اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَاكَمَارَبَّيَانِيْ صَغِيْرَا.
Allaahummaghfirlii wali waalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiira
(Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan Ibu Bapakku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil)...
*****
Suara lembutnya dalam melantunkan doa untuk kedua orang tuanya itu terdengar saat angin sepoi-sepoi menerpa jendela kaca yang masih terbuka separuh, membuat sebagian angin lainnya menelusup masuk ke dalam ruangan yang masih menyala terang. Di sebelah sana, di dekat tempat tidur, di hamparan lembaran karpet tipis, di sebelah lemari kecil yang di dalamnya bertumpukan buku-buku segala rupa, duduklah seorang perempuan dengan tutup kepala kelabu.
Di tangannya tergenggam sebingkai potret keluarganya ketika ia masih remaja dulu. Gambar ini diambil tepat saat pergantian tahun hijriyah, sesaat setelah mereka melakukan serangkaian kegiatan berdoa. Ketika itu, perempuan tersebut masih berusia 18 tahun, masih duduk di bangku SMU tingkat 3. Ketika selaaalu saja ruang tengah menjadi riuh karena semuanya berkumpul untuk melaksanakan shalat berjamaah.
"Kak Fatima, rambutnya masih kelihatan," celotehan Aisyah terdengar lucu ketika bocah berusia 7 tahun itu mengomentari cara kakak perempuannya mengenakan mukena. Fatima, perempuan itu, bergegas membenahi mukenanya.
"Sudah?"
Aisyah mengangguk, "Sudah. Kakak cantik."
"Kalau Kak Nur?" tanya Nuraini yang kemudian menyela, menampakkan wajahnya tepat di depan wajah adiknya.
"Kak Nur jelek, cantikan Ai..." sahut Aisyah sambil memeletkan lidahnya. Nur mencibir lalu mengejar Aisyah yang sudah berlarian menuju sang Ibu.
"Nah kan, bercanda lagi kan..."
Nuraini menggembungkan pipinya ketika sang Ibu datang mendekat pada mereka di ruang tengah, diiringi tawa pelan Fatima yang kemudian asyik berpelukan dengan Aisyah. Tak lama, Sang Ayah keluar dari kamar. Sudah berpeci, berbaju koko,memakai sarung. Berpakaian rapi, hendak menjadi imam di shalat Isya nanti. Aisyah melepas dekapan Fatima, lalu menghambur pada Ayahnya.
"Hayo, siapa yang nakal nih?" tanya Sang Ayah dengan senyum terkembang. Aisyah geleng-geleng kepala, sementara Nur memeluk Ibunya dengan bibir maju-maju. Gadis berusia 16 tahun itu nampak manja sekali.
"Ayah, obatnya sudah diminum kan? Tadi Fatima taruh di dekat lemari di kamar." Fatima merapikan lagi mukenanya dan kemudian beralih pada beberapa lembar sajadah yang sudah tergelar. Tangannya cekatan membersihkan gelaran sajadah-sajadah tersebut.
"Sudah, tadi setelah wudhu," sahut Ayahnya.
"Kok habis wudhu malah minum obat, Ayah? Nanti wudhunya batal loh..." celetuk Aisyah.
Ayah sumringah lagi, "Makan dan minum tidak membatalkan wudhu, Ai... Yang membatalkan wudhu itu... apa hayo? Aisyah bisa jawab ngga?"
"Tidur!" Fatima menyahut.
"Keluar sesuatu dari lubang di tubuh kan, Ayah..." sambar Nur cepat. Gadis itu sudah di bersimpuh di atas sajadah, di sebelah Fatima sekarang.
"Betul,"
"Kentut gitu ya, Ayah?"
"Betul juga,"
"Gimana kalau sudah wudhu lalu kentut tapi malas wudhu lagi, Ayah? Ai malas buka hijabnya, narik tangan panjangnya, ribet."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] KISAH ROMANTIS
Espiritual[REPUBLISHED] Fiksi-fiksi lama yang pernah dipublikasikan.