"Setan, Pak?" tanyaku mengonfirmasi, takutnya aku salah dengar.
"Iya, Mas. Setan. Itu tadi tuh, setan yang berwujud manusia, Mas. Setan kan bisa berwujud macem-macem, Mas. Nah, yang tadi itu setan nyamar jadi manusia, mau nyelakain Mas itu!" jelas Pak Wahyu.
Setan?
Apa pula ini, sepertinya aku butuh waktu untuk mencernanya. Sungguhkah yang barusan menelponku, yang barusan bercakap-cakap denganku, adalah setan? Apa ini hanya omongan sembarangan saja dari Pak Wahyu? Lagipula kenapa Pak Wahyu yakin sekali memberi penjelasan semacam itu, seakan-akan dia sudah penuh pengalaman dan sudah sangat tahu?
Orang yang tadi menelponku bilang kalau dia adalah Wahyu Prasetio sesungguhnya, dan yang bersamaku ini palsu. Sedangkan Pak Wahyu yang bersamaku ini bilang bahwa orang yang menelpon tadi itu adalah setan.
Siapa yang benar?
"Mas nggak usah ragu, nggak usah takut, Mas naik ke motor yang bener, kok. Bareng driver yang bener kok. Tadi kan Mas udah cek sebelum naik, motornya bener sesuai aplikasi apa nggak, muka saya juga sama dengan yang ada di foto aplikasi Masnya, kan?" ucap Pak Wahyu, yang seakan-akan bisa merasakan keraguanku hingga memberi penjelasan seperti itu untuk menjawabnya.
Tapi betul. Tadi kan aku sudah mengecek semuanya, dan sudah sesuai. Kalau tadi tidak sesuai tidak mungkin aku mau naik.
"Iya, Pak, betul. Saya cuma kaget aja, Pak, ada kejadian kayak gini," kataku kepada Pak Wahyu.
Pak Wahyu pun tertawa mendengar jawabanku, lalu ia bilang, "Yahh gitu lah, Mas. Emang di dunia ini harus waspada. Yang jahat-jahat itu bisa dateng dari mana aja, berwujud kayak apa aja, berwujud kayak orang baik sekalipun, Mas"
Akupun merasa lebih lega. Jadi sepertinya setan yang dimaksud Pak Wahyu ini adalah orang jahat, kriminal, perampok, atau semacamnya. Bukan setan yang gaib atau semacamnya.
Tapi aneh.
Rasanya ada yang aneh.
Bagaimanapun juga, aku tidak bisa sepenuhnya merasa lega. Tidak bisa merasa "plong". Rasanya seperti ada yang masih mengganjal. Ada yang luput.
Apa itu?
Apa itu yang luput dari pikiranku?
Nomor telponku.
Ya, nomor telponku.
Kalau memang yang tadi menelponku itu orang jahat, yang hendak menipuku, yang mencoba berpura-pura menjadi ojek online untuk merampokku, dari mana dia bisa tahu nomor telponku? Bagaimana dia bisa menelponku? Dari mana dia tahu plat nomor sepeda motor Pak Wahyu ini?
Apa dia sudah mengincarku dari awal?
Dia sudah punya nomor telponku dari sebelum ini?
Tapi walaupun begitu, tahu dari mana dia kalau aku mendapatkan driver bernama Wahyu Prasetio, sampai bisa berpura-pura seperti itu, sampai bisa tahu plat nomor sepeda motornya?
Tidak logis.
Atau!
Atau sebetulnya yang dikuntit oleh sang penjahat itu bukan aku, melainkan Pak Wahyu? Jadi begitu tahu Pak Wahyu mendapat pesanan dan hendak menjemput si pemesan, sang penjahat langsung berusaha untuk cepat sampai lebih dulu dari Pak Wahyu untuk menjemput si pemesan?
Tetap tidak logis, karena setelah kupikirkan, walaupun dengan begitu menjadi masuk akal dia mengetahui sepeda motor dan plat nomor Pak Wahyu, dari mana dia tahu aku berada di rumah Emir? Tahu dari mana dia nomor telponku sampai bisa menelponku?
Tidak logis.
Akupun langsung merinding, karena sepertinya aku tahu, penjelasan logis dari semua ini, walaupun sangat tidak mengenakkan: driver yang menelponku tadi adalah Wahyu Prasetio yang asli, dan yang sekarang sedang menyupiriku inilah yang gadungan, yang mencoba menipuku. Kemungkinan, ketika tadi sebelum berangkat aku mengecek plat nomor sepeda motornya dan yang lain-lainnya, aku tidak teliti dan sebetulnya salah, yang mana sebetulnya sangat maklum, mengingat ini sudah larut malam, sudah gelap, dan aku sudah mulai mengantuk dan kurang awas.
Jadi sepertinya, driver gadungan ini sudah tahu kalau aku hampir setiap akhir minggu selalu main ke rumah Emir dan lalu pulang tengah malam dengan ojek online, sehingga dia menungguiku di depan rumah Emir, lebih dulu ada dibanding ojek online yang asli yang seharusnya menjemputku.
Logis.
Tapi sangat tidak mengenakkan.
Dengan pelan-pelan, aku coba menengok ke belakang, ke bagian bawah, berusaha untuk melihat plat nomor sepeda motor ini di belakang, untuk mengeceknya kembali. Ternyata cukup sulit dilakukan ketika sedang duduk di atas sepeda motor yang berjalan.
"Mas!"
Tiba-tiba, Pak Wahyu menegurku.
Aku tersentak, mematung.
Pak Wahyu pun lanjut berkata, "Jangan nengok-nengok ke belakang. Bahaya, Mas. Nanti motornya oleng lho, bisa jatuh nanti, Masnya," kata Pak Wahyu.
Setelah ditegur seperti itu, aku terdiam.
Aku sudah yakin, aku tidak mau melanjutkan perjalanan ini dengan naik bersama "Pak Wahyu" ini, jadi aku beranikan diri untuk mengatakannya kepada Pak Wahyu.
"Pak, kayaknya saya jadinya mau turun di sini aja. Nanti tetap saya bayar full kok, Pak. Tapi tolong turunin saya di sini ya, Pak," kataku kepada Pak Wahyu.
Ya, lebih baik aku turun di sini saja, daerahnya masih cukup ramai dan kendaraan yang lalu-lalang masih relatif banyak, aku masih bisa cari transportasi lain untuk pulang.
Tapi Pak Wahyu menolak.
"Jangan, Mas! Udah, ikut saya aja! Percaya aja sama saya, Mas! Saya nggak jahat! Nggak ada niatan ngejahatin Mas!" balas Pak Wahyu dengan ngotot.
Kaget, tapi aku mencoba untuk tetap mengontrol diri, dan memberi balasan dengan tenang.
"Nggak, Pak. Ini memang saya pengen turun di sini kok, Pak. Tolong berhenti, Pak, saya mau turun!" kataku.
Pak Wahyu pun menjawabnya lagi.
"Mas, saya udah bilang, percaya sama saya, Mas! Bukan saya yang jahat, Mas! Orang yang tadi itu yang jahat! Udah, Mas sekarang ikut saya aja sampe rumah Mas!"
Oke.
Kalau dia memang driver betulan, driver yang baik, ya seharusnya dia mau-mau saja dong, untuk menurunkanku di sini, toh aku juga akan bayar dia full. Tapi ini dia justru melarang-larang, padahal posisiku di sini adalah customer, yang seharusnya permintaannya dituruti.
Oke, aku yakin sekarang. Kalau dia ini sesungguhnya menolak karena tidak ingin melepas mangsa.
Sepertinya aku lebih baik loncat saja dari motor ini sekarang. Tapi bahaya juga ya sepertinya, motornya melaju cukup kencang, dan ada kendaraan-kendaraan lain di sekeliling. Apa aku tunggu kesempatan yang lebih baik? Tunggu ketika kecepatannya menurun? Atau ketika lampu merah? Tapi apa memang lebih baik sekarang saja, daripada jalan lebih jauh lagi dan nanti jalanan sudah lebih sepi dan lebih rawan?
"Mas, udah! Duduk diem-diem aja! Nggak usah macem-macem, ikut saya aja!" bentak Pak Wahyu ini tiba-tiba, entah sepertinya dia menyadari niatku untuk loncat dari sepeda motornya yang sedang melaju ini.
Tapi bentakannya itu justru menghapus keraguanku, memang yang terbaik adalah aku loncat secepatnya, sekarang juga!
Mendekati persimpangan, akupun mencoba mengangkat kaki kananku untuk loncat turun ke sebelah kiri sepeda motor Pak Wahyu yang sedang melaju lumayan kencang. Namun, akibat gerakan mendadakku, sepeda motornya pun oleng, dan menabrak sebuah mobil yang sedang melintasi persimpangan itu.
Dan lalu semuanya gelap.

YOU ARE READING
Gadung
Misteri / ThrillerSetelah seharian main di rumah Emir, Anton pulang dengan menggunakan jasa ojek online. Menumpangi ojek online, semua nampak biasa saja. Hingga sebuah telpon yang ia terima di tengah perjalanan membuatnya sadar kalau perjalanan yang ia tempuh kali i...