingin rasanya aku menjawab kelihatannya gimana? Tapi tentu saja itu bukan hal yang baik. Aku hanya menjawab seadanya saja.

"Masalah kemarin...."

"Jangan dibahas lagi!" kataku memotong kalimat Pak Aldi yang belum selesai.

"Tapi Halin..."

"Jangan berani menyatakan jika belum siap menghalalkan." Setelah mengucapkan itu, aku segera berlari menjauh dari Pak Aldi. Aku keluar dari area sekolah. Biarlah Widi kelimpungan mencari keberadaanku. Yang aku pikirkan sekarang adalah; aku harus menjauh dari Pak Aldi. Aku tak mau jika orang berpikiran yang tidak-tidak tentangku dan Pak Aldi. Cukup Fiolyn, Gishel dan Cecilia saja.

Kakiku berhenti di sebuah taman. Taman Camelia. Aku duduk di bangku putih yang tak berpenghuni. Ini masih jam 11. Cuaca sudah mulai panas. Untung saja bangku yang sedang ku duduki berada di bawah pohon yang cukup rindang.

Aku membuka tas ranselku. Mataku melebar ketika aku tak menemukan buku harianku di sana. Oh, di mana buku kecil itu? Tunggu! Tadi pagi pun aku merasa buku itu sudah tak ada di dalam ransel. Apa bukunya tertinggal di rumah? Ah, mungkin saja. Akan kucari nanti setelah aku pulang.

Tangaku mengambil ponsel putih di saku rokku. Di sana ada pesan masuk dari Widi. Dia bertanya aku sedang di mana? Katanya dia mencariku sampai ke setiap penjuru sekolah. Lebay memang, tapi aku sangat nyaman bersahabat dengannya. Akhirnya aku membalas pesannya, aku mengatakan bahwa aku sedang berada di taman Camelia.

Sambil menunggu Widi datang, aku memasang headset ke telingaku, memutar sholawat berjudul Qomarun Sidnan Nabi.

Perlahan kupejamkan mata, embusan angin begitu terasa menerpa seluruh tubuhku. Bibir tipisku kadang-kadang ikut melantunkan sholawat yang masih terputar.

"HALIN?!" Refleks aku membuka mata saat suara nyaring Widi terdengar sampai ke gendang telingaku. Padahal telingaku sudah disumpal headset, tapi tetap saja suara sahabatku itu dapat terdengar.

Pendamping HidupkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang