: kopi :

74 11 0
                                    


Zian cerdas, siapa yang tidak senang dengan orang yang cerdas? Dia selalu berpikir kritis, garis wajahnya terlihat tegas dan selalu mantap, sangat pandai dalam bersosialisasi. Tipikal orang bertanggung jawab, selera musiknya lumayan, dan ya, dia berbeda dengan beberapa manusia yang berpredikat sebagai temanku.


Berbeda denganku yang payah dalam segala hal, tapi bisa dikecualikan dalam caraku membenci diri sendiri. Gara-gara payah, aku melewatkan kesempatan ajaib untuk bertukar pemikiran dengan Zian yang cerdas itu. Luar biasa payah hanya karena alasan kecil, Zian mengundangku untuk bergabung dengan teman-teman organisasinya. Perlu ditekankan 'teman-temannya', yang bahkan jamak. Itu menjadi hal yang menyeramkan, aku bahkan tidak tahu siapa teman-teman satu organisasi Zian.

"Hah! Lo nolak ketemu sama Zian?!" Ane langsung menatapku lekat-lekat, seperti telah siap untuk mencabik-cabik orang payah seperti itu.

"Ya ampun, Alea. Mereka cuman temen-temen Zian dari club geografi yang bahkan sering ketemu sama kita. Mereka nggak akan makan lo mentah-mentah!" Jelas Ane, sangat jelas. Maksudnya mereka akan memakanku setelah dimasak terlebih dahulu, kan?

"Gue nggak kenal sama mereka soalnya."

"Nggak kenal? Lo aja yang susah banget bersosialisasi. Padahal lo mantan anak geo juga, seenggaknya ya banyak kenalan sama anak-anak olimpiade kayak mereka."

"Bodo amat, lah." Aku berusaha mengakhiri pembicaraan ini dengan santai. Walaupun, saat ini juga masih merutuki diriku sendiri yang sangat idiot.

Sebenarnya kami sedang dalam perjalan menuju gerbang sekolah untuk pulang. Aku termenung sebentar, mengingat apapun yang berkaitan tentang Zian yang aku tahu. Tiba-tiba otakku memutuskan untuk mempertanyakan pertanyaan ini kepada Ane, "Zian sama Gista gimana?"

Ane berlagak bingung dan tersenyum jahil, ia sengaja berpikir sedikit lebih lama dibanding saat aku merenungkan pertanyaan ini tadi. Ane sudah pasti tahu betul, dia merupakan orang yang lumayan dekat dengan Zian dari SMP.

"Penasaran? Kenapa nggak tanya sendiri aja?" Ane malah sengaja tidak menjawab pertanyaanku. Walaupun aku dan Zian berteman, ini akan menjadi pertanyaan palinga aneh yang aku lontarkan. Aku memalingkan wajahku dan berjalan lebih cepat ke arah kelas. Baiklah, ini tidak perlu dipikirkan terlalu dalam.

•••


Aku menggerutu kesal satu detik kemudian setelah masuk ke mobil. Bagaimana tidak, sepuluh menit aku menunggu Adrasta di tengah percakapan tidak bermanfaat tadi. Baiklah itu memang tidak terlalu lama, tapi ketahuilah aku harus berusaha keras bertahan sepuluh menit terjebak obrolan dengan anak club tari yang selalu membahas gosip terpanas di sekolah.

"Telat banget, ya? Ah enggak kok." Tanya Adra yang sekaligus ia jawab sendiri dengan cerdas. Aku memutar bola mata malas. Begitulah sikap menyebalkan Adrasta, saudara sedarahku yang tiga tahun lebih tua. Kepribadian kami sebenarnya sangat berbeda, dia berbanding terbalik denganku.

"Kita nggak usah ke Dokter Tyas, yaaa please?" Cegatku saat sadar mobil kami berbelok ke jalan yang menuju kediaman Dokter Tyas. Hari ini memang jadwalku harus mengunjungi Dokter Tyas, tapi aku tidak ingin menemuinya untuk akhir-akhir ini.

Adra melirik tajam. Ayolah, wajahnya bahkan tetap konyol. Aku sudah mengajukan permintaan semacam ini dua kali, dan selalu mendapat reaksi seperti itu dari Adra.

"Alea, lo itu jadi anak susah banget dibilangin. Minggu kemaren juga nggak berangkat! Kan baru beberapa waktu nggak ada gejala, bukan berarti udah sembuh. Kalo enggak, gue bilangin sam--"

"Nanti gue traktir makan!"

"Siap, tuan puteri."

Adra langsung memutar balik mobilnya. Dasar manusia rakus, syukur saja Adra masih bisa memberi keuntungan. Royalti seperti ini sepertinya memang akan selalu eksis, ya?

Mobil kami berhenti di depan sebuah coffee shop. Pintunya menimbulkan suara lonceng saat kami masuk, dan aroma khas kopi langsung menyerang indera penciumanku. Adra langsung menuju tempat duduk, sedangkan aku memesan menu apa yang ia pinta.

"Long black, ristretto, masing-masing satu. Makanannya mozzarella cheese stick sama kentang goreng." Pesanku pada seorang karyawan dibagian kasir.

Kemudian aku menyusul Adra yang duduk di bagian dekat jendela kaca. Dia tahu, aku sangat menyukai tempat duduk di sana. Rasanya terhibur dengan hanya mengamati kendaraan yang berlalu-lalang tanpa henti dan orang-orang yang berjalan di sisi jalan raya.

"Kemarin gue udah bilang sama mama tentang niat gue buat membangun Coffee Roasters beberapa tahun lagi. Coba tebak, apa reaksinya?" Adra membuka suara. Aku yang tadinya hanya memandang ke luar lalu menoleh. Jadi akhir-akhir ini , entah niatan dari mana, Adra sangat terobsesi untuk mendirikan sebuah coffee roasters atau sejenisnya yang berhubungan dengan menikmati kopi.  Aku berasumsi, kalau ini bermula akibat seringnya ia berkunjung ke kedai kopi seperti ini bersama teman-temannya.

"Kamu itu baru tahun pertama kuliah, fokus dulu sama pendidikan." Jawabku sambil menirukan gaya bicara Mama. Adra lanjut mengoceh, apapun yang berhubungan dengan rencananya itu, walaupun memang belum sepenuhnya matang. Adra sudah memikirkan di mana lokasi yang strategis dan tepat, perkiraan modal, pencarian karyawan, alat-alat, supplier kopi, dan sebagainya. Tapi, ya, seperti Mama, aku juga belum yakin.

Sampai akhirnya, pesanan sampai juga. Camilan dan kopi diletakan bergantian di meja kami. Adra bahkan masih asik nyerocos saat karyawan yang mengantarkan pesanan pergi. Berapa lama kemudian, Adra menyeruput kopi long black-nya perlahan. Dulu aku sempat tidak bisa membedakannya dengan americano, kerana cara pembuatannya yang hampir serupa.

Sebaliknya, alisku bertaut menatap kopi di depanku. Sepertinya ada yang janggal. Saat aku menggeser cangkir supaya lebih dekat, bisa dipastikan teksturnya berbeda dengan Ristretto yang biasa aku pesan. Ini tidak terlalu kental. Dan kepulan aromanya, menyeruak pahit yang lebih kuat dari biasanya. Ini espresso! Aku berdecak setelah berhasil mengenalinya. Dengan langkah pasrah, aku mendatangi karyawan di meja bar.

"Permisi, sepertinya pesanan saya salah. Saya pesan ristretto, bukan espresso." Aku mengajukan protes.

"Maaf, bisa ditunjukan struknya?"

Sebelum aku sempat mengeluarkan struk pembayaran dan menunjukannya, seseorang juga datang dengan membawa secangkir kopi. "Saya pesan espresso, bukan ristretto!" Sontak aku menoleh ke sumber suara. Laki-laki yang masih berseragam sekolah, sama denganku, hanya saja dia memakai jaket denim. Aku melirik secangkir kopi yang ia bawa, itu Ristretto. Baiklah, bagaimana bisa orang bisa lalai seperti itu. Akan fatal jika masing-masing dari kami tidak menyadarinya.

"Maaf, sepertinya ini kelalaian kami yang salah mengantar pesanan yang tidak sengaja tertukar. Kami akan menggantinya sesegera mungkin, mohon pengertiannya." Karyawan itu mengambil kedua cangkir di hadapanku.

•••

Have a nice day, everyone!

PersonalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang