: diskusi :

36 10 2
                                    




"Extraversion, Intuition, Feeling dan Perception, ENFP. Cuma ada sekitar 6-8% di dunia." Aku tersenyum puas dengan tangan yang menempelkan ponsel ke telinga. Baru saja Zian menyebutkan beberapa ciri-ciri salah satu tipe kepribadian MBTI yang dianutnya, dan aku berhasil mengungkapnya dalam satu kali tebak.

"Tepat sekali. Tapi dari ciri-ciri yang gue sebut tadi, masih ada yang janggal. Berorientasi pada proses."

"Maksudnya, apa lo lebih berorientasi pada hasil? Mengutamakan hasil yang diinginkan sebagai dasar dalam menuhin program. Seakan 'yang penting selesai dan sesuai sama permintaan' kayak gitu?"

"Ya, gitu. Tau, kan? Gue sering jadi ketua di organisasi atau lainnya. So, pikiran gue itu gini, 'lo digunakan cuma buat mencapai keberhasilan dan target yang udah di tentukan'. Kalo gue terfokus pada proses, itu rasanya terombang-ambing, seakan hasilnya itu seadanya doang. Ya sih, gue percaya kalo proses yang baik akan membawa hasil yang baik juga. Tapi, ya gitu."

Aku yang tadinya berdiri bertopang dagu di kusen jendela, berpindah duduk di kursi belajar. Tanganku rasanya tidak lelah menyangga benda pipih ini. Senang bisa mengobrol dengan Zian, rasanya pembahasan kami lebih berisi dan bermanfaat. Tadinya, aku bahkan tidak peduli kenapa dia lebih menekankan hasil dari pada proses. Aku kira kepribadiannya sudah terlihat sempurna, tidak ada hal besar yang harus diperbaiki. Bahkan dengan berorientasi pada hasil tersebut, entah kenapa rasanya Zian masih mampu menyeimbangkannya dengan nilai proses.

Belum sempat aku membalas, Zian meminta izin untuk menutup telepon karena ada teman-temannya yang datang. Aku tersenyum mengakhirinya, walaupun sebenarnya masih ingin berdiskusi banyak. Saat hendak meletakan ponsel di meja, benda itu bergetar. Satu pesan masuk, dari Zian.

Zian Nadhif Bagaskara
Al, mau dateng ke festival sama gue?

Terkejut, aku menajamkan mata dan mendekatkan layar ponsel ke wajah. Benar, tidak salah baca! Bagaimana bisa Zian mengajakku? Kejam sekali, belum apa-apa aku sudah panik. Aku meletakan ponsel di permukaan meja dengan kasar, tidak tahu harus membalas apa. Rasanya ingin berteriak, memukul apa saja untuk melampiaskan senang ini. Calm down, Al!

Bagaimana jika Zian mengajakku hanya untuk datang ke festival bersama teman-temannya yang lain?

Aku menghembuskan napas perlahan. Baiklah, aku tidak sabar untuk bulan depan. Kemungkinan terburuk sudah aku persiapkan dengan sedikit tidak ikhlas. Jika Zian membawa teman-temannya yang lain, maka dengan berat hati aku akan menolaknya.

"Aleaa, disuruh turun sama mamaa!" Adra membuka pintu kamarku dan berteriak lantang. Aku langsung meletakan ponsel kembali ke atas meja, sedikit tidak siap dengan datangnya Adra.

"Denger!!! Nggak usah teriak juga kali." Aku memutar bola mata malas, lalu beranjak turun untuk menemui Mama di dapur.

Aku menarik kursi dan segera duduk di meja makan. Mama yang sadar, kemudian meletakan satu potong kue ke hadapanku, "Cheese cake, buat kamu." Baiklah, jadi Mama memang gemar sekali memasak, terutama kudapan atau dessert. Dan harus diakui, hasilnya lumayan lezat. Sampai seringnya membuat makanan ringan semacam itu, terkadang aku membawa beberapa potong ke sekolah untuk berbagi bersama Ane.

"Ma, Adra berangkat." Adra datang dan menyalami tangan Mama dengan menenteng tas hitamnya. Biar ku tebak, dia akan bermain futsal. Sering kali aku dibuat bingung. Adra merupakan mahasiswa, tapi, ya tuhan, dia bahkan punya banyak waktu luang untuk hobinya. Termasuk memikirkan nasib Coffee Roasters dan mampir ke kedai untuk mencoba rasa baru.

"Jangan pulang telat, ya!" Mama yang sudah tahu akan senangnya Adra dengan futsal, hanya mengingatkan supaya pulang tepat waktu. Sebelum melenggang pergi, Adra sempat mengacak rambutku dan melahap satu sendok cheese cake yang sedang aku nikmati. Aku hanya mendengus kesal. Setelah itu, Adrasta mengucapkan salam dan pergi ke arena futsal yang tidak terlalu jauh dari rumah kami.

"Oh iya, gimana kabar temen-temen kamu?" Tanya Mama yang ikut duduk untuk berbincang denganku. Sebenarnya, yang disebut 'teman-teman' itu agaknya menyedihkan. Aku hanya punya dua orang yang bisa disebut benar-benar teman dekat untuk saat ini.

"Baik, nggak ada masalah." Aku menatap makanan di depanku yang tinggal setengah.

"Ane sama Zian udah lama nggak ke sini, ya." Mendengar nama Zian disebut, entah kenapa aku ingin tersenyum mengingat pesan terakhirnya tadi. Mama tahu tentang Zian dan Ane karena mereka berdua yang paling banyak frekuensinya untuk datang ke rumahku. Mengingat aku yang punya sedikit teman, dan sangat jarang mendapat kunjungan.

"Kemarin kamu ke Dokter Tyas, ada perkembangan? Coba lihat tangan kamu." Aku sedikit terkejut, untunglah Zian sudah pergi, jadi rahasia aman. Aku berusaha bersikap tenang untuk menghindari kecurigaan Mama. Kemudian menunjukan pergelangan tanganku untuk meyakinkan tidak ada bekas luka atau plester di sana, yang tandanya gejala itu sudah tidak muncul.

"B-bagus kok, Ma. Dokter Tyas bilang, sekarang terapinya mulai dikurangin. Jadi, nggak sesering dulu."

Maaf, aku malah mengarang kata untuk menjawab pertanyaan Mama. Tapi setelahnya, aku akan meyakinkan Dokter Tyas mengenai hal tersebut.

•••


Aku menghentak kaki dengan cemas. Langit mendung, dan lingkungan sekolah mulai sepi. Sedangkan aku masih duduk memikirkan bagaimana caranya bisa pulang. Satu jam yang lalu, Adrasta mengirim pesan bahwa dia tidak bisa menjemputku karena masih ada tugas kuliah. Kalau soal itu, aku bisa respect. Dan Mama, jelas tidak sempat karena sekarang masih jam kerjanya. Aku bisa saja pulang dengan perantara ojek online atau semacamnya, kalau saja ponselku masih bernyawa.

"Mau ikut gue?" Dahiku berkerut saat mendengar suara itu. Seseorang berhenti di depan tempat yang aku duduki dengan motornya. Lucu, bagaimana bisa orang asing berbicara seperti itu. Tunggu, bukan sepenuhnya asing. Aku bisa langsung mengenalinya karena; menggunakan seragam sekolah sepertiku, lalu keluar dari arah gerbang sekolahku.

Aku menggeleng tak acuh sebagai jawaban. Cepat-cepat mengubah pikiran bahwa menunggu ketidakpastian dari Zian atau Mama akan lebih baik dari pada pulang dengan orang yang tidak aku kenali.

Suara petir malah memecah pikiranku, hujan benar-benar akan turun tak lama lagi. Aku bertanya pada diriku sendiri mengenai mana pilihan yang lebih baik. "Maksudnya, mau gue anterin? Bentar lagi hujan, dan gerbang sekolah mau ditutup." Dia membuka helm yang menutupi kepalanya dan, cowok espresso?!

•••


Maaf, judul masih labil.

PersonalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang