Note : Kisah ini terdapat dalam Buku "MENCINTAIMU KARENA ALLAH" yang untuk versi cetaknya insyaaAllah bias dipesan kalau lagi open PO ya :) enjoy!
.
.
.
Ruh itu seperti tentara. Ada sandi di antara mereka. Jika sandi telah dikenali, tak perlu banyak lagi yang diketahui. Cukup itu saja. Mereka akan bersepakat. Mereka adalah sekawan dan sepihak. Mereka akan bergerak untuk satu tujuan yang diyakini. Jadi apakah yang menjadi sandi di antara para ruh?
Iman.
Tentu saja. Kadar-kadarnya akan menerbitkan gelombang dalam frekuensi yang sama. Jika tak serupa, jika sandinya tak diterima, ia telah berbeda dan sejak awal tak hendak menyatu.
[Dikutip dari Nazhar, Bukan Sekadar Ta'aruf, oleh Salim A. Fillah di webblog pribadinya]
*****
Indi meremas ujung hijabnya yang kini sudah kusut masai. Airmatanya berlinang, hatinya perih. Dia sudah biasa dihina teman sekantornya, sudah biasa mendengar decih prasangka dari mereka. Tapi decihan orang tuanya sungguh tak pernah ia sangka akan semenyiksa itu.
Semalam tadi, Ibunya menyudutkannya hingga yang bisa ia lakukan hanya menangis. Indi ingat betul betapa dia sekuat tenaga menggigit bibirnya yang terus bergetar, menahan luapan kalimat yang siap meluncur, membantah setiap kalimat yang dituturkan sang Ibu.
"Ndi, jadi muslim itu ndak perlu ngoyo. Ndak perlu aneh. Ndak perlu berlebihan. Jadi muslim yang biasa saja tho. Pakai baju ndak perlu seperti itu. Longgar kebesaran. Hijabnya ndak perlu lebar-lebar. Kamu tuh masih gadis. Masih ayu. Jangan setertutup itu. Aneh. Dilihat orang kamu disangka istri teroris tu piye?" tanya sang ibu berapi-api. "Nanti kamu pakai cadar sekalian! Lengkap sudah jadi tampilan teroris!"
"Indi ndak pakai cadar kok, Bu," sahut Indi tertahan. Dia sudah ingin sekali membantah sejak tadi, tapi ia tahan.
"Iya sekarang ndak. Tapi nanti? Pasti kamu pakai! Kamu tuh Ibu izinkan ke Jakarta itu untuk kuliah, Ndi! Belajar yang benar, dapat gelar. Kerja dapat uang. Bukan jadi begini. Penampilan jadi aneh. Pakai hijab lebar, baju persis mbok-mbok, sampai kaki saja dilapis kaos kaki! Walah, Ibu takut akidahmu tergusur, Nduk!"
"Astaghfirullaah," desis Indi spontan. "Ibu kok gitu..."
Gadis itu menangis, tertahan hingga dia sesegukan. Tuduhan sang ibu akan akidahnya yang kemungkinan tergusur hanya karena perihal dirinya yang ingin memperbaiki diri, sungguh terlalu menghujam hatinya.
Sakit.
Perih.
"Bu, tapi dalam Islam kan diajarkan untuk berhijab. Untuk mengulurkan hijab hingga menutupi dada, untuk tidak mengenakan pakaian yang membentuk lekukan tubuh," Indi bersuara.
"Iya, tapi jaman sekarang kan banyak model hijab yang sudah modern. Model begini sudah kuno. Sudah ndak jaman, Ndi! Ya kalau kamu begini, mana ada laki-laki yang mau sama kamu. Lha wong kamunya aja aneh gini. Ibu aja ngga sreg lihatnya."
Indi meneguk ludah mendengar perkataan sang Ibu. Dalam hati gadis itu melafalkan doa yang selalu ia ucapkan untuk sang ibu;
Allahumma yaa mulayyinal quluub, layyin qolba ummina kamaa layyantal hadiidii lii dawuda 'alaihi ssalam... Yaa Allah, lunakkanlah hati ibuku seperti Engkau melunakkan baju besi untuk Nabi Daud 'Alaihis Salam.
Detik selanjutnya, bisa ditebak...
Indi lebih memilih untuk menyingkir dari pembicaraan yang ia duga akan merembet tentang masa depan dan lain-lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] KISAH ROMANTIS
Spiritual[REPUBLISHED] Fiksi-fiksi lama yang pernah dipublikasikan.