Travelling

88 7 0
                                    

Bintang

So what are you doing right now?"

"Mencoba menjadi manusia"

"Hwakakak...absurd banget sih. Emang lo bukan manusia?"

"Bukan. Gue malaikat :P"

"Preetttt"

Dialog ini terjadi gara-gara saya dan temen saya iseng ngobrolin tentang resolusi-resolusi awal tahun kami yang kian lama kian bergeser. Tidak seperti yang dicita-citakan sejak awal.

"Masih suka solo travelling gitu?"

"Yap"

"Di kota?"

"Yap"

"Padahal di pantai atau gunung lebih enak. Kita bisa menyatu dengan alam"

"Di kota, kita bisa menyatu dengan manusia yang hidupnya serba kompleks"

"Liburan kok ngamatin manusia. Tambah pusing yang ada"

Manusia itu menarik. Apa yang berkaitan dengan manusia dan segala macam kerumitannya selalu menarik. Kita sering mengamati manusia lain. Lalu dengan segala macam persepsi yang kita ciptakan sendiri, kita lantas menjadi saling mengagumi atau saling mengasihani. Padahal apa yang kita lihat kadang tidak se-menyedih-kan atau se-mengagum-kan yang kita bayangkan.

Semacam orang kota yang sering mengasihani anak-anak desa dengan sekolah reyot dan jalan panjang nan terjal untuk menuju kesana. Sementara saya, sebagai anak desa kadang mengasihani orang kota dengan kemacetannya, kerumitan hidupnya, gadget-gadgetnya.....

Saya dulu hidup di desa. Sekolah di SMP yang gedungnya lumutan dan hampir runtuh. Lantainya masih tanah dan kadang basah gara-gara air hujan yang merembes. Tapi siapa sangka dengan sekolah yang seperti itu, nilai UAN saya rata-rata 9 tanpa mencontek. Bukan karena saya pintar. Tapi karena guru saya bisa mengajar dengan baik sehingga minimnya sarana dan prasarana bukan lagi masalah.

Saya sebenarnya suka dengan alam, suka dengan gunung, suka dengan sungai, laut dan segala macam keindahannya. Tapi ketika saya terlalu lama menyepi, saya takut kalau saya terbawa titik nyaman dan melupakan segala macam kewajiban.

Sepi dan segala macam ketenangan itu menjebak. Terlalu fokus ke diri sendiri juga kadang menjebak. Sebenarnya saya mau ngomong apa sih?

Nothing. I am just trying to explain a lot of things.....segala macam hal yang menuhin kepala tapi sulit dijelaskan.....

Ada satu hal yang membuat saya semakin jatuh cinta dengan islam. Agama ini tidak sekedar mengajarkan ritual pribadi yang bisa membuat manusia egois mengejar ekstase dalam ibadah-ibadahnya. Islam mengajarkan dimensi keshalihan sosial yang memaksa pemeluknya untuk melakukan perbaikan-perbaikan di bumi ini. Maka seorang muslim yang baik sudah pasti memikirkan nasib sesama manusia dan alam sekitarnya.

Saya sebenarnya bukan orang baik yang dimana-mana selalu mendahulukan kepentingan orang lain. No....saya itu egois banget. Itulah kenapa saya takut ketika menyepi, tak ada orang yang mengingatkan bila saya salah. Ketika saya menyepi, saya takut lupa dengan kewajiban terhadap ummat.

Saya manusia yang selama ini hidup di menara gading. Di pikiran-pikiran saya sendiri. Saya terlalu sering membuat kontemplasi tentang hal-hal pribadi yang kian lama rasanya kian kering. Sometimes i feel that i think so much but i can't give more. It just like a spectator of a soccer game who do nothing but never stop commenting about everything. Saya takut....ntar kalo saya mati, saya tidak meninggalkan apapun selain tulisan kering yang kadang terbaca dengan manis oleh orang lain. Ketika orang lain memuji tulisan saya, saya semakin ngerasa kalau saya ini nggak terlalu berguna. Kebanyakan nulis tapi minim aksi.

Itulah kenapa, dibandingkan menjelajah gunung, atau laut, saya lebih suka solo travelling ke kota. Mengamati pasar, mengamati masjid, mengamati kehidupan malam di sana. Memahami kerumitan hidup...

"Kayak anggota DPR lagi jaring aspirasi nggak sih"

"-_______-"

"Iya sih. Semakin banyak kita bertemu manusia. Kita bakal semakin faham makna kehidupan"

Saya memang bukan supermen yang bisa membantu segala macam masalah. Tapi dengan melihat manusia dengan segala macam kompleksitasnya, saya jadi nyadar kalo saya ini terlalu cengeng ketika saya menangis gara-gara masalah pribadi. Saya jadi nyadar kalo saya terlalu egois ketika saya menghabiskan waktu untuk mengejar achievement pribadi. Saya jadi nyadar bahwa ladang amal kita masih banyak.

Hari ini saya mendapat tugas untuk membuat reportase tentang aliran sesat dan dukun yang mengaku bisa menggandakan uang membuat saya sedih. Saya nggak nyangka di zaman gini masih ada yang percaya dengan hal-hal seperti itu. Ladang amal kita masih luas. Kerja-kerja dakwah masih dibutuhkan di banyak tempat.

Pada akhirnya hijrah adalah amalan hati. Menjauhkan diri dari keinginan duniawi. Hijrah mestinya membuat kita semakin dekat dengan ummat. Bukan menjauh. Sebab segala macam perbaikan dimulai dengan menyentuh hati. Bagaimana bisa menyentuh hati bila kita tidak pernah berusaha mengenal atau berdialog dengan masyarakat yang ingin kita sentuh hatinya?

Serial WarnaWhere stories live. Discover now