: bekas :

44 9 0
                                    



Aku teringat tentang kopi hitam yang tertukar kemarin. Laki-laki itu, ternyata kami satu sekolah. Aku sempat melihat nama sekolah yang sama denganku di seragam yang dipakai saat ia membuka denimnya. Baiklah, dunia tidak sesempit itu. Aku tidak akan bertemu dengannya lagi, mungkin. Lagian ngapain juga mikirin hal kecil gitu ih, gak guna!


"Gue heran! Lo kalo mau ulangan santai banget, tapi nanti ujung-ujungnya nilai lo lebih gede dari nilai gue yang belajar!" Ane melontarkan pernyataan protesnya terhadapku. Aku yang sedang membaca novel dari Johny Green hanya berdehem menanggapinya, rasanya itu bukan juga pertanyaan, kan?

"Woi! Ngomong sama batu!" Bentak Ane karena tidak puas dengan tanggapanku.

Aku mengalihkan pandanganku dari buku tebal ini, menatap Ane tak bersalah. Lagian, bukan aku yang menentukan nilainya. Aku juga sudah belajar semalam, tidak belajar dadakan seperti Ane.

"Iya sini gue ajarin." Aku terpaksa menyimpan sesaat buku bacaanku, beralih pada Ane yang mungkin butuh bantuan dalam memahami materi fisika sebelum ulangan harian nanti. Aku sangat mengerti mengenai Ane, bisa dibilang dia memang lelet dalam bidang eksak. Tapi dia mempunyai senjata andalan, Ane sangat pandai bermain musik. Bahkan aku dengar, dia sempat ditawari menjadi anggota grup musik sekolah.

"Ah udah males gue belajar. Jangan maksa ikan buat naik pohon, ya!" Balas Ane. Aku menghembuskan napas berat dan menatapnya datar. Jadi benar, ya, perempuan itu makhluk yang rumit. Aku tahu betul maksud dari memaksa ikan untuk naik ke atas pohon. Ibaratnya, ikan itu Ane, pohon itu eksak, dan air itu musik. Dia selalu menggunakan alasan itu saat enggan mempelajari angka-angka.

"Ke kantin, yuk?" Ane langsung berdiri setelah mengecek ponselnya. Lagi-lagi, salah besar jika dia menggunakan nada bertanya. Itu perintah, yang tidak butuh jawaban.

"Mules." Aku mencoba bermain peran seperti biasa. Memasang wajah memelas, tangan memegangi perut, kesakitan. Lagian, bagaimana bisa Ane melupakan rumus-rumus yang harus dihafalkan untuk ulangan nanti? Gila, ya?

"Alah, ayo!" Ane menarik lenganku dan menyeretnya menuju ke kantin, persis seperti sebelumnya. Lalu sesampainya di sana, Ane atau kami sudah ditunggu oleh Beni yang melambaikan tangannya, masih sama seperti sebelumnya. Yang berbeda, saat sudah berada beberapa meter dari meja yang ditempati Beni, aku mendadak keringat dingin. Zian dan Gista, mereka duduk di samping Beni! Tidak bisa dibayangkan jika nantinya aku duduk bersebelahan dengan Ane yang berhadapan dengan Beni, yang artinya aku bersebrangan juga dengan Zian serta Gista.

"Gue mules sumpah, balik dulu ya!" Aku berusaha melepaskan diri dari genggaman Ane. Tapi gagal, ia mengeratkan genggamannya sampai kami benar-benar duduk di meja. Zian dan Beni langsung menyapa ramah melihat aku dan Ane duduk bergabung dengan mereka. Sedangkan Gista, ia tersenyum canggung saat mata kami bertemu. Demi apapun, ini situasi yang buruk. Bagaimana bisa aku tenang melihat Zian dan Gista di hadapanku.

Di samping, Ane dan Beni saling bercakap seperti biasa. Sementara keheningan menjebak lingkaran kami bertiga. Belum ada yang membuka percakapan sampai makananku dan Ane datang, Beni memesankannya terlebih dahulu sebelum kami sampai ke sini. Zian terlihat menenggak minumannya lalu membuka suara, "Al, bulan depan ada festival musik di pusat kota, loh."

Aku mendongak, mengalihkan pandangan yang sedari tadi hanya menatap semangkuk mie ayam panas. Soal festival tahunan tersebut, aku sudah mendengar rumornya. Katanya, kali ini mereka mendatangkan konsep musik 90's atau mungkin ke bawah.

"Ah iya?" Aku menanggapi. Sebetulnya, aku luar biasa bahagia saat kabar ini muncul. Pasalnya, konsep seperti ini paling dinanti. Kalau saja sedang sendirian di rumah, bisa jadi aku sudah berguling sana sini di atas tempat tidur.

"Iya, katanya sih mau mengusung konsep musik lawas." Aku manggut-manggut, sementara hati sudah teriak penuh kemenangan.

"Masih suka lagu jadul, ya? Gue jadi inget koleksi musik yang suka disetel waktu gue main ke rumah lo, dulu." Napasku tertahan beberapa detik mendengarnya. Gista berbicara padaku tentang kami yang dulu, entah kenapa itu sangat aneh sekaligus menyedihkan. Aku tidak suka. Aku tidak suka mengingat apapun tentang kami yang dulu maupun sekarang.

Aku menatap Gista dan mengangguk, masam. Kemudian aku berdiri dari kursi, rasanya sudah tidak nyaman di sini. "Maaf, ada urusan mendadak. Duluan, ya." Ane menoleh ke arahku, sebelum dia mengatakan sepatah kata, aku berlalu meninggalkan tempat itu.

Lega bisa keluar dari lingkaran itu. Tapi, aku malah sedikit merasa tidak enak pada Zian, pergi begitu saja seperti itu rasanya kurang sopan. Apalagi, meninggalkan makanan yang masih utuh begitu saja. Aku berjalan menyusuri kodidor yang ramai untuk kembali ke kelas.

"Alea!" Namaku dipanggil dari arah belakang. Kenal dengan suara itu, aku mengurungkan niat untuk menoleh ke sumber suara. Gista berhasil menyusul. Dia menghalangi jalan dengan berdiri tepat di depanku. "Gue mau bicara, tolong?"

***

Aku akui, aku sangat payah dalam urusan pertemanan. Gista merupakan satu-satunya orang yang sangat dekat denganku di sekolah ini. Akan jadi apa aku jika dia pergi?

Tapi realitanya, akhir-akhir ini persahabatan kami sedang renggang. Aku tidak tahu apa sebabnya. Gista seakan menjauh, dia lebih suka menghabiskan waktu dengan teman barunya.

Aku menjadi sangat takut. Sendirian dan tidak punya teman, aku tidak pernah mengira akan menjadi seburuk itu nantinya.

Saat ini kami duduk di tribun lapangan indoor. Aku mengusap wajahku gusar dengan kedua telapak tangan. Jantung berdebar hebat, rasa takut itu kembali datang. Kenapa dia harus kembali? Aku bahkan sudah punya Ane sekarang, itu lebih dari cukup.

"Satu tahun lebih, kita kayak gini. Dan untuk kesekian kalinya, gue minta maaf. Gue salah, gue bodoh. Kalau predikat sahabat yang buruk itu nggak akan bisa lepas, please jangan menghindar." Gista berbicara tanpa menoleh, sama-sama memandang murid yang beraktivitas di sana. Aku tidak ingin menjawab, atau lebih tepatnya tidak tahu harus menjawab apa. Jika niat Gista untuk memperbaiki hubungan kami, aku akan menyangkalnya. Jujur, tidak ada barang setitik dendam padanya. Hanya saja saat bertemu, aku takut.

"Alea?" Panggil Gista, kali ini menoleh menatapku.

"Saya nggak tahu." Jawabku cukup ambigu, "tapi maaf, susah buat bersikap seolah kita teman setelah apa kesalahan yang lo buat."

***

- Bagian dua saya revisi, bisa dicek.

PersonalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang