Chapter 2 - Panggilan

118 0 0
                                    

Di ujung jalan rumah Emir, portal jalannya masih belum ditutup. Pak Wahyu memelankan sepeda motornya dan mengangguk menyapa penjaga portal tersebut di posnya. Aku mengenal penjaga portal itu. Biasa dipanggil Bang Eman, aku dan Emir dan juga teman-teman yang lainnya sudah akrab dengannya karena setiap kali keluar rumah Emir untuk cari makan dengan berjalan kaki, pasti melewati posnya dan menyapanya.

"Pulang dulu, Bang Eman!", pamitku kepadanya dari atas sepeda motor.

"Ya, hati-hati di jalan, Mas!", jawab Bang Eman.

Setelah keluar dari jalan rumah Emir, kami masuk ke jalan yang lebih besar. Di sini lalu-lintas terasa lebih ramai, walaupun masih tergolong lancar dan sepeda motor Pak Wahyu bisa melaju kencang. Banyak tempat-tempat yang sudah tutup dan mematikan lampu, tapi ada juga tempat-tempat yang masih relatif ramai seperti tempat makan, coffee shop, dan tempat-tempat nongkrong lainnya. Maklum, hari ini kan malam Minggu.

Dengan pikiran setengah kosong aku perhatikan segerombolan orang di lapangan parkir sebuah restoran, gerombolan para pegiat malam Minggu pada umumnya yang sepertinya sudah selesai makan dan nongkrong di sana dan entah sudah akan pulang atau lanjut untuk berpindah ke tempat nongkrong yang lain. Entah perasaanku saja atau bukan, sekilas ketika melewati mereka aku merasa semua orang di gerombolan itu berbalas menatapku ketika aku tadi memerhatikan mereka. Mungkin perasaanku saja, karena sepeda motor ojek ini melaju dengan agak kencang sehingga sekarang aku sudah melintasi mereka dan sudah tidak terlalu terlihat lagi.

Di jalan yang lalu-lintasnya agak sedikit ramai, Pak Wahyu menurunkan kecepatan sepeda motornya. Di sana aku melihat di pinggir jalan di sebuah warung ada beberapa orang sedang nongkrong menonton pertandingan sepakbola di sebuah televisi kecil. Seseorang di antara orang-orang itu menyadari kalau aku memerhatikan mereka, lalu ia menepuk pundak teman di sebelahnya dan menunjuk ke arahku. Sekejap, semua orang di warung itu yang tadinya sedang menonton televisi jadi menatapku semua. Aku langsung mengalihkan pandanganku, khawatir menyinggung mereka karena secara tidak sopan menatap mereka dan jadi memancing keributan. Tak lama, dengan halus namun pasti, Pak Wahyu meningkatkan kecepatan sepeda motornya lagi, sambil berkata kepadaku:

"Hati-hati, Mas. Malam-malam seperti ini jangan suka ngeliatin gerombolan orang yang lagi nongkrong. Orang-orang yang nongkrong gerombolan itu suka ngerasa jadi lebih kuat dan jagoan karena rame-rame, Mas. Jadi kalo ada hal kecil aja yang nyinggung mereka, mereka bisa langsung kepancing jadi keributan, Mas. Cuma gara-gara nggak suka dilihatin aja mereka bisa berantem loh, Mas", nasihat Pak Wahyu kepadaku.

Ya, aku tahu nasihat Pak Wahyu itu memang benar. Di kota ini, apalagi malam-malam seperti ini, harus lebih waspada ketika berhadapan dengan segerombolan orang tadi. Karena seperti yang Pak Wahyu bilang tadi, ketika orang-orang itu berkumpul dan beramai-rami, keberanian mereka meningkat, dan bisa menjurus ke arah yang negatif seperti berkelahi ataupun tawuran ketika ada yang memantik sumbu mereka. Aku sendiri tahu pengalaman-pengalaman teman-temanku baik di zaman SMA ataupun kuliah dulu, yang pernah beberapa kali berkelahi karena persinggungan antar gerombolan. Penyebabnya biasanya sepele, seperti masalah lihat-lihatan atau senggol-senggolan, ujungnya bisa jadi tawuran, karena kepercayaan diri yang semu yang tumbuh di dalam hati setiap orang yang sedang bergerombol berwujud menjadi sifat tak baik yang menjadi sok jagoan.

"Iya, Pak. Makasih udah ngingetin. Saya tadi setengah bengong, jadi nggak terlalu sadar kalo jadi ngeliatin mereka banget", jawabku kepada Pak Wahyu.

"Waduhh, Mas. Hati-hatii, jangan karena sebagai penumpang jadi ngerasa bengong nggak apa-apa, Mas. Bukan yang nyetir aja lho yang perlu konsentrasi, yang diboncengin juga harus konsen nggak boleh bengong, bisa-bisa nanti karena bengong-bengong, pegangannya lepas dan jatuh dari motor lho, Mas!", gurau Pak Wahyu disambung dengan tawanya.

"Haha, ya jangan sampai lah, Pak", jawabku juga dengan tawa.

Perjalanan pun berlanjut, sepeda motor Pak Wahyu melaju agak kencang, dan pandanganku sekarang fokus ke depan melewati bahu Pak Wahyu, ketimbang melihat-lihat ke samping seperti tadi.

Tiba-tiba aku merasa getaran di kantong celanaku. Sepertinya ada panggilan untukku. Aku keluarkan HPku dari kantong dan kulihat siapa yang menelponku. Nomor tak dikenal. Aku pun segera mengangkatnya.

"Halo?", kataku kepada si penelpon.

"Mas yang pesen ojek ya? Ini saya sudah sampai dari tadi, Mas. Sudah di depan rumahnya. Rumahnya yang nomor 5, pagar hitam kan Mas?", ucap si penelpon itu.

Ah. Ada ojek lain yang menjemputku di rumah Emir. Sedikit kaget tapi tidak terlalu terkejut, karena walau jarang, tapi hal ini bukan hal aneh yang terjadi. Dulu akupun pernah mengalami hal seperti ini. Jadi, ketika membuat satu pesanan ojek online, karena kesalahan sistem aplikasinya, entah kenapa jadi ada dua ojek yang datang mengambil pesananku. Dulu kejadian yang pernah aku alami adalah ketika keluar rumah, sudah ada dua ojek yang menungguiku. Waktu itu, permasalahan aku selesaikan dengan menelpon customer service aplikasi ojek onlinenya, dan setelah customer service berbicara dengan ojek-ojek yang ada yang datang menjemputku, akhirnya diputuskan kalau aku ikut dengan ojek yang namanya muncul di aplikasiku saja. Dan hal ini sekarang terjadi lagi, hanya saja kali ini aku sudah terlanjur berangkat dengan ojek lain dan ojek satunya yang tidak beruntung itu jadi menungguiku tanpa kejelasan.

"Pak, ini sepertinya pesanan saya kedobel, Pak. Kesalahan sistem. Saya sudah naik dengan ojek yang jemput saya duluan, namanya sesuai dengan yang tertera di aplikasi saya: Pak Wahyu Prasetio. Bapak coba telpon aja customer service aplikasinya, bilang aja kalau ini order yang kedobel, nanti dari sana bakal diurus untuk mekanisme pembatalannya. Dan kalau ada komplain langsung sampein ke customer servicenya itu aja, Pak", kataku kepada si penelpon, dengan kalimat terakhir yang bertujuan supaya dia tidak marah-marah kepadaku dan jadi memperpanjang urusan.

Sepertinya upayaku untuk cepat menyelesaikan urusan ini dengan damai gagal, karena setelah itu driver ojek yang menelponku itu membalas dengan sedikit membentak dan nadanya kurang mengenakan.

"Wahyu Prasetio!? Saya Wahyu Prasetio!", kata driver ojek itu di telpon.

Hah?

Aku mulai agak kebingungan.

"Motor saya Yamaha Mio putih, plat nomernya B 4783 BEG! Mas naik sama Wahyu Prasetio siapa? Itu orang ngaku-ngaku kali, Mas!?", lanjut penelpon itu dengan nada masih tinggi.

Hah?

"Nggak kok, Pak. Tadi sebelum saya naik udah saya cek, bener kok motor yang saya naiki ini sesuai dengan data yang ada di aplikasi", jawabku lagi.

Walau begitu, aku bingung.

Berapa plat nomor yang dia bilang tadi?

Aku tidak ingat depannya, tapi aku ingat tiga karakter terakhir plat nomor yang dia sebut adalah "BEG", dan yang tadi aku cek juga "BEG".

Tiba-tiba si penelpon itu membentak lagi.

"Mas jangan becanda deh, Mas! Wahyu Prasetio itu saya! Mas jangan sembarang ngerjain orang!", kata penelpon itu.

Karena nadanya sudah semakin tidak mengenakan, aku tutup telponnya.

Bingung. Aku bingung.

Dan takut.

Tiba-tiba, Pak Wahyu yang sedang mengendarai motor bertanya padaku dengan nada tenang dan santai.

"Kenapa, Mass? Ada apa tadi itu di telpon?", tanyanya.

Aku pun menceritakan kepadanya tentang percakapan tadi di telpon.

Pak Wahyu pun menjawabnya lagi dengan santai.

"Ohh, itu bukan orang, Mas, yang nelpon tadi itu. Itu setan", jawabnya santai.

Apa?

Setan?

GadungWhere stories live. Discover now