Javana City - 2012
Gudang di belakang rumah; beraroma debu dan minim pencahayaan. Aku berpikir tempat ini akan aman bagiku, demi mengeksplorasi penjuru dunia. Tapi kenyataannya tidak.
Bertubuh pendek dan sedikit gemuk, dengan wajah bulat nan berpipi temban dan rambut cepak; rupaku sedikit lagi menyerupai kurcaci. Mungkin terlihat menggemaskan jika sosok itu digambarkan seorang bocah kecil dan terlihat lucu jika dua orang terpenting dalam hidupmu usil mencubit pipimu. Tapi, aku bukan lagi bocah kecil. Umurku duabelas tahun dan bokongku selalu menjadi sasaran empuk. Entah sudah berapa kali pemilik kaki itu menghujaniku dengan beragam serangan, bahkan kepalan tangannya yang lembut itu tidak ingin ketinggalan. Tersungkur jatuh, terpelanting di tempat yang sama, atau yang lebih parah kepalaku terantuk di dinding.
"Ampun, Bibi!" pintaku terisak perih. Tangisku pecah, tumpah bersama air mata yang terus mengucur deras di pipi, membasahi sekujur wajah dan kaos biru yang aku kenakan. Mataku nanar ketika pukulan dan tendangan itu tidak kunjung berhenti. "Bibi, aku minta maaf!"
"Vergilome Radja, dasar bocah sampah! Seharusnya kamu bersyukur masih bisa makan, tidur, dan mandi di sini!" Bibi Maya meraih pemukul bisbol yang hendak dihantamkan padaku. "Dari awal aku sudah memperingatimu, jangan mainkan komputer itu lagi!" Tapi dia membalik badan, beranjak menghampiri komputer model lama yang bersembunyi di balik tenda kecil. Bibi Maya lekas mengayungkan pemukul bisbolnya, telak mengenai monitor tabung usang itu.
Aku tersentak kaget, seakan detak jantungku sendiri yang mengalami hantaman itu. Satu persatu bagian dari komputer itu dihantam secara membabi buta, komputer yang tiga bulan yang lalu telah susah payah aku rakit kembali setelah dibongkar oleh orang yang sama. Bibi Maya bak orang kesetanan, melampiaskan kemarahannya dalam setiap ayunan. Ada rasa puas dan senyum yang terukir di bibirnya, kendati hati Bibi Maya tidak secantik wajahnya. Setiap kepingan yang hancur, menimbulkan perih dibenakku ketimbang luka-luka berdarah di sekujur kulitku.
"Francesko, sayang," sahut Bibi Maya dengan nada menyenangkan. Sungguh, selama aku berada di sini, Bibi Maya tidak pernah berlaku lembut apalagi berucap halus padaku. Tidak lama berselang, laki-laki yang sebaya denganku muncul dengan senyum miring. "Keponakanku yang tampan, kamu mau membantu Bibi? Kita harus membuang rongsokan milik si bodoh ini."
"Bibi, jangan!" pintaku, berusaha berdiri, tapi kakiku tidak sanggup menopangku.
"DIAM!" bentaknya bengis, seakan mampu merobek-robek gendang telingaku.
"Aku siap membuang rongsokan," kata Cesko, tidak lain adalah sepupuku sendiri.
"Pintar sayangku. Kamu memang anak emas Keluarga Radja, tidak seperti Vergil!"
"Aku mohon, Bibi," kataku, menyeret tubuhku, merayap hingga tiba di bawah kakinya. "Jangan buang komputerku. Aku janji tidak akan memainkannya lagi, Bibi." Air mataku yang berlinang tidak sanggup menolehkan wajah Bibi Maya yang berpaling dariku. "Aku janji."
Bibi Maya menggoyangkan kakinya. "Lepaskan!" pekiknya, sambil menendangku hingga terguling menghantam rongsokan gudang. "Dari awal Bibi sudah bilang sama kamu, jangan main komputer lagi! Itu mainan orang dewasa, bukan mainan anak kecil sepertimu!" semburnya, lalu berjongkok, menarik dan mengguncang tubuhku hingga kaosku robek. "Kamu tidak mematuhi peringatan Bibi. Kepalamu seperti batu, Vergil!" Bibi Maya menamparku sangat keras. "Cesko, apa saja perangkat mesin jelek yang ada di gudang ini singkirkan semua!" perintahnya.
Cesko dengan perasaan bangga dan terhormat melakukan perintah itu. Setelah Bibi Maya pergi, Cesko sempat meludahiku beberapa kali. "Seharusnya kamu mati pada waktu itu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hacktivist Forsaken
Science FictionJavana City Stories #2 Teknologi, informasi, dan komunikasi di era kontemporer memberikan dampak pada perubahan kehidupan masyarakat. Namun tidak menampik, jika kemudahan dan kecepatan yang diberikan teknologi tidak sepenuhnya memberikan kebebasan d...