/7/ Oliver

384 33 0
                                    

KOTA London yang hiruk pikuk, masih sama seperti biasanya ketika aku melangkah terburu-buru menuju halte. Matahari sudah meninggi dan sudah bisa dipastikan, aku pasti kesiangan. Beberapa taksi tidak berhenti saat aku mencoba menghentikan mereka.

HEI AKU PUNYA UANG !

Astaga, aku harus bagaimana untuk bisa sampai di kantor dalam waktu sepuluh menit?! Hari ini ada meeting dengan staf pemasaran. Mrs. Thompson pasti menggerutu jika ada karyawannya yang terlambat. Ugh, menyebal—

"COPET!"

Itu tadi suaraku. Tuhan, apa-apaan sih... aku kan sedang terburu-buru, kenapa aku harus mengalami pencopetan begini juga?!

Aku berlari dengan sepatu berhak tinggi. Bodoh, aku tahu. Sepatu ini membuatku tampak cantik dan anggun, tapi menyusahkan di saat-saat begini.

Pencopetnya lari—tentu saja dia lari—dengan tas putih kesayanganku. Arg, mengesalkan.

"COPET! ANYBODY, PLEASE, HELP!"

Rasanya aku lelah mengejar. Pencopet itu masih kelihatan, tapi kemudian tubuhnya tiba-tiba tersungkur ketika seorang pria membentangkan tangannya, menghalangi lari pencopet itu. Si pencopet terguling dan si pria meraih tasku yang tercecer tidak jauh dari tempat jatuh si pencopet itu. Ah, syukurlah...

Kulihat pria itu merogoh saku kemejanya, lalu melempar sesuatu dan kemudian pencopet itu berlari menjauh. Aku mengernyit. Dan terus mengernyit hingga pria itu mendekat.

"Ini tasmu, Nona?"

"Benar," sahutku sambil meraih tasku (lebih tepat merampas karena aku merebutnya dengan agak kasar dari tangan pria itu), "terima kasih."

"Tidak perlu berterima kasih, sudah kewajibanku."

Aku memperhatikan pria itu dari atas hingga bawah. Dia baru akan berbalik dan meneruskan perjalanannya ketika tiba-tiba aku mendesis.

"Apa kau merencanakan ini semua?"

"Sorry?"

Aku menghela napas pendek, "Kau pasti tahu maksudku, Tuan. Mungkin saja kan, kau merencanakan ini semua. Menyuruh orang tadi untuk mencopet tasku, lalu kau berlagak pahlawan hanya untuk berkenalan denganku. Buktinya tadi kau melempar sesuatu ke pencopet itu kan. Pasti kau memberikannya bayaran. Makanya dia langsung pergi."

Sekarang pria itu yang mengernyit.

"Aku menghentikan kejahatan, lalu sekarang aku yang dituduh sebagai penjahat? Begitu?" tanyanya tak percaya. Aku mencibir.

"Ini kota London, Bung. Apa saja bisa terjadi!"

"Seperti seorang wanita yang tadi berteriak minta tolong, kemudian malah menuding penolongnya sebagai tersangka?" Ih kurang ajar sekali! "Aku baru tahu Kota London sedemikian, Nona."

"Tidak akan ada maling yang mau mengaku, Tuan!"

"Begini, Nona," katanya, "sebenarnya aku tidak perlu meluruskan apa pun padamu, karena aku hanyalah orang lewat dan tidak ada hubungan apa pun denganmu. Tadi, aku melempar sejumlah uang ke pencopet itu, karena aku tahu, dia mencopet pasti karena punya alasan. Dan alasannya pasti karena dia butuh uang, sebab wajahnya kelihatan dia sedang kelaparan. Dan aku memberikan sedikit uangku—"

"Kau memberi uang kepada pelaku kejahatan? Memang mau kau sebut apa dirimu? Pahlawan?"

Aku sengaja menyela kata-katanya. Sombong sekali sih. Apa dia mau menunjukkan padaku bahwa dia punya banyak uang? Aku juga punya kalau aku mau menyombongkan diri!

[✓] KISAH ROMANTISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang